Dina Hanif Mufidah

Dina Hanif Mufidah, guru di lingkungan Majlis Dikdasmen PCM GKB Gresik, yang bertugas sebagai Kepala SD Muhammadiyah Giri Gresik. Lahir di Sidoarjo, Jawa Timur ...

Selengkapnya
Navigasi Web
Warisan Terbaik (Tantangan hari ke3)

Warisan Terbaik (Tantangan hari ke3)

Ibuku kembali meluapkan kecewa. Kata katanya berhamburan menyesakkan lubang telingaku,  kanan dan  kiri.  Aku ingat sekali suasananya, suatu sore di ruang tamu sederhana rumah kami di desa.  Saat itu umurku 12 tahun. Ibu  marah. Aku  lagi lagi dianggap salah penampilan ketika menyambut tamu jauh yang dinanti-nantikannya hari itu.  Ibu bilang aku kurang sopan. Tidak mengargai diri sendiri. Harusnya cuci muka dulu, pakai bedak,  rambut disisir rapi bukan acak acakan begitu. Seharusnya aku  ganti baju yang pantas, bukan pakaian kumal begitu. Aku tidak ayu tapi sok kemayu.  Mendengar itu semua, bibirku  yang sedang sariawan semakin terasa perih, karena  aku memperkuat gigitan untuk mencegah air mata jatuh ke pipi. Hatiku sedih. Namun tak kunjung menemukan kata pembelaan diri. Maka seperti biasa, aku memutuskan untuk diam. Satu kata balasan pasti hanya akan memperpanjang komentar yang semakin menyakitkan.  Biasanya aku memilih masuk kamar. Aku lalu menenggelamkan kepalaku dalam dalam di atas bantal, yang secepat kilat basah oleh air mata. Sejak aku beranjak remaja, Ibu semakin tampak mencemaskan penampilanku. Pendapat dan kritiknya  seringkali bikin frustasi, tak mengenal tempat dan waktu.  Mungkin sebenarnya Ibu membanding bandingkan aku dengan  Lisna. Putri cantik tetangga kami. Dia tinggi semampai, dan punya senyum menawan. Siapapun yang memandangnya akan memberikan pujian, sungguh membanggakan hati Ibu Bapaknya.  Tidak ada yang mempermasalahkan, meskipun  di kelas kemampuannya memalukan, tak pandai berhitung, belum lancar  membaca.  Sejak itu, aku seringkali mematut diri di depan cermin.  Predikat juara kelas, nilai sempurna  dan pujian guru tak lagi cukup menghibur hati. Aku mulai mempermasalahkan betisku yang terlalu besar. Aku tidak suka bibirku yang tebal,  dan hidungku yang kurang mancung.  Tidak seperti betis, bibir  dan hidung Ibu. Aku diam diam menyesali  warna kulitku yang gelap kurang bersinar.  Tidak seperti kulit Ibu yang kuning langsat.  Yang  terbaik kumiliki dari Ibu, rasanya hanya ukuran  pinggang kecil  kontras dengan pinggul  penuh berisi.  

Bertahun tahun di masa remaja,aku merasa menjadi  si bebek buruk rupa yang tidak beruntung mewarisi yang indah dari induknya. Kupikir Ibuku seolah menghakimi saja, tak membantu apa apa. Hingga pada suatu dini hari aku terjaga oleh suara mesin jahit  di ruang keluarga. Ibuku tampak sangat tekun mengerjakan gaun warna hijau  berbunga-bunga merah muda. Aku mengamatinya diam diam dari balik pintu. Esok paginya gaun itu telah tergantung indah di kamarku. Di lain waktu, aku memergoki tetangga yang mencari cari Ibu. Ia menyerahkan uang hasil penjualan perhiasan , katanya diminta tolong  Ibu untuk tambahan biaya agar aku bisa ikut tamasya sekolah dan bisa beli sepatu baru.  Ya Allah, ya Rabb. Ternyata beliau menyayangi lebih dari yang kutahu.  Beliau menjahit  hingga hingga lewat tengah malam, baju yang akan kupakai menghadiri undangan pesta ulang tahun teman sekolah. Ibu  rela melepas perhiasannya yang tersisa, agar aku bisatampil pantas,  bersuka ria dan bersepatu baru.

Hari ini puluhan tahun telah berlalu dari masa itu. Ibuku  telah berpulang, membawa serta rindu dendam dari kisah kasih sejati kami.  Aku bersyukur, saat sesekali masih  bisa bertemu saat beliau  hadir “menyapa” lewat mimpi.  Tergambar lagi saat  beliau tergopoh menelpon banyak orang untuk  mengingat hari lahirku.  Terngiang kembali  nasihat  keras dan kritik ini itu yang pernah kusalahpahami.  Ibu telah pergi jauh. Sebelum mendengarku memberi tahu,  bahwa  warisan terbaik darinya telah kutemukan dan kuterima. Warisan yang kupunguti dari  memahami caranya menyatakan cinta.   Inilah hadiah terbaik yang kuambil dari hari ke hari menyaksikan ketangguhannya mengecup luka. Dari keihklasannya memaafkan dan memberi bantuan  bagi siapapun yang membutuhkan. Meskipun ia sendiri berada dalam keterbatasan . Hari ini, aku sepenuhnya mengerti. Bukan cantik rupawan, bukan tinggi semampai , bukan untaian perhiasan bermata mutu manikam. Namun  jiwa  yang tangguh  memperjuangkan cinta. Hati yang  mudah memaafkan segala salah.  Serta  amalan tangan dan kaki yang ringan memberi manfaat. Itulah harta, warisan terbaik Ibu untukku. Kupintakan  tersimpan kekal  di  sendi tangan kakiku, di aliran darahku, menyatu bersama doa doa yang pernah Ibu panjatkan  untuk bahagia kehidupanku.

Terima kasih, Ibu. Tiga alinea ku mengenangmu, wahai cinta sejatiku.

 

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post