RINA PARLINA

Saya seorang Dokter hewan praktisi yang mempunyai hobby menulis sedari kecil, lahir di Banjarmasin dan dibesarkan di kota Surabaya untuk kemudian kembali ke tan...

Selengkapnya
Navigasi Web
KISAH BU ARPAH

KISAH BU ARPAH

"Ibu masih ingat saya ?" , tanyaku sambil mendekatkan wajah nyaris menciumnya. Tubuh yang dulu lincah dan gesit itu kini kurus.

Pertanyaanku tak langsung dijawabnya, wanita tua itu menatapku dengan alis turun naik dan kernyitan dahi yang terlihat jelas.

Aku meraih telapak tangannya dan menggenggamnya seperti seorang Ibu yang berusaha menenangkan anaknya. "Bu, saya Nana, murid Ibu yang paling cengeng di kelas sewaktu TK dulu"

Wanita itu tak bergeming, dia tetap mengernyitkan dahi, sambil terus memandangku tajam.

"Ibu ingat...saya yang setiap hari menangis karena Mama saya hanya Ibu bolehkan mengantar saya depan pintu kelas ? kemudian Ibu mengomel sambil menuntun saya ke ruangan guru untuk kemudian meninggalkan saya sendirian di sana, sampai saya berhenti menangis baru Ibu perbolehkan saya masuk kelas...Ibu ingat itu ? " Aku panjang lebar menjelaskan dengan suara bergetar menahan air mata ini keluar. " ...dan itu terjadi setiap hari...sampai akhirnya setelah sebulan, saya sudah mulai terbiasa hanya cukup diantar Mama di depan kelas".

"Mardiana Septiana...Nana yang sering dikepang dua pakai pita pink" suaranya akhirnya terdengar meski lirih.

Aku kegirangan sambil menggoyang kedua lengannnya yang kurus, " Ya Bu...akhirnya Ibu ingat saya".

Wanita tua itu pun tersenyum sambil mengembangkan tangannya ingin memelukku, akupun menyambutnya penuh rasa haru. Kuelus pundak tuanya, sambil berbisik pelan, " Bu, terimakasih untuk semua, sampai saat ini memori kedisiplinan Ibu masih melekat di ingatan saya".

Wanita tua itu melepaskan pelukannya kemudian tersenyum penuh arti. Tangannya meraba rambutku, wajah dan mengelus pipiku. Ada air mata yang berusaha dia bersihkan dari kedua pipiku, kulit tangannya terasa kasar.

"Kamu masih cengeng", tanyanya dengan mimik heran.

Cepat-cepat aku menjauh dari tubuhnya dan membersihkan air mata di kedua pipiku. "Gak bu, saya gak cengeng lagi ko, saya sekarang sudah menjadi Polwan...Polisi Wanita lohhh bu... jalur prestasi, saya beberapa kali meraih penghargaan di cabang olahraga karate".

Suara tawanya terkekeh dengan mimik muka yang membuatku juga ikut tertawa. Aku yakin, beliau sedang tertawa bahagia, mungkin sebahagia aku yang bisa akrab dan tak takut lagi padanya seperti TK dulu.

Alhamdulillah, akhirnya aku bisa memenuhi permintaan anaknya Bu Arpah, karena sebulan terakhir wanita renta itu selalu menyebut namaku, hingga anaknya itu berusaha mencari data tentangku dan memohon agar aku bisa menemui Ibunya untuk terakhir kali.

Setelah pertemuan itu, seminggu kemudian aku mendapat kabar kalau bu Arpah menghadap sang Illahi dalam usia 86 tahun karena komplikasi. Aku sempat menangis sesenggukan saat bertugas, namun akhirnya aku ikhlas dan lega karena merasa sudah bersyukur bisa menemuinya di hari-hari terakhirnya.

#Tantangan Menulis Dokter Hewan Hari ke-2#

Ibu
DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Innalillahi wainnailaihi rojiun....keren dok

17 Feb
Balas

Terimakasih, salam literasi

17 Feb
Balas

Terimakasih, salam literasi

17 Feb
Balas

Keren bun..cerpennya. Salam sehat dan sukses selalu

17 Feb
Balas

Mantap bu

16 Feb
Balas

Novelis profesional nih Dok.....mantap jiwa....

16 Feb
Balas



search

New Post