Ditta Widya Utami

Pendidik dan Pembelajar | a science teacher @ SMPN 1 Cipeundeuy, Subang...

Selengkapnya
Navigasi Web
Guru Honor Tak Pantas PPG
dok.pribadi (usai seminar pendidikan khusus guru honor se-Kabupaten Subang)

Guru Honor Tak Pantas PPG

“Kepala sekolah saya tidak memberi izin.”

“Di daerah kami, ada pengumuman bagi guru honor yang tidak memiliki SK Bupati/Kadis (sekolah negeri) atau SK Ketua Yayasan (sekolah swasta), tidak perlu mengumpulkan berkas calon peserta PPG.”

“Mengapa guru honor di sekolah negeri harus ada SK Bupati/Kadis sementara guru swasta hanya cukup dengan SK Ketua Yayasan?”

“Jika guru honor tidak boleh ikut PPG, mengapa tidak dari awal saja kami (guru honor) tidak diperkenankan ikut pretesnya?

“Jika kami (guru honor) lulus pretes namun tetap tidak bisa ikut PPG hanya karena tidak memenuhi syarat administrasi, mengapa tidak dari awal saja pretes PPG dikhususkan bagi guru-guru yang sudah menjadi PNS?”

Pernyataan dan pertanyaan di atas adalah realita yang terjadi di lapangan. Seolah guru honor tak pantas mengikuti PPG. Saya pun termasuk guru honor yang belum punya SK Bupati/Kadis saat dinyatakan lulus pretes PPG bulan Mei 2018. Segala pemberkasan sudah disiapkan sejak saya dinyatakan lulus, kecuali satu: SK Bupati/Kadis.

Saat datang ke Dinas Pendidikan di kabupaten, salah satu staf mengatakan, “Ibu boleh mengumpulkan berkas, karena itu hak Ibu. Berkas akan kami sampaikan ke LPMP, tapi jangan berkecil hati kalau sampai di LPMP ternyata berkasnya dicoret, ya, Bu.” Ini adalah kabar buruk yang dibungkus dengan apik karena dengan kata lain, staf tersebut berkata bahwa berkas kami tidak akan di approve oleh LPMP dan kami akan gugur menjadi calon peserta PPG hanya karena tidak memiliki SK Bupati/Kadis.

Sebelumnya, saya sempat mengikuti seminar pendidikan khusus bagi guru honor sekabupaten yang salah satu pembicaranya adalah Ketua PGRI Kota Sukabumi, Pak Dudung Koswara, M.Pd.. Dari seminar tersebut, saya mengerti bahwa kepala daerah tidak bisa mengeluarkan SK pengangkatan guru honor begitu saja karena terbentur dengan beberapa peraturan (beliau lalu menunjukkan rentetan peraturan tentang guru honor).

3 Oktober 2018 saya mengikuti audiensi dengan Kepala BKPSDM di Aula DPRD Kabupaten Subang yang menggantikan bupati yang tidak bisa hadir. Dalam naungan PGRI, kami menyampaikan agar Bupati berkenan memberikan SK Pengangkatan bagi Guru Honor Kategori 2 dan yang mendesak adalah bagi para calon peserta PPG 2019. Alhamdulillah, sampai saat ini, belum ada keputusan selain kabar bahwa masalah SK sedang dikaji di bagian internal pemerintah daerah.

Sebetulnya saya sadar bahwa keluarnya SK Bupati memiliki peluang yang sangat kecil. Namun, itu tidak membuat kami (guru honor) putus asa. Saya tetap berdoa agar diberi kemudahan. Biar bagaimanapun, Pendidikan Profesi Guru (PPG) adalah salah satu program pemerintah untuk meningkatkan kualitas guru, meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia. Jika guru honor terjegal hanya karena selembar kertas bernama SK Bupati/Kadis, bukankah Indonesia sendiri yang akan rugi? Meluncurkan program, namun minim peserta.

“Hanya keyakinan yang bisa menggetarkan pintu-pintu langit.” Para penguasa mungkin tak berkutik mengeluarkan SK yang tersendat dengan segala regulasi, namun di atas segalanya masih ada Yang Maha Kuasa. Alhamdulillah, di detik-detik terakhir pengumpulan berkas ada informasi bahwa Kepala Dinas Kabupaten mengeluarkan SK bagi guru honor yang akan menjadi calon peserta PPG 2019.

Meskipun di Surat Keputusan Kepala Dinas Pendidikan tertulis bahwa SK tersebut hanya berlaku untuk pendaftaran PPG dan tidak bisa digunakan untuk pembayaran tunjangan profesi kecuali yang bersangkutan mengajar di sekolah swasta atau menjadi PNS, tak mengapa. Toh, kami butuh SK tersebut untuk belajar. Adapun rizki, insya Allah akan beriringan.

Kini, kami masih menunggu hasil seleksi administrasi calon peserta PPG 2019. Semoga saja hasilnya baik.

Entahlah apakah kita harus berbahagia atau sedih dengan adanya PPG. PPG yang merupakan program pengganti Akta IV mampu melegalkan siapa pun yang bergelar sarjana untuk bisa menjadi guru profesional. Terlepas apakah orang yang bersangkutan lulus dari fakultas pendidikan (FKIP) atau tidak. Tentu saja lulusan non-FKIP harus menjalani kuliah matrikulasi terlebih dahulu. Dengan begitu persaingan (saya tidak tahu harus menggunakan kata apa lagi) untuk menjadi seorang guru profesional akan semakin ketat.

Kadang saya bertanya, jika tetap seperti ini, mungkinkah di masa yang akan datang, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan akan tetap eksis atau justru akan segera punah?

Hal ini mungkin bisa jadi kabar baik. Profesi guru yang dulu dipandang sebelah mata, kini mulai naik prestisenya. Terbukti banyak lulusan yang berasal dari jurusan non-FKIP yang memilih menjadi guru. Atau, menjadi guru sebetulnya masih menjadi pilihan terakhir mereka karena tidak diterima di berbagai perusahaan/instansi bonafide? Who knows?

Note :

Tulisan ini sudah diterbitkan di Kompasiana

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post