Divia R. Uzukriyah

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web

Menilik Gelap Manikmu

Menilik Gelap Manikmu

Divia Risti Uzukriyah, M.Pd.

“Jadi... Penggunaan bahasa Indonesia di daerah pariwisata sangat tersisih. Bagaimana tidak? Saat saya melakukan penelitian di daerah Lombok, seorang penduduk ... .”

Seketika suara Sang Pembicara lenyap dari telinga.

“Ih itu siapa sih? Udah aneh. Jalannya pake tongkat gitu.” Suara dari kursi di belakangku mengalihkan perhatian.

Dua orang berjas biru tua tampak sedang membicarakan sosok yang tiba-tiba duduk di sebelahku.

“Boleh duduk di sini?” sapa seorang laki-laki berkulit putih dengan kacamata bertengger di batang hidungnya.

“Iya, silakan,” jawab singkat.

“Maaf Mbak, siapa ya pembicara di depan?”

“Anto Lupus”

Oo... ini pemateri yang ke berapa ya?”

“Baru pertama.”

“Ada berapa pemateri?”

“Tiga”

“Auditorium ini penuh ya, Mbak?”

Hah?”

Seketika aku menoleh ke arahnya penuh tanda tanya. Ada apa dengan orang ini? Ia terus bertanya seolah tak mampu menemukan sendiri jawabannya.

Aku kembali memfokuskan diri pada pembicara di depan.

Tak beberapa lama kemudian, Ia mengeluarkan sebuah ponsel hitam dari dalam saku bajunya. Sekilas melirik ke arah ponsel tersebut, ternyata Ia sedang merekam.

Auditorium yang berkapasitas seribu orang tersebut hampir penuh. Tampak almamater berbagai warna memeriahkan ruangan bernuansa merah itu. Mereka merupakan peserta Seminar Nasional tentang kebahasaan dari seluruh penjuru negeri yang diselenggarakan di salah satu universitas negeri kenamaan di daerah Tangerang.

“Saya Bima,” ucapnya seraya menjulurkan tangan yang agak menyerong dengan posisiku.

Sebelum menyambut jabat tangannya aku menengok ke arah kedua orang yang tadi tampak sedang bergosip. Mereka seakan memberikan tanda tak suka dan jijik melihat orang di sampingku itu. Namun aku tak menghiraukannya.

“Rani,” balasku seraya menjabat tangannya.

“Dari mana ya?”

“Dari tadi.”

“Hem?”

“Maksud saya dari Bogor.”

Heheheee... bisa saja Mbak ini.”

Laki-laki itu terus mengajak berbincang. Membahas ini itu dan acap kali bertanya pendapatku tentang banyak hal. Kami terus berbincang-bincang hingga pembicara pertama usai memaparkan hasil temuannya. Aku hampir lupa tujuan keberadaan di ruangan ini. Seakan ada yang menarikku untuk tetap tenggelam dalam perbincangan dengannya. Sesekali ingin disudahi, ah lagi-lagi tersesap.

“Maaf, berapa usianya, Mbak?”

Aku terdiam sejenak. Bukankah bertanya usia merupakan hal sensitif bagi perempuan?

“Belum genap dua puluh tahun,” jawabku pelan agak ragu.

“Aku, empat tahun di atasmu, dan... aku mahasiswa semester empat di kampus ini.”

“Oh? Sama.”

“Boleh aku minta nomor ponselmu?”

Hah?”

“Iya, nomor ponselmu. Mungkin sewaktu-waktu kita bisa berdiskusi lagi. Tuliskan saja nomormu di secarik kertas. Nanti akan aku hubungi.”

Aku terdiam sedikit berpikir. Apakah tidak masalah memberikan nomor ponsel kepada orang ini? Ah, tapi alu tidak boleh langsung menyimpulkan seseorang hanya dari tampilan luar.

Aku pun menuliskan nomor ponsel di secarik kertas dengan agak ditekan. Mungkin Ia bisa meraba tulisan itu.

Matahari mulai bertengger gagah di luar sana. Bayangan pun menjadi lebih kecil dari ukuran sebenarnya, bahkan hampir tak terlihat di tanah. Ayunan langkah nan santai membawaku pergi dari ruangan itu.

***

Malam mulai menyelimuti setiap jiwa yang terjaga. Meninabobokan setiap pemanis dunia. Namun tidak denganku. Udara dingin kota hujan belum sanggup melunturkan tekat untuk bermanja dengan malam. Sebagai mahasiswa, tugas adalah kekasih paling setia.

Satu pesan masuk dari nomor tanpa nama.

+625692415xxx:

Selamat malam, boleh ganggu?

Bima

Diterima: 6/5/2013 @ 20:23

Rani:

Malam, silakan.

Dikirim: 6/5/2013 @ 20:27

Setelah pesan singkat tersebut terkirim, sebuah panggilan masuk tertera di layar ponsel.

“Malam,” sapanya agak ragu-ragu

“Iya” jawabku dengan sedikit gugup.

“Maaf, aku mengganggumu.”

Dari perbincangan siang tadi berlanjut hingga malam ini. Walaupun dengan perasaan was-was, perbincangan kami ternyata menyapu hingga tengah malam. Suara di ujung sana masih saja renyah untuk disimak hingga perlahan meredakan kekhawatiran.

Pria yang tingginya kira-kita 168 sentimeter berbadan sintal berambut pendek itu dengan lasuh melanjutkan perbincangan saat seminar tadi.

“Aku tak pernah mengerti bagaimana awalnya kedua mataku tidak lagi dapat melihat. Kata dokter, terkena virus atau apalah aku tidak paham bahasa mereka. Pada saat itu, masih terlalu dini aku paham. Aku tak sedih atau kecewa. Ya... karena aku belum mengerti apa-apa,” paparnya.

Aku terus menyimak pembicaraan. Dengan santun, berusaha menanggapi sewajarnya.

“Kamu teleponan sama siapa?” tanya Luna, sahabatku yang sedang menginap di rumah sesaat setelah telepon berakhir.

“Itu, sama orang yang tadi pas seminar.”

Iih kamu kok mau sih deket-deket orang kaya gitu. Kita ga tau loh dia beneran begitu apa cuma mau cari perhatian.”

“Kaya begitu bagaimana maksud kamu?”

“Ya, itu ... “

Luna mulai memelankan suara dan tampak takut-takut melanjutkan percakapan.

“Kamu jangan gitu. Anggep aja dia emang beneran ga punya niat jahat sama aku. Perihal dia buta, tunanetra, atau apalah namanya itu kan bukan maunya dia juga.”

Ah terserah kamu lah.”

Sekali lagi, bukankah tidak adil menyimpulkan sesuatu hanya karena tampilannya?

Segala keterbatasan acap kali mendatangkan berbagai ‘perhatian’ dari berbagai pihak. Mulai dari hinaan, hingga perlakuan kasar.

Ia sempat bercerita pernah diusir dari sebuah toko karena dianggap pengemis. Pernah juga diludahi bahkan ditendang orang. Sering kali, orang enggan untuk mendekati. Berkenalan saja risi, apa lagi menjadi teman baik.

“Hidup adalah kesulitan dan kemudahan,” begitulah ucapnya.

Dengan tutur yang tenang, tanpa sedikit pun merasa terasing, Ia memaparkan kehidupannya. Jelas, dengan ketidaksempurnaan fisik merupakan kesulitan untuk berinteraksi dengan sesama. Kemudahan? Anggapannya bahwa Ia lebih mudah mengenal penciptanya dengan keadaannya seperti ini. Tak perlu melihat sesuatu yang tak pantas untuk dilihat.

Kebutaan permanen yang menimpanya mengajarkan kebahagiaan yang tak berwarna. Memasuki pendidikan formal merupakan salah satu pencapaian terbesar dalam hidupnya. Dianggap sama atau sederajat.

Sedari kecil. Aku sangat ingin bersekolah formal. Bukankah aku sama seperti mereka? Yaa.. walaupun aku harus menerima informasi lebih lambat dari pada mereka,” itulah perkataan yang selalu terngiang.

“Untuk menempuh pendidikan sekolah dasar aku harus melewati tujuh tahun, sekolah menengah pertama dan atas masing-masing empat tahun. Itu semua aku jalani di sekolah Luar Biasa dan lebih lambat dari kalian bukan? Namun aku selalu tidak habis pikir dengan mereka yang normal. Hidup sempurna saja masih mengeluh, bagaimana jika mereka seperti aku? Atau bahkan lebih?” ucapan tersebut bagaikan tamparan bagiku. Yaa.. sang pengeluh.

“Bagaimana caramu bertahan?”

“Mudah, bersabar tiada akhir. Ketika orang lain belajar dengan guru, dosen, ustad atau bahkan ahli agama sekalipun tentang kesabaran, aku langsung diajarkan dari Sang Pencipta.”

“Sulit...”

“Jelas sulit untuk mereka yang hidup terpaku pada satu sumber dan menghiraukan potensi lain.”

“Maksudmu?”

“Ketika tangan kananmu terluka dan untuk beberapa waktu tak dapat digerakkan, kamu pasti mencari akal agar aktivitasmu tetap berjalan. Itu akan dilakukan jika kamu berpikir dan dapat mengoptimalkan apa yang ada di dirimu. Bagiku? Ketika mataku terpejam, ya aku harus optimalkan apa yang ada pada diriku. Bukan untuk sementara tetapi selamanya.”

“Pernahkah kamu dendam atau marah kepada mereka yang menghinamu?”

“Hahahaa... Apa guna aku marah? Memangnya marah bisa mengembalikan penglihatanku? Tidak. Setiap kali menerima hinaan dari mereka, aku hanya berdoa semoga kesabaranku terus bertambah. Bukankah kesabaran tak ada batasnya? Manusia itu sendiri yang membatasinya.”

Aku tertegun mendengar ucapannya. Bisa dibayangkan, jika aku ada di posisinya belum tentu aku bisa sekuat Ia. Ketika sesuatu hal tidak sesuai dengan harapan, kita sering kali mengutuk keadaan. Jika di pandang dari sisi yang berbeda, itu semua mungkin yang terbaik untuk diri kita.

Sebuah kalimat yang patut dicamkan setiap orang darinya.

Aku ingin bermanfaat bagi orang lain dan membanggakan orang tua.

Dari seseorang yang istimewa, banyak pelajaran istimewa pula dari dirinya. Kebahagiaan itu bukan sekadar warna-warni dunia dengan berbagai ornamennya. Bukan riuh tawa dan canda. Bukan keindahan di depan mata. Kebahagiaan itu adalah sesuatu yang tak Tampak. Namun, dapat dirasakan, diserap, dan sepatutnya disyukuri.

“Besok kamu datang yah, ke alamat yang nanti akan kukirim via pesan singkat. Aku mau mengajakmu makan malam.”

“Hah? Makan malam?”

“Iya. Selagi sempat aku mengajakmu.”

Aku hanya tersenyum. Mungkin ia tak mengetahuinya.

Otakku terus berpikir. Apa aku harus menemuinya besok malam? Aah entahlah.

“Kenapa kamu diam? Kamu mau datang kan? Hayolah, beri Si Buta ini sebuah kebahagiaan kecil dari gadis baik sepertimu.”

“heem..” gumamku.

Setelah telepon itu terputus, dalam otakku bertanya apa aku harus menemuinya? Ah bagaimana mungkin aku makan malam berdua dengannya? Bukankah itu sama saja berkencan? Bagaimana tanggapan orang lain jika melihat aku dengannya? Bagaimana tatapan para tamu di tempat itu nanti? Aah! Begitu banyak ‘bagaimana’ yang dirisaukan.

***

Aku masih melirik jam di tangan kiriku. Pakaian terbaik sudah dikenakan. Namun masih saja ada yang mengganjal. Apa aku benar-benar harus menemuinya? Akhirnya kuputuskan untuk pergi. Tidak! Bukan ke tempat perjanjian. Melainkan ke rumah Luna. Sesampainya di sana, aku menceritakan segalanya.

“Kamu yakin mau dateng?” tanya Luna

Aku hanya diam

“Kamu itu salah satu mahasiswa yang paling di pertimbangkan. Kamu cantik juga cerdas. Siapa yang tak kenal kamu di kampus?”

“Tapi Lun, masa sih buat menyenangkan hati seseorang kita harus melihat tampilannya? Ga adilkan?”

“Ya, kalau benar begitu kenapa kamu masih di sini? Kan kamu mau menyenangkan hati orang lain yang sedang menunggumu di sana.”

Ah! Sahabatku itu benar. Seharusnya aku sudah di sana sekarang. Aku mendelik jam, sudah lewat satu jam dari perjanjian. Aku bergegas pamit dan pergi.

Rumah Luna dengan tempat yang dijanjikan cukup jauh. Memakan waktu 45 menit untuk sampai di sana. Itu artinya aku akan terlambat hampir dua jam. Sesampainya di sana, tempat itu masih saja ramai. Ketika aku memasuki ruangan, nuansa romantis menyeruak. Ornamen lembut dan iringan musik klasik menambah kesan. Aku mencoba mencari sosok yang dikenal. Ah! Ternyata ia masih bertahan. Sudut ruangan. Perbatasan antara ruang dalam dan luar. Tampak dari sana terlihat pemandangan langit malam yang cerah.

“Maaf, aku terlambat.”

“Akhirnya kamu datang. Silakan duduk,” senyum merekah di wajahnya.

“Kamu silakan pesan. Aku mau ke kamar kecil sebentar,” lanjutnya.

Akhirnya aku bisa merasa sedikit tenang karena ia masih menunggu. Ia tak tampak ramah tapi juga tak menunjukkan kemarahan. Tak terasa aku menunggu hingga hampir setengah jam.

“Apa ia pulang? Kenapa lama sekali di kamar kecil?” tanyaku dalam hati.

Tiba-tiba suara ramai dari kamar kecil. Seorang pelayan berteriak bahwa ada yang pingsan di dalam sana. Dengan sigap pihak keamanan dan pelayan lain mencoba melihat dan membawa ke rumah sakit. Aku sontak ikut melihat. Ternyata itu Bima. Dengan perasaan cemas, aku ikut rombongan untuk mengantarnya ke rumah sakit terdekat.

“Maafkan aku, Bima,” ucapku lirih kala menanti di depan ruang UGD.

Tiba-tiba seorang pria berpakaian serba putih menghampiriku. Ia mengajakku untuk ke ruangannya. Dengan hati-hati Ia memaparkan bahwa Bima mengidap asma. Menurut dugaan dokter, ia tidak meminum obat yang biasa dikonsumsi, sehingga penyakitnya kumat dan pingsan.

“Kami sedang menangani pasien dengan semaksimal mungkin,” begitu tambahnya.

Perasaan berkecamuk dalam hati. Andai saja aku datang tepat waktu, mungkin waktu itu kami sudah sampai di rumah dan ia tak mungkin seperti ini. Aku benar-benar merasa bersalah. Menghakimi diri sendiri.

Apa aku sama jahatnya dengan mereka yang mencerca?

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post