Dra. Muliati

Menulis itu jiwa dan nyawa. Jika masih bisa menulis berarti jiwa dan nyawa masih sehat. Pupuklah itu selagi ada kesempatan. Menulislah kap...

Selengkapnya
Navigasi Web
PULANG BERDARAH

PULANG BERDARAH

PULANG BERDARAH

Muliati

Kuperhatikan gelagat Mina. Kulihat raut wajahnya menegang. Ia benar-benar bukan Mina yang kukenal selama ini. Mina yang selalu mengalah. Mina yang sangat sayang dengan anak-anaknya. Ia yang selalu sabar dan tabah. Kini beringas dan tangannya mengepal. Aku mulai khawatir dengan sikapnya. Apakah ia akan merencanakan sesuatu?

“Mina …, Mina ...!”

Ia tidak mendengar panggilanku. Ia sibuk dengan pikirannya. Aku beranjak dari tempat dudukku mendekati Mina. Kutarik tangannya dan aku gandeng ke samping tempat dudukku tadi.

“Kamu memikirkan apa?” tanyaku sambil menyuruhnya duduk.

“Aku malu, Mimi. Aku malu. Aku tidak berhasil jadi istri yang baik. Aku sudah berusaha membawa dia menjadi imam yang bisa diteladani. Tapi ternyata Allah tidak mengabulkannya.

“Berhentilah menyalahkan dirimu sendiri, Mina. Kamu berhasil, kok. Buktinya anak-anakmu sekolah di pesantren. Bukankah itu keinginanmu dulu?” Bersyukurlah Mina. Mengenai imam, bukan kamu yang mengajaknya. Justru dia yang akan membawamu ke surganya Allah. Jika ia tidak mau dan tidak mampu, bukan salahmu. Mulai sekarang, kamu berhenti menyalahkan diri sendiri. Kamu mungkin terlalu berharap ia jadi imam yang baik, salat di masjid, pergi pengajian bersama. Tapi dia belum dapat hidayah. Doakan saja agar hatinya terbuka. Aku banyak belajar darimu Mina. Ingat sewaktu aku punya masalah, bukankah kamu yang memberikan solusi, sudah lupa? Sekarang kok malah kamu yang tidak tegar.”

Aku masih ingat kata-katamu dulu. “Mimi kamu harus bekerja. Jangan hanya mengandalkan gaji suamimu. Kamu harus percantik diri. Banyak silaturahmi. Suatu saat kamu akan bahagia. Masih ingat? Kata-katamu itulah yang membuatku bangkit dari perilaku suamiku yang selalu merendahkan aku, bahkan mencampakkan aku. Kamu lihat aku sekarang? Aku Bahagia.”

Mina mulai mengendor wajahnya yang tegang tadi. Tiba-tiba ia tersenyum.

“Kamu benar, Mi. aku mulai rapuh. Yah, aku akan bangkit. Oh, ya Mi, di mana orang jual parang yang tajam?” tanya Mina kepadaku dengan senyum.

“Parang tajam untuk apa?” tanyaku balik. “Ngeri aku dengarnya.” Aku mencoba tertawa menghibur Mina. Mina kembali tersenyum kepadaku. Senyum itu seperti menyimpan rahasia. Rahasia yang tidak bisa aku tebak saat ini.

Bersambung!

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Luar biasa karyanya Bu Muliati, terus berbagi, Barokallah salam sehat dan bahagia selalu

30 Jun
Balas

Terima kasih, Pak Syaihu

30 Jun

Terima kasih, Pak Syaihu

30 Jun

Terima kasih, Pak Syaihu

30 Jun

Terima kasih, Pak Syaihu

30 Jun

Terima kasih, Pak Syaihu

30 Jun

Terima kasih, Pak Syaihu

30 Jun

Cerita horor yang menarik bun

30 Jun
Balas

Trims, bu sofia

30 Jun

Kereeen..ditunggu kelanjutannya..hancur Mina..

30 Jun
Balas

Haaa hhaaa.. benar. Terima kasih.

30 Jun



search

New Post