Rafa, keponakan saya. Seorang santri di sebuah Pondok Pesantren di Bogor. Saat ini terpaksa di jemput orang tuanya pulang karena menderita sakit hepatitis A. Bisa jadi, beberapa pekan ke depan, dia akan tinggal di rumah. Satu malam saya jenguk dia ke rumahnya. Sampa disini, semua percakapan seputar sakit yang sedang di deritanya, dan beberapa tentang perkembangan di pesantrennya. Sampai saatnya saya hendak pulang, dia berkata, ‘Wak, kalo di rumah ada buku-buku, buat Rafa aja, ya.” Pintanya. Lalu saya tanyakan buku seperti apa dan buat apa. Dia menjawab dengan jawaban penuh kejutan bagi saya. Dia bilang, buku apa saja karena saya suka membaca.

Bagi saya, ini luar biasa. Ketika banyak anak seusianya lebih senang bermain gadget atau bermain musik, dia lebih senang membaca. Seolah-olah dia sudah mengerti benar manfaat membaca dalam kehidupannya. Setelah percakapan ini, saya seperti melihat cahaya kecerdasan memancar dari wajahnya. Sambil saya pelajari kembali perilaku kesehariannya, bagaimana cara dia berbicara, meminta tolong, berargumentasi, bahkan bersikap pada orang yang lebih tua dan sahabatnya. Kesimpulan saya, memang Rafa layak disebut anak cerdas. Ini yang baru saya sadari, bahwa keponakan saya yang satu ini memiliki pesona tersendiri dari hobinya membaca.

Andai saja setiap anak seusia Rafa lebih rajin membaca, tentu lebih banyak orang tua yang merasa tenang karena tidak khawatir anaknya kecanduan gadget. Lebih spesifik lagi kecanduan games dari gadget. Bagaimanapun, perkembangan ilmu pengetahuan begitu pesat. Jika kita tidak mengikutinya melalui membaca berbagai sumber informasi, maka kita akan semakin ketinggalan.