Dinni Ariani

A grateful wife (Insya ALLAH), A Mother of 3 kids, An English Teacher in SMPN 15 Sukabumi, a Learner. ...

Selengkapnya
Navigasi Web
DILEMA DUNIA BARU

DILEMA DUNIA BARU

Sudah hampir satu jam menunggu, yang diundang belum juga datang. Dalam situasi belajar dari rumah seperti saat ini, kegiatan Wali Kelas mengundang Orang tua ataupun Wali siswa ke sekolah ternyata bertambah sering. Alasannya tiada lain karena tingkat kehadiran dan keaktifan sejumlah siswa, dalam pengumpulan hasil belajar di kelas daring lumayan memprihatinkan. Orang tua mengeluhkan anak-anaknya yang menggunakan gawai hingga larut malam., sehingga di pagi hari sulit dibangunkan dari nyenyak tidurnya. Saat bangun di siang hari pun, anak-anak kembali bersama gawai namun bukan untuk belajar ataupun mengerjakan tugas sekolah. Namun, lagi-lagi sekedar membuka media sosial, bermain game dan sebagainya.

Entahlah, apakah hal seperti ini merupakan kasus yang terjadi di sekolah kami saja. Yang perlu digarisbawahi, adalah kenyataan bahwa sejumlah orang tua tak berdaya mengkondisikan anak-anaknya dalam mengelola waktunya di rumah. Pun anak, bahkan di usia SMP seperti siswa-siswa yang kami hadapi, ternyata belum memiliki rasa tanggung jawab sesuai usianya. Belajar di rumah bagi mereka artinya berlibur. Dan saat “libur sekolah”, mereka merasa bisa mengisi waktu sesukanya. Sekolah dengan segala macam kewajiban belajar, dihadapkan dengan sikap siswa yang tidak siap belajar, dan orang tua di rumah pun nampak tidak berdaya. Jika situasi seperti ini terus berlangsung,, maka pada satu titik tertentu menjadi rentan terjadi, siswa merasa ringan-ringan saja untuk berhenti sekolah di tengah jalan.

Di awal Maret 2021, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) merilis hasil kajian seperti yang diberitakan di laman berikut ini https://www.republika.co.id/berita/qpjcj4396/ini-alasan-anak-putus-sekolah-menurut-kpai. KPAI mencatat lima alasan anak putus sekolah selama masa pandemi. Kelima alasan tersebut adalah menikah, bekerja, menunggak iuran SPP, kecanduan game online, dan meninggal dunia.

Kecanduan game online rupanya menjadi salah satu masalah yang dihadapi juga oleh banyak orang tua di Indonesia. Lalu bagaimana guru harus menyikapi hal ini? Yang biasanya dilakukan guru adalah mengajak berbicara siswa secara pribadi, menghadapkannya pada berbagai hal yang menjadi tanggung jawabnya sebagai pelajar, mengetuk hatinya melalui nasihat yang disampaikan secara baik.

“Ke saya mah udah gak mau dengar Bu, sama sekali gak nurut uda dibawelin juga., Ama Bu Guru aja tolong dinasihati, jangan bosen ya Bu.”

“Saya takut-takutin aja, nanti dibilangin ke Bu Guru kamu teh males aja di rumah, malah game terus.”

Keluhan seperti itu terdengar makin sering saat ini. Mayoritas yang sering berkonsultasi dengan Wali Kelas biasanya adalah sang ibu. Sosok ayah, pastilah ada. Namun bagaimana ayah memainkan peran selayaknya ayah, itu mungkin yang perlu digali lebih lanjut. Sebuah artikel di https://id.theasianparent.com/peran-ayah-dalam-tumbuh-kembang-anak mengungkapkan bahwa sosok ayah merupakan pusat kesejahteraan emosional anaknya Mereka berperan sebagai penjaga dan pendisiplin yang cakap. Dijelaskan lebih lanjut bahwa jika seorang ayah penuh kasih sayang, suportif, dan terlibat dalam perkembangan anak, maka ia berkontribusi besar pada kognitif, bahasa, dan sosial anaknya. Anak cenderung memiliki prestasi akademik serta harga diri yang baik. Jika ayah kandung sudah tidak ada, anak tetap memerlukan sosok ayah misalnya dari kerabat dekat, orang dewasa yang dituakan dan layak dijadikan teladan,, termasuk juga guru di sekolah. Namun sayangnya, kebanyakan guru di sekolah kami juga perempuan. Bisa jadi diantara siswa tersebut, ada yang mengalami “kosong ayah” dalam dirinya ataupun “kosong ibu” atau keduanya. Karena tidak sedikit dari siswa kami yang juga ditinggal ibunya bekerja sebagai TKW di Taiwan, Malaysia, Arab Saudi, dan sebagainya.

Waktu pun berlalu, hingga hari ini Maret 2021 genap satu tahun sudah sekolah berlangsung dalam situasi dan kondisi tidak biasa.

“Saya biasanya kan pagi-pagi kirim anak ke sekolah, sudah aja kan anak belajar, saya tenang. Nah kalau sekarang saya pusing lihat anak di rumah, ya ampun susah sekali disuruh belajar. Kuota sih selalu minta dibelikan, tapi….”

“Google Classroom, itu bagaimana saya juga gak ngerti. kode-kode yang dikirim Wali Kelas itu diapakan, saya gak tahu gimana meriksa anak sudah mengerjakan tugas atau belum.”

Demikian orang tua mencurahkan isi hatinya. Bagaimana selama ini mereka merasa tentram hidupnya saat setiap hari menitipkan anak-anaknya di sekolah. Menyambut ananda pulang di siang hari, dan membiarkan waktu di rumah tanpa sering berurusan dengan pekerjaan sekolah. Dan tiba-tiba saja saat ini orang tua “terbebani” dengan keharusan mendampingi anak belajar, bahkan menghadapi teknologi yang kurang mereka pahami. Meskipun sebenarnya tak hanya orang tua namun juga guru dan siswa pun membutuhkan adaptasi dengan fasilitas yang digunakan dalam pembelajaran daring

Adanya pandemi membuka kenyataan kondisi riil setiap keluarga dan sekaligus dapat menjadi bahan evaluasi beberapa hal.

Pendidikan dalam keluarga sebagai hal terpenting.

Kenyataan menunjukkan betapa keluarga merupakan basis terpenting dan utama dalam pembentukan karakter individu. Berdasarkan pengamatan penulis sebagai pendidik, siswa-siswa yang terlahir dari keluarga yang mengedepankan nilai-nilai agama dan konsisten menjalankan syari’at agama Islam, memiliki kedewasaan yang lebih dibanding anak yang dibesarkan dalam keluarga yang jauh dari nilai-nilai agama Islam. Anak-anak yang dididik dalam keluarga yang menanamkan nilai religi secara kuat, cenderung memiliki mental dan daya tahan lebih kuat dalam beradaptasi di berbagai situasi. Meskipun misalnya, keluarga tersebut tidak utuh lantaran ketiadaan Ayah atau Ibu atau keduanya, baik karena kematian maupun perceraian. Jika anak tetap memperoleh pengalaman beragama dan dikenalkan dengan Pencipta-Nya, biasanya kondisi anak akan cenderung “baik-baik saja” bahkan hingga ia dewasa. Sebaliknya, anak-anak dengan tingkat ekonomi yang beragam namun sama-sama kurang mendapat pendidikan dan penanaman nilai agama dalam dirinya, akan lebih besar kemungkinannya untuk menjadi bermasalah. Saat pandemi dan harus belajar di rumah, secara transparan kita melihat kenyataan sejumlah siswa yang kurang memiliki komitmen dan tanggung jawab belajar. Dari sini sebenarnya terlihat, bagaimana rapuhnya kondisi ketahanan keluarga kita. Setiap keluarga hendaknya menjadikan waktu setahun ini sebagai bahan evaluasi, dan tidak hanya menyalahkan sang anak. Karena sesungguhnya sosok anak yang ada di hadapan orang tua dan guru saat ini adalah hasil tempaan lingkungan sekelilingnya selama belasan tahun. Apa yang keliru dengan pendidikan di setiap keluarga, dan bagaimana memperbaikinya, hendaknya hal itu menjadi introspeksi kita masing-masing. Bahkan keluarga para guru sekalipun.

Kemampuan menetapkan skala prioritas, agar terampil mengatur hidup.

Terus menerus menggunakan gawai siang malam demi kesenangan bermain game atau media sosial merupakan salah satu ciri kurangnya kemampuan anak dalam menetapkan skala prioritas. Mengatur waktu dapat dibiasakan diantaranya dengan pembiasaan Sholat 5 waktu. Biasanya, anak-anak yang sudah tertib menjalankan ibadah ini, akan tertib pula mengatur hidupnya. Anak-anak yang kini berada di usia remaja tentu kelak akan menjadi manusia dewasa. Bagaimana bisa kita membiarkan mereka tumbuh apa adanya tanpa berusaha melakukan perbaikan. Jika orang tua di rumah saja tidak mampu memberikan aturan kepada anak, lalu bagaimana bisa guru dituntut untuk “menyulap” mereka menjadi siswa rajin belajar dan penurut.

Kesenjangan di depan mata, tak bisa dipukul rata.

Belajar di rumah memperlihatkan banyak hal. Keadaan di setiap rumah tidaklah sama, kemampuan ekonomi sangat beragam, begitupun tingkat pemahaman akan situasi sekeliling serta apa yang dijalani saat ini. Guru, sekolah dan pemerintah tentunya diharapkan mampu menerapkan kebijakan sesuai keadaan siswa. Gawai bagi kebanyakan siswa mungkin gampang-gampang saja memilikinya, namun tidak bagi sebagian yang lain. Begitupun ketersediaan kuota internet, tak bisa dipukul rata dimiliki oleh seluruh siswa. Begitu juga dangan fasilitas belajar di rumah masing-masing. Kebanyakan anak mengandalkan smart phone untuk pembelajaran, sedikit saja yang memiliki laptop dan atau komputer di rumah. Belum lagi situasi rumah dengan luas terbatas, sehingga siswa kurang leluasa saat misalnya harus melakukan pertemuan virtual melalui Google Meet, Zoom, dan sebagainya.

Berubah atau tertinggal.

Tidak bisa tidak, situasi pandemi memaksa kita berubah menyesuaikan diri dengan keadaan zaman. Kita tidak bisa duduk diam dan sekedar menunggu pandemi cepat berlalu, karena bahkan para ahli memprediksi situasi ini masih akan berlangsung setidaknya satu dekade ke depan. Jika kita hanya jalan di tempat atau justru berhenti, maka bersiaplah untuk tersingkir. Jika di awal kita gagap memahami keadaan, terkaget-kaget dengan segala perubahan, maka selanjutnya kita harus mampu berubah cepat dan lebih peka dangan keadaan zaman. Begitulah yang sebaiknya dilatihkan oleh guru dan juga orang tua kepada anak-anaknya. Sungguh sebuah hal yang tidak realistis jika berharap semua akan kembali normal ke dunia lama yang setahun dua tahun lalu pernah kita huni. Pembelajaran digital adalah keniscayaan saat ini. Teknologi dan perkembangannya mesti dikuasai, termasuk penggunaan gawai. Orang tua dan guru sebaiknya mendorong anak untuk mengubah perilaku dari awalnya dikuasai gawai, menjadi penguasa atas gawai. Maka berubah menjadi sebuah keniscayaan atau kita akan tertinggal dan terus tertinggal.

5. Rumahku surgaku, sekolahku surgaku.

“Setiap orang adalah guru, setiap rumah adalah sekolah.” Ungkapan filosofis dari Ki Hajar Dewantara ini semakin relevan pada era sekarang. Mau tidak mau, suka tidak suka, setiap orang tua mestinya menyadari bahwa merekalah pemilik tanggung jawab utama dalam pendidikan anak. Sekolah merupakan lembaga yang dititipi dengan guru di dalamnya yang ditugaskan oleh negara untuk mendidik dan mengajar dalam kurun waktu tertentu. Sedangkan orang tua, selamanya mengemban amanat pendidikan tersebut. Saatnya kembali ke rumah kita masing-masing, menata kembali apa yang ada, mengkondisikan rumah yang penuh kedamaian, yang para penghuninya senantiasa berwajah cerah penuh senyum, membuat siapapun betah. Mari perbaiki setiap langkah pengasuhan yang keliru, menjalani dunia baru berselubung situasi pandemi dengan penuh rasa syukur, menarik nafas dalam kesadaran. Kita ada dan bertanggung jawab penuh atas amanat besar itu, yaitu menjadikan anak-anak kita, anak didik kita menjadi generasi lebih baik dari para pendahulunya.

Sukabumi, 22 Maret 2021

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

mantap keren cadas... uraiannya keren menewen... kita bertanggung-jawab menghantarkan anak didik kita menggapai langit di era 5.0 tapi kali tetap membumi..sukses selalu...salam literasi dari Banyumas...ijin follow dan follow back, makasih

22 Mar
Balas

kaki tetap membumi

22 Mar



search

New Post