DIDI MUHTADI

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web

MEMOAR JENDERAL KECIL

Pengalaman hidup ini tidak akan terlupakan. Kisah tentang anak kecil duduk di sekolah dasar yang dipanggil Didi, yah Didi kecil berperawakan kurus dan pendek. Kurus karena sejak kelas satu Sekolah Dasar harus sudah bolak balik dari desa ke kota Tangerang tiap dua minggu sekali. Diantar sang pahlawan (Abah) untuk mengobati penyakit TBCnya (tuberkolosis). Kalau sekarang mungkin disebut lebih halus dengan nama plek.

Namun didi kecil adalah “pamando” sebutan anak-anak yang masih belum cukup umur duduk di sekolah dasar, kepada ketua kelas yang membariskan barisan anggota kelasnya. Mungkin yang dimaksud anak-anak itu adalah Komandon.

Pada jaman itu belum populernya taman kanak-kanak karena memang belum ada di desa tersebut TK apalagi PAUD. Anak-anak prasekolah itu menjadikan halaman sekolah SD sebagai tempat terbaik untuk bermain. Dan ketika sang ketua kelas menyiapkan dan memimpin doa untuk menjelang pulang, mereka sudah pada nongol di jendela sekedar hanya untuk menonton.

Ketika keluar dari kelas pun, anak-anak kecil itu ikut menggiring sang komandan sampai gerbang sekolah, atau bahkan jalanan desa. Seolah sang Jendral bak bakal calon Presiden yang hendak mendaptarkan ke Komisi Pemilihan Umum (KPU).

Sang Jendral itu lima tahun berturut-turut resmi menjadi ketua kelas. Sejak kelas dua SD sampai kelas enam padahal pemilihan bukan lima tahun sekali, dan pastinya kelas pun berubah dari A, B ataupun C.

Ternyata pada dasarnya rakyat memilih karena prestasi. Bidang akademik tentunya. Didi memang selalu juara kelas. Kalau bidang lain, yah standar lah bahkan dibawah rata-rata apalagi olah raga. tidak ada ada satupun yang dikuasai.

Didi sukses juga mendapatkan pencitraan terbaik. Dengan trio yang mumpuni SDS, yaitu Siti, Didi dan Subaih. Didi dapat menjuarai kejuaran Cerdas Cermat tingkat Kecamatan, kewedanaan dan bahkan sempat di Kabupaten.

Hal ini juga yang membuat Didi kecil selalu mendapat hadiah dari teman-teman sekelasnya yang lagi butuh pekerjaan rumahnya minta diisikan ataupun mencontek..hehe…

Selain itu seiring jenjang kelasnya, dan ketika partai politik (baca:geng) sudah ada di anak-anak mulai kelas 5 atau 6 SD. Dengan dibumbui kisah suka-sukaan pada lawan jenis anak masih bau kencur. Didi kecil selalu mendapatkan pengawalan gratis dari teman-temanya para bodyguard yang jauh lebih besar. Sehingga tidak ada yang berani mengganggunya.

Kisah indah ini memang tidak selau berbunga, terkadang juga ada kisah pahitnya.

Namun yang paling bekesan kepemimpinan selama lima tahun dan gemblengan mental dalam mengahadapi lomba-lomba tersebut tentunya telah menempa Didi menjadi manusia sekarang. Selain Abah, Guru bernama Warijo itu adalah cinta pertamanya untuk menjadi guru. Terimakasih Abah, terimakasih Pak Warijo.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post