Dra. Yasmi, M.Pd

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web
 #tantanganH7“CANDUANG MENDUNIA”(Bag.6) PendiKar Ala Minangkabau (Canduang)

#tantanganH7“CANDUANG MENDUNIA”(Bag.6) PendiKar Ala Minangkabau (Canduang)

“CANDUANG MENDUNIA”

(Bag. 6)

Pendidikan Karakter Ala Minangkabau (Canduang)

Setelah mencoba membolak-balik eh… membaca buku “Properti dan Kesinambungan Sosial” karya Franz von Benda-Beckmann. Saya kok merasa seperti sedang membaca buku sejarah. Buku yang menceritakan kejadian atau peristiwa masa lalu. Sejarah tentang kanagarian Canduang Koto Laweh (Cangkola).

Perasaan ini mungkin dianggap berlebihan bagi sebagian anak nagari Cangkola. Namun tidak bagi saya. Saya malah merasa terharu membacanya. Kenapa tidak. Coba bayangkan, umur saya yang sudah dalam perjalanan menuju kepala “enam” belum pernah tahu atau diberitahu tentang sejarah Cangkola. “Kampuang halaman denai tacinto”.

Meskipun bidang yang diteliti oleh Franz ini di bidang hukum adat di Minangkabau. Namun dalam pembahasannya tetap diselipkan Canduang dalam kajian Antropologi Sosialnya. Meskipun terlambat mengetahuinya, masih tetap bangga dengan apa ditulisnya.

Bangga karena Canduang ternyata punya sejarah budaya yang patut pelajari kembali. Dibudayakan kembali dalam rangka baliak ka nagari jo baliak ka surau.

Seperti yang saya tulis sebelumnya ( CM Bag.5). Pendidikan di Rumah Gadang adat sudah ditanamkan semenjak dari kecil. Meskipun ada bidang-bidang lain yang hanya boleh diketahui oleh orang tertentu saja.

Pendikan karakter memang ditanamkan secara kental di Rumah Gadang. Prinsip-prinsip dasar adat diajarkan semenjak dini. Mereka dididik secara sistematis agar punya rasa malu, beradab, sopan santun serta setia pada kaumnya.

Setelah remaja anak perempuan dengan anak laki-laki tidak boleh tidur serumah. Itu sebabnya anak remaja laki-laki pindah tidur ke surau. Di surau mereka bukan hanya sekedar pindah tidur. Namun mereka diajarkan pengetahuan agama, adat istiadat, petatah petitih.

Mereka diajarkan, dicontohkan, ditanamkan bagaimana berbicara. Bagaimana berlisan pada orang yang lebih tua, sama besar, dan pada yang lebih kecil. Sebab ada satu prinsip dasar adat di Minangkabau. Bahwa seseorang tidak boleh berbicara langsung (indak buliah taruih tarang), tidak boleh mengungkapkan perasaan secara langsung dan jelas. Ungkapkanlah dengan kiasan.

Semenjak dahulu para niniak mamak, orang tua atau kakek nenek kita memang selalu menanamkan bagaimana hidup beradat itu. Dicontohkan dalam kehidupan, mana yang boleh mana yang tidak. Sesuatu hal yang dilakukan bertentangan dengan adat disebut dengan sumbang. Di Minangkabau dikenal sumbang 12, yaitu ada 12 bentuk perilaku yang dianggap tidak baik atau pantas dikerjakan.

Apa saja Sumbang 12 itu, akan kita bahas dalam tulisan berikutnya.

Canduang, 25/12/20

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post