Warisan Terbaik (Tantangan hari ke3)
Ibuku kembali meluapkan kecewa. Kata katanya berhamburan menyesakkan lubang telingaku, kanan dan kiri. Aku ingat sekali suasananya, suatu sore di ruang tamu sederhana rumah kami di desa. Saat itu umurku 12 tahun. Ibu marah. Aku lagi lagi dianggap salah penampilan ketika menyambut tamu jauh yang dinanti-nantikannya hari itu. Ibu bilang aku kurang sopan. Tidak mengargai diri sendiri. Harusnya cuci muka dulu, pakai bedak, rambut disisir rapi bukan acak acakan begitu. Seharusnya aku ganti baju yang pantas, bukan pakaian kumal begitu. Aku tidak ayu tapi sok kemayu. Mendengar itu semua, bibirku yang sedang sariawan semakin terasa perih, karena aku memperkuat gigitan untuk mencegah air mata jatuh ke pipi. Hatiku sedih. Namun tak kunjung menemukan kata pembelaan diri. Maka seperti biasa, aku memutuskan untuk diam. Satu kata balasan pasti hanya akan memperpanjang komentar yang semakin menyakitkan. Biasanya aku memilih masuk kamar. Aku lalu menenggelamkan kepalaku dalam dalam di atas bantal, yang secepat kilat basah oleh air mata. Sejak aku beranjak remaja, Ibu semakin tampak mencemaskan penampilanku. Pendapat dan kritiknya seringkali bikin frustasi, tak mengenal tempat dan waktu. Mungkin sebenarnya Ibu membanding bandingkan aku dengan Lisna. Putri cantik tetangga kami. Dia tinggi semampai, dan punya senyum menawan. Siapapun yang memandangnya akan memberikan pujian, sungguh membanggakan hati Ibu Bapaknya. Tidak ada yang mempermasalahkan, meskipun di kelas kemampuannya memalukan, tak pandai berhitung, belum lancar membaca. Sejak itu, aku seringkali mematut diri di depan cermin. Predikat juara kelas, nilai sempurna dan pujian guru tak lagi cukup menghibur hati. Aku mulai mempermasalahkan betisku yang terlalu besar. Aku tidak suka bibirku yang tebal, dan hidungku yang kurang mancung. Tidak seperti betis, bibir dan hidung Ibu. Aku diam diam menyesali warna kulitku yang gelap kurang bersinar. Tidak seperti kulit Ibu yang kuning langsat. Yang terbaik kumiliki dari Ibu, rasanya hanya ukuran pinggang kecil kontras dengan pinggul penuh berisi.
Bertahun tahun di masa remaja,aku merasa menjadi si bebek buruk rupa yang tidak beruntung mewarisi yang indah dari induknya. Kupikir Ibuku seolah menghakimi saja, tak membantu apa apa. Hingga pada suatu dini hari aku terjaga oleh suara mesin jahit di ruang keluarga. Ibuku tampak sangat tekun mengerjakan gaun warna hijau berbunga-bunga merah muda. Aku mengamatinya diam diam dari balik pintu. Esok paginya gaun itu telah tergantung indah di kamarku. Di lain waktu, aku memergoki tetangga yang mencari cari Ibu. Ia menyerahkan uang hasil penjualan perhiasan , katanya diminta tolong Ibu untuk tambahan biaya agar aku bisa ikut tamasya sekolah dan bisa beli sepatu baru. Ya Allah, ya Rabb. Ternyata beliau menyayangi lebih dari yang kutahu. Beliau menjahit hingga hingga lewat tengah malam, baju yang akan kupakai menghadiri undangan pesta ulang tahun teman sekolah. Ibu rela melepas perhiasannya yang tersisa, agar aku bisatampil pantas, bersuka ria dan bersepatu baru.
Hari ini puluhan tahun telah berlalu dari masa itu. Ibuku telah berpulang, membawa serta rindu dendam dari kisah kasih sejati kami. Aku bersyukur, saat sesekali masih bisa bertemu saat beliau hadir “menyapa” lewat mimpi. Tergambar lagi saat beliau tergopoh menelpon banyak orang untuk mengingat hari lahirku. Terngiang kembali nasihat keras dan kritik ini itu yang pernah kusalahpahami. Ibu telah pergi jauh. Sebelum mendengarku memberi tahu, bahwa warisan terbaik darinya telah kutemukan dan kuterima. Warisan yang kupunguti dari memahami caranya menyatakan cinta. Inilah hadiah terbaik yang kuambil dari hari ke hari menyaksikan ketangguhannya mengecup luka. Dari keihklasannya memaafkan dan memberi bantuan bagi siapapun yang membutuhkan. Meskipun ia sendiri berada dalam keterbatasan . Hari ini, aku sepenuhnya mengerti. Bukan cantik rupawan, bukan tinggi semampai , bukan untaian perhiasan bermata mutu manikam. Namun jiwa yang tangguh memperjuangkan cinta. Hati yang mudah memaafkan segala salah. Serta amalan tangan dan kaki yang ringan memberi manfaat. Itulah harta, warisan terbaik Ibu untukku. Kupintakan tersimpan kekal di sendi tangan kakiku, di aliran darahku, menyatu bersama doa doa yang pernah Ibu panjatkan untuk bahagia kehidupanku.
Terima kasih, Ibu. Tiga alinea ku mengenangmu, wahai cinta sejatiku.
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar