Drs. Komar, M.Hum.

Guru SMA Islam Al-Izhar Pondok Labu sejak tahun 1995 dan fasilitator Yayasan Cahaya Guru sejak tahun 2006. Ngagowes, membaca dan menulis adalah aktivitas yang p...

Selengkapnya
Navigasi Web
THE DEVIL ADVOCATE

THE DEVIL ADVOCATE

Saya yakin setiap sekolah selalu berupaya agar para peserta didiknya memiliki sikap dan jiwa spiritual yang baik. Berbagai program dirancang dan dilakukan untuk mencapai tujuan tersebut. Ibadah ritual dan do’a harian, refleksi diri, perayaan hari-hari besar keagamaan, hingga melakukan kegiatan sosial untuk membantu mereka yang sedang terkena musibah atau mereka yang kurang beruntung, dalam rangka menumbuhkan kepekaan jiwa anak-anak.

            Namun pernahkah Anda sebagai guru melakukan “kejutan”, menganggap itu semua tidak penting dan tidak berguna? Anda seakan-akan bertindak sebagai Devil Advokat yang mendukung kemunkaran, dengan menantang murid-murid untuk berargumen bahwa pandangan dan sikap Andalah yang salah? Jika belum pernah, cobalah untuk melakukan hal tersebut, dalam rangka melatih mereka untuk berpikir kritis dan argumentatif.

Berpikir Radikal dan Kritis

          Suatu pagi pada jam pelajaran Geografi, terjadi dialog memanas:

Guru           :    Coba langsung kalian buka Google Class Room. Kerjakan tugas yang ada di situ. Supaya waktu kita  efisien, kita tidak perlu berdoa, toh itu tidak penting dan tidak berguna.

Murid          :    Bukannya doa itu perlu pak.

Murid          :    Betul pa, bukannya doa adalah senjatanya orang beriman.

Murid          :    Bapak kan guru di sekolah Islam, kok bisa-bisanya bilang doa tidak perlu dan tidak berguna.

Murid          :    Apalagi Bapak sudah pergi haji, harusnya jadi contoh dong.

Guru       :  Ok. Sekarang jelaskan kepada saya jika doa itu berguna. Apa indikatornya? Kalau saya sakit perut, kemudian minum obat diare, maka bermanfaat atau tidaknya obat  tersebut  mudah mengetahuinya. Apakah beberapa saat kemudian saya sudah mulai membaik atau masih sering buang air besar. Jika tidak makin membaik, berarti obat tersebut ga berguna. Ada yang mau menjelaskan?

Terjadi hening yang mencekam.

Murid          :    Bukankah Nabi kita menganjurkan agar umatnya selalu berdoa dalam berbagai kondisi?

Murid          :    Bukankah doa sebagai wujud kerendahan hati kita, manusia yang lemah dan tanpa daya?

Guru           :    Apakah itu sudah menjawab pertanyaan saya?

Hening lagi.

Guru           :    Pertanyaan saya, apa indikator bahwa doa yang kita panjatkan itu bermanfaat?

Suasana hening kembali.

Guru          :    Ok. Sekarang kalian berkelompok 3 orang. Diskusikan. Boleh mancari informasi dari HP kalian. Saya beri waktu 5 menit.

Guru          :    Waktu diskusi sudah habis. Siapa yang akan mulai menjawab?

Murid         :    Saya Pak. Doa memiliki efek plasebo, berdampak psikologis yang positif bagi pelakunya, sehingga memiliki harapan akan kondisi yang lebih baik. Contohnya, jika kita berkunjung ke kerabat yang sakit, kita mendoakannya, maka mereka akan lebih ceria. Keceriaan orang yang sakit akan mempermudah proses penyembuhan.

Guru           :    Bagus jawabannya. Ini pendekatan psikologis. Yang lain?

Murid          :    Kelompok saya menyimpulkan bahwa karena alat untuk berdoa adalah rangkaian kata, maka dalam kondisi tertentu kata bisa mengubah keadaan 180⁰. Contohnya setelah proklamasi dibacakan oleh Soekarno, kedaan Indonesia berubah, dari yang sebelumnya negara jajahan bangsa asing selama ratusan tahun, menjadi negara merdeka. Begitu juga dengan akad nikah. Selesai akad nikah diucapkan oleh sang mempelai pria, maka keadaan berubah total, hubungan dua sejoli yang tadinya terlarang berduan di tempat sepi, sekarang malah berduaan di kamar tidur pun diperbolehkan serta bernilai ibadah.

Guru           :    Wuidih keren penjelasannya. Ini pendekatan historis-religius. Masih ada yang lain?

Murid          :    Kelompok saya akan melengkapi Pak. Jika kita dimaki, dikatai negatif, misalnya “tolol”. “dungu”, “PA”,  oleh orang lain, maka dampaknya seketika akan negatif juga ke kita. Kesel, jengkel, marah, dan seterusnya. Ga perlu nunggu berjam-jam seperti efek obat. Sebaliknya jika kita dipuji, dihargai, atau  dinasihati dengan kalimat bijak oleh orang lain, pasti dampak positifnya kita rasakan saat itu juga. Tidak perlu waktu lama. Begitu juga doa, karena doa sering kali merupakan kutipan dari kitab suci, ucapan para nabi, atau kalimat bijak lainnya,  maka dampak positifnya juga pasti akan segera dialami oleh orang yang didoakan.

Murid          :    Kayaknya  jawabannya sudah lengkap Pak. Jawaban Bapak sendiri bagaimana? Jangan-jangan Bapak ga punya jawaban sendiri. Ha.. ha…

Guru           :    Memang betul, saya tugasnya adalah menyimpulkan jawaban kalian. Itulah enaknya jadi guru. He…he…

 

Itulah sekelumit  dialog dalam rangka menumbuhkan sikap kritis, rasional, dan melatih kemampuan berargumentasi, pada sesuatu aktivitas religius yang selama ini dianggap sakral sehingga terlarang untuk dipertanyakan dan dikritisi. Dalam masyarakat yang cenderung emosional dan dogmatis dalam bergama, maka membiasakan anak murid untuk kritis menjadi sangat penting. Bukankah para nabi atau pembawa risalah keagamaan adalah orang-orang yang kritis terhadap situasi zamannya? Mereka kemudian memberontak terhadap ketidakadilan dan penindasan, untuk melahirkan tatanan baru yang lebih adil dan berperikemanusiaan.

Misalnya Nabi Ibrahim, yang dikenal dengan sebutan Bapaknya Para Nabi dan Tokoh Monoteisme. Ia memiliki karakter yang bisa kita jadikan teladan untuk generasi masa kini. Nilai-nilai yang dia usung tetap relevan melintasi berbagai zaman.

Yang pertama, Ibrahim adalah tokoh yang senantiasa kritis dalam melihat fenomena penyimpangan pada masyarakat zamannya. Sikap ini tergambar dari pernyataan beliau terhadap praktik penyembahan berhala yang marak pada masa itu. Dalam Qur’an surat Assy-Syu’ara, ayat 72-73, diuraikan: “Berkatalah Ibrahim, apakah berhala-berhala itu mendengar sewaktu kamu berdo’a kepadanya, atau apakah ia memberikan manfaat bagimu atau membahayakanmu?

Yang kedua, beliau adalah tipikal orang yang teguh dalam memegang prinsip terhadap kebenaran yang diyakininya. Demi mempertahankan prinsip, beliau tidak gentar dengan ancaman bapaknya yang dirajam, dan bahkan beliau rela dibakar oleh kaumnya.

Yang ketiga, beliau adalah tipikal orang “being religius” dalam beragama, bukan “having religion”. Maksudnya, beliau senantiasa mencari, meneliti, dan kemudian mengevaluasi terhadap keyakinan yang dimilikinya, hingga diperoleh keyakinan yang benar-benar mantap dan tidak terbantahkan. Proses seperti ini dapat ditelusuri pada Qur’an Surat Al-An’am,  ayat 76-77, yang mengisahkan Ibrahim sedang mencari Tuhannya dengan memandang bintang-bintang, kemudian rembulan, dan matahari. Tetapi nalar sehatnya menolak semua itu, karena semua yang dilihatnya itu tidak pantas dipuja sebagai Tuhan, hingga akhirnya ia menemukan Tuhan yang sejati bagi dirinya  sebagaimana yang dikisahkan pada Surat Al-An'am ayat ke-79.

Pendidikan juga harus berproses yang melibatkan segenap potensi peserta didik. Mereka harus diberi ruang dalam tahapan pencarian, sehingga mereka mendapatkan pencerahan dari dalam yang bermakna dalam konteks kehidupannya. Bukan sesuatu yang didoktrinkan dan dipaksakan dari pihak-pihak eksternal. Itulah esensi pendidikan yang sesungguhnya, memerdekakan manusia melalui proses merdeka belajar.

              

           

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post