Dodi Saputra Berkarya

Dodi Saputra lahir Selasa Legi, 25 September 1990/ 5 Rabiul Awal 1411 Hijriah di Desa Mahakarya, Kabupaten Pasaman Barat, Sumatera Barat, Indonesia. Penggiat li...

Selengkapnya
Navigasi Web
Guru Berprestasi dan Masa Bakti
Guru Berprestasi dan Masa Bakti

Guru Berprestasi dan Masa Bakti

Guru Berprestasi dan Masa Bakti

Opini Dodi Saputra

Guru berprestasi di sini bukanlah guru senior. Misalnya, ada guru yang sudah mengabdi lebih kurang delapan tahun, yakni guru yang sudah mengantongi pengalaman mengajar sebagai guru selama delapan tahun. Jadi terhitung sejak diberikan surat keterangan (SK) mengajar sampai saat ini, ia sudah memasuki masa bakti delapan tahun. Begitulah maksud penulis langsung memakainya dalam judul, agar pembaca dapat melihat berbagai sisi tentang guru setelah menjalani masa bakti delapan tahun.

Tulisan kali ini berusaha mengungkap tentang hubungan seorang guru dengan lama/ masa mengajarnya. Setidaknya terdapat tiga pertanyaan yang patut diutarakan. Mudah-mudahan pertanyaan ini menjadikan pertimbangan pembaca, khususnya pihak terkait untuk meninjau kembali kebijakan tentang persyaratan guru berprestasi. Secara persyaratan, setiap guru yang mengajar belum sampai delapan tahun tidak bisa diikutsertakan dalam seleksi tersebut. Kemudian, peserta guru berprestasi semakin sedikit, karena hanya yang delapan tahun mengajarlah yang ikut.

Penulis mengajak pembaca untuk membuka mata lebih lebar. Membuka pikiran untuk memberikan kesempatan secara menyeluruh. Seleksi tersebut dinilai lebih adil (baca: netral), jika diikuti oleh setiap guru dari lintas profesi dan tidak melihat umur. Dalam hal ini, umur seolah menjadi pemisah antara guru yang junior (belum delapan tahun mengajar) dengan guru senior (sudah delapan tahun mengajar). Istilah junior dan senior dalam ini hanya sebatas istilah saja, untuk memudahkan mengklasifikasikan usia. Sementara faktor umur belum menentukan tingkat profesionalitas seorang guru.

Jika hanya ingin mengikutsertakan guru yang memiliki kompetensi pedagogik, tentu alumni dari kampus keguruan sudah memenuhi tuntutan tersebut. Kemudian, bila hanya ingin melihat pengalaman, boleh dilihat bagaimana proses pembelajaran seorang guru yang sudah sepuluh tahun sekalipun, dengan cara mengajar guru yang lima tahun. Artinya, parameter usia mengajar bersifat relatif. Ada guru yang masih muda dengan semangat dan kualitas bagus. Ada pula guru yang sudah berumur (baca: tua) dengan kemampuan mengajar sekuat tenaganya. Kadang bisa saja sebaliknya.

Hal di atas penulis utarakan, agar pembaca menyadari bahwa semua guru berhak dan berpotensi sebagai guru berprestasi, tanpa memandang unsur senioritas. Mari sedikit lebih serius menanggapi hal ini, dengan tiga aspek di bawah ini. Semoga ada perbaikan di seleksi guru berprestasi di tahun berikutnya.

Pertama, apakah masa menjabat delapan tahun itu sudah menjadi standar guru yang layak berprestasi? Tentu sudah dipikirkan dan dimusyawarahkan dalam forum khusus mengenai hal ini. Sebagai guru, penulis melihat ini perlu diberikan masukan. Masalahnya, guru bisa saja berprestasi meskipun belum mengajar selama delapan tahun. Bahkan banyak guru yang mengajar belum sampai delapan, namun sudah mengukir prestasi yang gemilang.

Kedua, apakah guru yang mengajar belum sampai delapan tahun tidak layak dijadikan sebagai guru berprestasi? Nah, inilah yang membuat tertutupnya kesempatan untuk mengikuti seleksi tersebut. Guru-guru junior dinilai `belum cukup umur` untuk mengikuti seleksi bergengsi itu, meskipun secara prestasi diri dan pengalaman tidak kalah hebatnya dengan guru senior. Sehingga kesempatan itu memang harus menunggu sampai waktu yang tepat.

Ketiga, atas sebab apakah muncul peraturan, bahwa hanya guru yang berusia delapan tahunlah yang berhak mengikuti seleksi guru berprestasi hingga tingkat nasional? Di sini amat terlihat kedangkalan pemikiran para penggagas syarat delapan tahun ini. Kenapa pula tidak digenapkan sepuluh tahun atau tanggung-tanggung harus dua puluh tahun saja. Atau pun malah cukup berusia beberapa tahun mengajar. Asal ide delapan tahun yang telah dicantumkan itu, sebaiknya harus disampaikan alasan logisnya kepada peserta. Bisa jadi dari penelitian ilmiah tentang kematangan usia delapan tahun mengajar dan sebagainya. Sehingga guru tidak bertanya-tanya lagi ada apa di balik delapan tahun.

Baiklah, pada tulisan kali ini, penulis tetap harus legowo menerima keputusan pejabat berwenang. Syarat harus mengajar terlebih dahulu selama delapan tahun, mau tak mau harus dipatuhi. Dari pada berpikir lebih banyak dan tak berujung, lebih baik saat ini kita harus berbaik sangka pada pemangku kebijakan. Seorang guru dalam masa bakti delapan tahun mungkin dinilai guru yang sudah matang. Ibarat buah, mungkin buah itulah yang sudah manis rasanya. Sementara yang lainnya masih mengkal atau mentah. Harapan penulis, seleksi guru berprestasi tersebut bisa lebih objektif, adil, netral, dan komprehensif.

Dalam persyaratan guru berprestasi tahun 2019 ini pun dicantumkan bahwa sekurang-kurangnya telah mengajar selama delapan tahun (dibuktikan dengan surat keputusan pengangkatan). Berapa banyak pun SK mengajar di berbagai tempat, kalau memang belum delapan tahun, ya tetap tidak diperbolehkan untuk maju ke tingkat provinsi. Sabar saja, jalani saja.

Saat ini penulis cukup bersyukur sampai di tingkat kota Padang. Bisa mengharumkan nama baik sekolah, keluarga, kampung, dan kecamatan. Meskipun begitu, penulis tetap terus berkarya dan tak akan gentar dengan guru berprestasi lainnya. Sampai bertemu di seleksi guru berprestasi selanjutnya. Tunggu saja karya-karya penulis setelah ini. Tentu saja karya yang lebih bermanfaat untuk umat. Insyaallah.Guru delapan tahun ini yakni guru yang sudah mengantongi pengalaman mengajar sebagai guru selama delapan tahun. Jadi terhitung sejak diberikan surat keterangan (SK) mengajar sampai saat ini, ia sudah memasuki masa bakti delapan tahun. Begitulah maksud penulis langsung memakainya dalam judul, agar pembaca dapat melihat berbagai sisi tentang guru setelah menjalani masa bakti delapan tahun.

Tulisan kali ini berusaha mengungkap tentang hubungan seorang guru dengan lama/ masa mengajarnya. Setidaknya terdapat tiga pertanyaan yang patut diutarakan. Mudah-mudahan pertanyaan ini menjadikan pertimbangan pembaca, khususnya pihak terkait untuk meninjau kembali kebijakan tentang persyaratan guru berprestasi. Secara persyaratan, setiap guru yang mengajar belum sampai delapan tahun tidak bisa diikutsertakan dalam seleksi tersebut. Kemudian, peserta guru berprestasi semakin sedikit, karena hanya yang delapan tahun mengajarlah yang ikut.

Penulis mengajak pembaca untuk membuka mata lebih lebar. Membuka pikiran untuk memberikan kesempatan secara menyeluruh. Seleksi tersebut dinilai lebih adil (baca: netral), jika diikuti oleh setiap guru dari lintas profesi dan tidak melihat umur. Dalam hal ini, umur seolah menjadi pemisah antara guru yang junior (belum delapan tahun mengajar) dengan guru senior (sudah delapan tahun mengajar). Istilah junior dan senior dalam ini hanya sebatas istilah saja, untuk memudahkan mengklasifikasikan usia. Sementara faktor umur belum menentukan tingkat profesionalitas seorang guru.

Jika hanya ingin mengikutsertakan guru yang memiliki kompetensi pedagogik, tentu alumni dari kampus keguruan sudah memenuhi tuntutan tersebut. Kemudian, bila hanya ingin melihat pengalaman, boleh dilihat bagaimana proses pembelajaran seorang guru yang sudah sepuluh tahun sekalipun, dengan cara mengajar guru yang lima tahun. Artinya, parameter usia mengajar bersifat relatif. Ada guru yang masih muda dengan semangat dan kualitas bagus. Ada pula guru yang sudah berumur (baca: tua) dengan kemampuan mengajar sekuat tenaganya. Kadang bisa saja sebaliknya.

Hal di atas penulis utarakan, agar pembaca menyadari bahwa semua guru berhak dan berpotensi sebagai guru berprestasi, tanpa memandang unsur senioritas. Mari sedikit lebih serius menanggapi hal ini, dengan tiga aspek di bawah ini. Semoga ada perbaikan di seleksi guru berprestasi di tahun berikutnya.

Pertama, apakah masa menjabat delapan tahun itu sudah menjadi standar guru yang layak berprestasi? Tentu sudah dipikirkan dan dimusyawarahkan dalam forum khusus mengenai hal ini. Sebagai guru, penulis melihat ini perlu diberikan masukan. Masalahnya, guru bisa saja berprestasi meskipun belum mengajar selama delapan tahun. Bahkan banyak guru yang mengajar belum sampai delapan, namun sudah mengukir prestasi yang gemilang.

Kedua, apakah guru yang mengajar belum sampai delapan tahun tidak layak dijadikan sebagai guru berprestasi? Nah, inilah yang membuat tertutupnya kesempatan untuk mengikuti seleksi tersebut. Guru-guru junior dinilai `belum cukup umur` untuk mengikuti seleksi bergengsi itu, meskipun secara prestasi diri dan pengalaman tidak kalah hebatnya dengan guru senior. Sehingga kesempatan itu memang harus menunggu sampai waktu yang tepat.

Ketiga, atas sebab apakah muncul peraturan, bahwa hanya guru yang berusia delapan tahunlah yang berhak mengikuti seleksi guru berprestasi hingga tingkat nasional? Di sini amat terlihat kedangkalan pemikiran para penggagas syarat delapan tahun ini. Kenapa pula tidak digenapkan sepuluh tahun atau tanggung-tanggung harus dua puluh tahun saja. Atau pun malah cukup berusia beberapa tahun mengajar. Asal ide delapan tahun yang telah dicantumkan itu, sebaiknya harus disampaikan alasan logisnya kepada peserta. Bisa jadi dari penelitian ilmiah tentang kematangan usia delapan tahun mengajar dan sebagainya. Sehingga guru tidak bertanya-tanya lagi ada apa di balik delapan tahun.

Baiklah, pada tulisan kali ini, penulis tetap harus legowo menerima keputusan pejabat berwenang. Syarat harus mengajar terlebih dahulu selama delapan tahun, mau tak mau harus dipatuhi. Dari pada berpikir lebih banyak dan tak berujung, lebih baik saat ini kita harus berbaik sangka pada pemangku kebijakan. Seorang guru dalam masa bakti delapan tahun mungkin dinilai guru yang sudah matang. Ibarat buah, mungkin buah itulah yang sudah manis rasanya. Sementara yang lainnya masih mengkal atau mentah. Harapan penulis, seleksi guru berprestasi tersebut bisa lebih objektif, adil, netral, dan komprehensif.

Dalam persyaratan guru berprestasi tahun 2019 ini pun dicantumkan bahwa sekurang-kurangnya telah mengajar selama delapan tahun (dibuktikan dengan surat keputusan pengangkatan). Berapa banyak pun SK mengajar di berbagai tempat, kalau memang belum delapan tahun, ya tetap tidak diperbolehkan untuk maju ke tingkat provinsi. Sabar saja, jalani saja.

Saat ini penulis cukup bersyukur sampai di tingkat kota Padang. Bisa mengharumkan nama baik sekolah, keluarga, kampung, dan kecamatan. Meskipun begitu, penulis tetap terus berkarya dan tak akan gentar dengan guru berprestasi lainnya. Sampai bertemu di seleksi guru berprestasi selanjutnya. Tunggu saja karya-karya penulis setelah ini. Tentu saja karya yang lebih bermanfaat untuk umat. Insyaallah.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Sukses ya

03 Feb
Balas

Semoga berkah

03 Feb
Balas

waw lah banyak bukunyo ko ruponyo

03 Feb
Balas

Bismillah... Semoga bermanfaat ya, Bapak dan Ibu.

03 Feb
Balas



search

New Post