Dina Hanif Mufidah

Dina Hanif Mufidah, guru di lingkungan Majlis Dikdasmen PCM GKB Gresik, yang bertugas sebagai Kepala SD Muhammadiyah Giri Gresik. Lahir di Sidoarjo, Jawa Timur ...

Selengkapnya
Navigasi Web
Belajar dari Kisah Orang Orang Kali Comber ( Tantangan Gurusiana Hari ke 10)

Belajar dari Kisah Orang Orang Kali Comber ( Tantangan Gurusiana Hari ke 10)

Belum juga saya sampai di paragraf ke empat membaca cerpen itu, sudah terlarut dalam suasana sumpek yang bikin mual dan ruwet dari kehidupan para gembel penghuni pinggiran kali Comber yang kumuh.

Joni Ariadinata menuliskan kalimat demi kalimat lugas yang mendeskripsikan keseharian hidup sebuah keluarga, dalam “Lampor”, cerpen terbaik pilihan Kompas, tahun 1994.

Begini yang bisa saya ulas dan ceritakan kembali:

Keluarga Marsum dan Sumiah beserta ketiga anak mereka : Rois, Tito, Rohanah. Tinggal di sebuah rumah delapan meter persegi. Rumah yang beratap setengah genting, berdinding bambu, penuh berisi barang rongsokan yang tumpang tindih dengan penghuninya.

Umpatan yang mengalir ajeg di pagi, siang, sore hingga malam dari mulut Sumiah, sang Ibu, adalah ekspresi keputus asaan atas kekecewaannya pada anak dan suami yang tak mampu dia kendalikan.

Bapak yang pemalas, jorok dan tak merasa perlu bertanggungjawab ditampilkan Marsum sepanjang waktu. Sungguh kombinasi yang klop untuk memberi 80% asupan bawah sadar, bagaimana anak anak mereka akan bertutur dan bertingkah laku. Begitu kata nara sumber seminar parenting yang pernah kuhadiri. Kondisi yang akan menjadi amunisi durhaka , mengincar dan siap ditembakkan dari sudut sudut rumah.

Para penghuni rumah ini digambarkan hidup selevel binatang ternak. Di mana titik kehidupan adalah kebutuhan biologis, makan dan beranak pinak. Mereka sulit mengenal nilai moral, istilah dan maknanya tak tampak sekalipun di awang awang. Membuat bakat bakat mencuri dan melacur tumbuh bak jamur di musim hujan.

Tetangga mereka sama saja. Mereka menampilkan hingar bingar serupa. Sumpah serapah, caci maki, gemuruh bantingan pintu dan pecahnya piring beling yang sering berakhir saling hantam dan cakar.

Budi Darma dalam ulasannya memuji bahwa J Ariadinata berhasil menjaga obyektifitasnya . Ia memotret kehidupan yang sekumuh kumuhnya tanpa berpihak dan berpendapat. Apa begitu ya seharusnya cerpen bagus ditulis. Bukan penuh opini dan pesan tersembunyi dari penulis lewat narator atau aspek aspek lainnya dalam menulis cerita. Baiklah, saya akan belajar lagi nanti.

Satu hal penting yang saya ingat ingat dalam cerpen ini adalah, ketika diceritakan tentang kedatangan orang orang yang merasa harus jadi pahlawan. Mereka mencari cara mengangkat kehidupan orang orang kali Comber dengan memberi penyuluhan dan bimbingan. Mereka kecele, usahanya terpental. Karena mereka lupa, ceramah dan pertimbangan moral, bukanlah MAKANAN bagi orang orang pinggir kali Comber.

Saya masih membaca siang itu, ketika tiba tiba pintu kantor saya diketuk. Saya baru ingat telah mengundang seorang walimurid untuk datang menyelesaikan masalah pelanggaran serius anaknya di sekolah. Kami curigai pelanggaran ini dipicu oleh kondisi orangtuanya yang cukup pelik.

Saya mempersilahkannya masuk. Perempuan paruh baya itu duduk di depan saya sambil menunduk. Ia kelihatan berusaha menahan rasa dengan menggigit bibir. Sementara tangannya meremas ujung blusnya yang lusuh. Saya telah menerima laporan kondisinya dari kunjungan walikelas. Ia dan suamunya tak punya pekerjaan tetap, tak punya tempat tinggal yang layak. Saya mengambil nafas. Memutuskan menyimpan baik baik semua ceramah , dan kebijakan sekolah yang sudah saya siapkan.

“Bu, ananda sudah beli buku pelajaran di koperasi untuk semester genap ini?” Tanya saya hati hati.

“Belum Bu, masih belum ada uangnya. Ada sedikit tapi untuk beli beras besok” Jawabnya pelan.

“ Oh, begitu. Baik, sekarang Ibu pulang dulu. Jangan lupa mampir ke koperasi, beli buku dan kebutuhan harian untuk seminggu. Pake uang ini. Besok jam 9, temui saya lagi ya. Inshaa Allah, ada kabar gembira selain saya ingin bicara tentang anak Ibu, mohon Bapaknya diajak ya.” Beberapa lembar uang kertas saya ambil dari tas dan saya selipkan ditangannya yang menyalami saya.

Saya tak yakin tindakan saya sepenuhnya benar. Cuma saya fikir tidak ada yang bisa didiskusikan sekarang dengan seseorang yang pikirannya dipenuhi kekhawatiran tentang bagaimana beberapa piring nasi besok harus dia siapkan. Selain membuatnya mampu beli beras dulu.

Beberapa saat kemudian, saya kembali melanjutkan membaca beberapa cerpen lain dalam buku yang sama.

Mencoba menyelami dan melihat apa yang bisa saya gali lebih jauh dari sekedar menikmati sepotong karya satra, di siang hari.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Alhamdulillah....

24 Jan
Balas

Cerpennya bagus bu, sesuai realita. Kadang ada keluarga yang hidupnya jauh dibawah tapi tidak seharusnya menghujat, alangkah baiknya kita sedikit membantu. Alhamdulillah ada beberapa murid saya seperti itu sudah mendapat bantuan dari pemerintah dan orang tuanya amanah,dana digunakan keperluan anak untuk sekolah.

24 Jan
Balas

Ibu Agustina, thanks sudah memberikan apresiasinya.Salam kenal....

24 Jan

Salam kenal juga

24 Jan
Balas



search

New Post