Dra. Muliati

Menulis itu jiwa dan nyawa. Jika masih bisa menulis berarti jiwa dan nyawa masih sehat. Pupuklah itu selagi ada kesempatan. Menulislah kap...

Selengkapnya
Navigasi Web
AIR MATA DI HOTEL PRODEO

AIR MATA DI HOTEL PRODEO

AIR MATA DI HOTEL PRODEO

Muliati

Setelah membaca goresan sahabatku, aku tutup WA dan mencari sebuah nama. Nama yang juga merupakan panutanku. Kehidupannya yang sederhana dan bersahaja. Ia juga aktif dalam organisasi Islam. Bersama beliau aku ikut pengajian ibu-ibu di kota kami tersebut. Rumahnya di kompleks Harapan Indah, nama yang cukup bagus. Ya, memang bagus. Orang-orang yang tinggal di sana orang-orang yang baik, sehingga terasa nuansa Islami.

Kuambil gawai dan kutelepon sahabatku itu.

“Assalamualaikum Ibu. Saya mendengar berita yang kurang baik dari sana. Sebenarnya saya tidak ingin menanyakan ini, Bu. Takut ibu nanti tersinggung dan tidak enak hati.Tapi, saya tak mampu meredam pertanyaan yang berkecamuk dalam pikiran ini. Takut akan menjadi dosa. Lebih baik saya menanyakan langsung kepada Ibu,” kataku dengan perasaan sedih dan hati-hati.

Ibu di seberang sana terdiam. Aku mulai khawatir. Ia pasti tidak akan mau bercerita kepadaku. Kekhawatiranku tiba-tiba sirna mendengar suaranya yang indah itu mulai bicara. Ibu itu seorang qoriah, jika melantunkan ayat-ayat suci, suaranya sangat merdu dan terasa nyaman di hati.

“Ya, Bu. Silakan. Ibu mau menanyakan apa? Bagaimana kabar ibu di sana? Tidak terasa sudah dua tahun kita berpisah, ya,” suaranya mengalir seperti biasa, tak terkesan ia sedang berduka.

“Alhamdulillah baik, Bu,” jawabku. Masih terbayang, sebelum kami pindah ke kampung halaman, beliaulah tamu paling terakhir ke rumah membawa buah dan amplop berisi uang, Katanya untuk beli minum di jalan. Itulah tradisi kami di Papua yang akrab, saling berkunjung, dan saling memberi.

“Mohon maaf jika pertanyaan saya melukai hati Ibu. Benarkah Bapak dipenjara, Bu?” tanyaku dengan begitu hati-hati. Lama kutunggu jawaban dari seberang. Terdengar helaan napas panjang dan nada kecewa.

“Ya, Bu. Suami saya difitnah. Tapi, saya ikhlas, Bu. Mungkin ini yang terbaik dari Allah. Saya yakin, Allah memberikan ujian agar saya dan keluarga naik kelas. Semoga kami diberi kekuatan dan kesabaran menghadapi musibah ini, Bu. Doakan kami ya, Bu. Maafkan kami jika ada salah kepada Ibu,” jawabnya dengan kalimat yang mantap dan yakin. Tidak ada nada sedih dan pilu kudengar. Itulah tanda orang yang bertakwa. Ikhlas menerima takdir Allah.

Akhirnya, kami akhiri percakapan saat itu. Kututup gawaiku dan aku melakukan pekerjaan yang lain. Aku tak percaya jika Pak Suprianto masuk bui. Ia seorang ustadz, tamatan pesantren, dan orangnya baik. Hidup mereka sederhana. Rumahnya kecil dan tidak ada harta benda yang kulihat. Tapi, mengapa ia terjerembab ke sana. Apa sesungguhnya yang ia perbuat?

Bersambung!

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Bersabar atas fitnah...sayapun pernah difitnah menculik anak gadis orang lah, makan uang masjid...tetap luruskan hati dan niat...

28 Apr
Balas

Ya Pak. Terima kasih atensinya, Pak

28 Apr

Sama sama bu...

28 Apr
Balas



search

New Post