Kira-kira 9 bulan yang lalu. Itu adalah pertama kali aku berdiri sebagai seorang guru di dalam kelas. Aku yang biasanya hanya mengajar privat, merasa takjub berdiri didepan kelas menghadapi siswa yang banyak. Ya, akulah seorang guru dan mereka adalah anak didikku. Anak-anak yang dititipkan kepadaku untuk dicerdaskan. Menjadi seorang guru, aku tidak hanya membagi ilmu kepada anak-anakku. Aku harus belajar untuk memberi perhatian pada seluruh murid dikelas. Karena ketika mengajar privat aku cukup fokus pada satu anak saja. Sedangkan dikelas ada 32 kepala yg aku hadapi. Menguasai kelas masih menjadi tantangan terbesarku saat itu. Aku sempat mengeluh, sempat putus asa bagaimana caraku mencerdaskan mereka. Berkali-kali aku merasa gagal ketika beberapa dari mereka mendapat nilai dibawah standar. Hingga aku menyadari tidak semua anak berbakat dalam pelajaran IPA. Begitupun dengan hitungan, hanya beberapa anak yang menyukainya. Dan aku pun menyadari aku tidak bisa memaksakan kehendakku terhadap anak didikku. 6 bulan berlalu, barulah aku mulai merasa ikhlas dalam mendidik anak didikku. Akupun mulai menyesuaikan diri dengan cara belajar mereka. Lambat memang, tapi segala sesuatu itu butuh proses. Dan ketika mengikuti pelatihan sagu sabu, narasumber bapak Febry menyampai kutipan dari gurunya bahwa apa yang kita terima sebagai guru perbulan itu adalah bonus, sedangkan sisanya ada di akhirat. MasyaAllah.. aku sangat terharu mendengarnya. Dan jujur ku katakan itu adalah kali pertama aku mensyukuri profesiku sebagai guru. Semoga untuk seterusnya aku bisa menjadi seorang pendidik yang lebih baik lagi. Aamiin.