RAPOT YANG DI TIP-EX
RAPOT YANG DI TIP-EX
Saya membuka kembali lembaran-lembaran rapot siswa saya satu persatu. Setelah semalaman bergadang untuk menulis angka-angka rapot, maka pagi ini saya memastikan bahwa rapot ini sudah terisi dengan lengkap. Maklumlah saat itu untuk mengisi nilai rapot masih menggunakan tulis tangan, belum pakai komputer apalagi erapot. Ini memang sudah seperti tradisi yang berulang dari tahun ketahun. Bapak ibu guru telat menyerahkan nilai kewali kelas. Bayangkan, rapot akan dibagi hari sabtu, nilai baru diserahkan hari jumat. Apa tidak menyiksa walikelas seperti itu? Ya menyiksa, namun apa daya itu seperti sudah menjadi tradisi.
Saya menarik napas dengan lega. Rapot sudah lengkap terisi, meski saya sempat salah menuliskan satu nilai siswa. Untuk yang salah itu biasanya saya akan mengeriknya dengan hati-hati kemudian menuliskan angka yang benar. Hasilnya tidak terlalu buruk, tidak terlalu mencolok. Saya segera merapikan rapot-rapot ini dan segera membawanya ke sekolah yang ada di depan rumah kos saya. Liburan sudah didepan mata, selesai membagi rapot saya akan beres-beres dan esok pagi berangkat pulang liburan ke rumah orangtua saya di Jakarta
Liburan yang berlangsung satu bulan sudah berlalu dan dengan perasaan berat karena merasa libur masih kurang, saya kembali ke sekolah dan mendapat jadwal mengajar. Belum sempat mencermati jadwal ketika pak Kasino wakil kepala sekolah kurikulum menemui saya.
“ Bu..., apakah ibu walikelas XA?”
“ Ya, pak ada apa?”
“Ibu sendiri yang menulis rapotnya?”
“Ya benar pak, saya sendiri. Ada apa pak?” Saya mulai merasa tidak enak. Apakah ada nilai rapot atau kesalahan lainnya saat saya mengisi rapot itu?
“ Begini bu. Kemarin ketika ibu masih libur di Jakarta ada orangtua yang datang ke sekolah dan bertanya tentang rapot anaknya. Lima nilai mata pelajaran ditip-ex dan ditulis kembali dengan nilai. Kesannya rapot itu jadi kotor dan tidak rapi. Bukankah rapot tidak boleh ditip-ex?” ujar pak Kasino
Saya kaget luar biasa. Saya tidak pernah mentip-ex rapot. Memang ada satu rapot yang nilainya salah saya tulis, dan itupun hanya satu nilai. Tapi saya tidak mentip-ex, saya mengeriknya dengan hati-hati dan menulisnya kembali. Ini ilmu yang diajarkan teman-teman walikelas lainnya.
“Saya tidak pernah mentip-ex rapot, pak.”
“Apa benar, Bu? Lalu siapa yang mentip-ex rapot itu?”
“Rapot itu kan diterima langsung oleh siswa. Apa mungkin siswa yang melakukan? Coba dicek saja dengan legernya, pak” Saya sudah mengumpulkan leger, yaitu daftar nilai yang kemudian saya salin ke rapot.
“Oh ya benar, bu. Mari kita cek” Kami mencari leger di lemari kurikulum, mulai memeriksa dan mencocokan nilai satu persatu. Alangkah terkejutnya kami ketika ada lima nilai rapot yang jauh berbeda dengan nilai yang tertera di leger.
“ Wah kok jadi seperti ini? Kenapa rapotnya diubah begini?” pak Kasino masih terus menatap nilai-nilai rapot dan leger itu.
“Saya harus minta maaf pada ibu. Saya sudah sempat berburuk sangka, saya kira kok ibu ceroboh sekali menulis rapot ini?”
“Tidak apa-apa, pak. Saya akan mencari siswa pemilik rapot ini dan bertanya alasannya.”
Esok hari saya masuk ke kelas X A dan mencari siswa yang mentip-ex rapot. Namun siswa putri tersebut tidak masuk. Tiga hari berikutnya tetap tidak masuk.
Akhirnya saya mengajak beberapa teman sekelasnya yang tahu rumah siswa itu. Ternyata bapaknya adalah seorang polisi. Setelah saya berbincang-bincang beberapa saat, bapak itu mengatakan bahwa ia memang heran kenapa rapot anaknya penuh dengan tip-ex. Ia memang agak keras pada anaknya karena ia ingin anaknya nanti masuk sekolah polisi dengan rapot yang baik.
Setelah saya sampaikan bahwa rapot anaknya bukan saya yang memberi tip-ex dan nilai itu sudah diubah, tidak sama dengan data di leger yang tersimpan di sekolah, bapak itu hanya diam saja. Saya tidak dapat bertemu dengan anaknya, dengan alasan sedang pergi. Akhirnya saya mengetahui bahwa siswa putri itu yang telah mentip-ex rapot dan mengganti nilai-nilai itu. Ia sangat takut kepada bapaknya yang menekan agar dia bisa mengikuti jejak menjadi polisi. Ia mengubah lima nilai mata pelajaran yang pas-pas diangka enam menjadi tujuh setengah hingga delapan.
Suatu tekanan ketakutan luar biasa kepada bapaknya hingga muncul keberanian yang tidak berlogika untuk mengubah nilai rapot. Saya sedih dan sekaligus prihatin. Bapaknya mengatakan ingin yang terbaik untuk anaknya, namun anak tidak merasa itu yang terbaik justru tekanan dan siksaan mental baginya. Hingga akhirnya siswa putri itu tidak pernah lagi masuk sekolah. Temannya mengatakan ia telah pindah sekolah.
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar