DWI ISTI MUALIMAH

Lahir di Gunungkidul, 23 Desember 1981, Dwi Isti Mu'alimah biasa dipanggil Isti oleh orang tua dan orang-orang yg mengenalnya. Menamatkan S1 Pendidikan Bahasa I...

Selengkapnya
Navigasi Web
The Story of Covid Survivor 2
Aku dan Anak2 antre swab

The Story of Covid Survivor 2

Esoknya, aku merasa perlu mempublikasikan keadaan suami kepada teman-teman sejawat, juga kepada pengurus RT dan RW. Kukabarkan bahwa hasil Swab Antigen suami positif, sementara yang lain, aku dan dua anakku belum tahu, karena masih akan menjalani pemeriksaan besok.

Aku merasa perlu menceritakan hal ini agar suamiku bisa beristirahat penuh. Tak lagi terbebani dengan tugas kedinasan yang biasanya mengharuskannya pergi ngantor. Aku juga butuh dipensasi kedinasan pastinya, agar bisa merawat suami, sekaligus menguatkan imun, andai mungkin sempat tertular.

Datang ke sekolah untuk menjalankan tugas piket dalam keadaan suami sudah pasti positif juga kurang bijak. Bagaimana jika aku sebenarnya juga positif lalu menulari yang lain? Jika tiba-tiba kami melipir begitu saja dari peredaran pasti banyak yang heran. Secara kami sebesar dan seriuh itu biasanya. Kan nggak mungkin kami tiba-tiba menghilang, wong bukan keluarga Powerangers. Pamit dan bercerita adalah yang terbaik.

Seperti dugaan, dukungan mulai tumpah ruah. Baik moril maupun materiil. Membanjiri, hingga hati kami begitu basah akan rasa syukur. Kami yang dikelilingi teman juga tetangga yang sangat baik. Sehingga beban mental kami sungguh terkurangi melewati periode sulit ini.

Kami mulai menjalani wajib isolasi sekeluarga. Makan kami selama masa pengasingan ditanggung warga RT, bergantian, terjadwal 3x sehari. Bergizi dan menu sehat lezat tentunya. MasyaAllah. Tabarakallah sedulur. Nggak usah ngapa-ngapain. Hanya diem di rumah. Makan, tidur dan malemu saja yang boleh kami lakukan.

Well..

Banyak sekali orang yang enggan ketahuan kalau menderita Covid 19. Malu, enggan. Padahal sakit Covid bukan dosa, atau maksiat yang harus disembunyikan. Mungkin takut dikucilkan. Padahal nggak juga. Menjauh wajar. Berhenti kruyukan sejenak pasti. Tentu demi penyakit ini tidak semakin menyebar. Bukan karena membenci. Begitu banyak doa yang dikirimkan, makanan, buah, buku bahkan uang, adalah bukti nyata bahwa kita tak pernah ditinggalkan.

Kena Covid di masa ini sesungguhnya adalah hal yang wajar. Meski tentu harus dicegah supaya jangan sampai terjadi kalau bisa. Mobilitas penduduk Indonesia yang tak mungkin dihentikan betapapun kampanye pencegahan Covid 19 terus digaungkan, menjadi jalan strategis penyebaran virus secara massiv. Orang butuh mengisi perut anak istrinya dengan makanan, bukan dengan harapan. Itulah kenapa aku menjadi sangat mengerti, ketika sebagian orang begitu antipati jika keadaannya diketahui.

Aku bisa saja nggak peduli orang tahu keadaan kami. Aku bisa saja no reken customer Skincare dan fashionku tiba-tiba berkurang hingga 70%. Bagiku itu masih tak berakibat apapun. Paling hanya ga punya uang lebih untuk shopping. Lagipula dalam keadaan sakit begini siapa juga inget belanja? Kami bisa tenang karena aku dan suami adalah ASN, yang ibaratnya dalam kondisi tidurpun dibayar penuh. Saksembarangane, sak kabehanae, gak ada potongan (kecuali kredhitan eh).

Tapi bagaimana jika mereka berdagang? Yang selalu berharap dikelilingi banyak pelanggan. Atau buruh yang punya juragan ngguapleki, yang mungkin memecatnya jika tahu keadaannya? Ah... Apalagi jika itu menjadi satu-satunya sumber penghasilan. Kekhawatiran akan rasa lapar menjadikan mereka enggan terbuka.

Sangat berbahaya tentu. Karena mereka bisa menularkannya pada siapa saja dengan tak diketahuinya keadaan sakit tersebut. Tapi aku sendiri belum melihat ada cara lain. Negara tak mungkin menanggung nafkah setiap keluarga penderita Covid berbulan bulan hingga ekonomi mereka pulih. Duh...

Melanjutkan cerita, Jumatnya ganti aku dan anak-anak yang di Swab Antigen. Kali ini di Lab Paramita. Lebih murah, meski harus sedikit antre dan tak semewah pelayan di Lab sebelumnya. No problemo. Toh kami hanya butuh tahu keadaan kami. Bukan kemewahan dan kemegahan. Dua atau tiga jam kemudian hasil Swab dikirim melalui WA. Kami sudah di rumah. Sedang menonton film. Ya Rabb.. yang negatif hanya si Sulung, Salma. Sementara aku dan si bungsu positif. Padahal, saat itu kami merasa sehat bagas waras. Tak merasakan sakit apapun di tubuh kami.

Bersyukurnya bahwa rumah kami dua lantai. Jadi pemisahan besar-besaran bisa dilakukan sore itu. Aku dan bungsu di kasur depan TV bawah. Suami menempati kamar bawah yang berseberangan dengan ruang menonton TV itu. Salma si sulung, the only one yang negatif, menempati lantai atas. Sendirian.

Biasanya aku hanya tertarik berbelanja barang fashion. Kali ini aku benar-benar lupa. Saat itu justru lebih banyak scroll handphone untuk mempelajari obat-obatan dan multivitamin yang biasanya digunakan untuk melawan virus Covid 19.

Jangan tanya banyaknya anjuran obat dan tips dari handai taulan yang pernah menjadi survivor Covid sebelumnya. Juga mereka yang saudara atau kenalannya pernah menjadi penderita. Buanyaakkkk sekali. Sampai puyeng yang mana yang mau kuambil dan kuikuti. Pesanku untuk kalian jika sampai kena, pilih satu saja! Jangan semuanya! Selain boros dan mahal, tak semua yang dianjurkan akan cocok untuk kita.

Aku sendiri memilih yang kiranya bisa kubeli. Juga cocok dengan referensi dari media online terpercaya. Yang paling kupercaya sih anjuran dokter. Itulah kenapa aku menjiplak multivitamin untuk suamiku yang diresepkan dokter RS Paru-Paru kemarin. Ada Imboost Force dan Become Z juga vitamin D dan vitamin C bebas asam. Yang berbelanja obat tentu bukan aku. Aku meminta tolong tetangga, teman seangkatan CPNS dulu yang kebetulan juga bu RWku. Terimakasih bu RW, sudah alengleng mencari pesananku ke penjuru Jember.

Malam berlalu sedikit mencekam. Ada rasa cemas yang tak mampu kuusir seluruhnya mengingat di tubuh kami sedang bersarang virus yang telah memakan banyak korban jiwa. Penurunan kondisi yang sangat cepat pada pasien tak tertolong membuat kami tak bisa meremehkan begitu saja meski aku dan si bungsu tidak merasakakan sakit.

Fina kuraba memang agak hangat. Kutanya apakah pusing katanya tidak. Kuberikan dia paracetamol lalu kusuruh tidur lebih awal. Sementara aku, terjaga hingga larut. Pikiran ke mana-mana. Mual dan diare suamiku sendiri belum berkurang. Masih belum bisa makan banyak dan sering ke belakang. Yang paling membuat kami cemas adalah saturasi Oksigen suamiku yang mulai naik turun. Oksimeter yang dipinjami tetangga seakan tak mau bekerja sama dengannya. Suka turun drastis saat dia gunakan, namun normal saat kupakai. Pernah di angka 87. Padahal dokter di RS Paru-Paru berpesan, harus dirawat di Rumah Sakit jika saturasinya di bawah 95. Hatiku mulai tratapan. Esoknya suami mulai kehilangan indera penciuman. Makannya juga semakin sedikit.

Dokter Puskesmas dan tim datang berkunjung hari Sabtu siang kira-kira jam 10. Suamiku terlihat masih tegar, meski aku tahu dia menahan diri agar bisa berdiri tegak menyambut tamu kami di teras. Aku sendiri mulai geregesi. Badan sakit, kedinginan dan kepala pening. Mataku terasa panas seperti terbakar. Yakin, saat itu aku tak bisa berkerling genit seperti biasa kulakukan pada suami.

Dokter puskesmas dan tim pulang setelah setengah jam bercakap dengan kami. Berjauhan. Seakan kami sedang konser dan beliau-beliau adalah penontonnya. Kami di teras, sementara dokter dan tim di bawah, sekitar 2 meter dari tempat kami berdiri.

Kami melanjutkan isolasi dengan rasa silih berganti setelah dokter dan tim pamit. Kadang tenang, tapi cemas juga sering menghinggapi. Satu-satunya yang membuat kami bahagia adalah bahwa Fina, bungsu, tak lagi demam meski sudah tak meminum Paracetamol. Dia juga tidak pusing ataupun lelah. Justru berkebalikan dengan keadaanku, yang bahkan untuk bangun saja mulai kesulitan saking peningnya. Badanku juga berasa habis pertandingan Sumo. Remuk redam tak karuan. Linu dan ngilu di seluruh sendi. Hiks.... Mau nangis dan manja kayak biasanya ke suami, sayangnya dia lebih sakit.

Bisakah kami melalui semuanya?

Simak esok ya...!Besok kuceritakan penangananan rumah sakit yang... ahhhh...pokoknya besok ajalah...

Terimakasih sudah mampir.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Masyaallah. Saat tulisan ini dibuat berarti keluarga Bunda sudah sembuh kan Bun? Duh, pengalaman yang membuat enin benar-benar ikut ketar-ketir. Semoga selanjutnya sehat dan semangat selalu. Ditunggu tulisan lanjutannya.

17 Feb
Balas

Ulasan yang keren bunda, izin follow ya

25 Feb
Balas

Alhamdulillah sudah terlewati ya sayang...Syukurlah bisa melewatinya dengan baik. Bagus diungkapkan biar jadi pembelajaran untuk yang lainnya

15 Feb
Balas

Hee..semangat mbk

15 Feb
Balas

Semoga bisa mengikuti kelanjutannya

15 Feb
Balas

Tulisan buang sangat mencerahkan

15 Feb
Balas

Buang maksudnya yang

15 Feb

Tulisan yang sangat mencerahkan

15 Feb
Balas

Terimakasih ibuu

15 Feb

Semangaat... Alhamdulillah sudah melewati banyak hal. Bisa jadi pelajaran buat semuanya, khususnya buatku sendiri yang sering terlupa untuk bersyukur.Pokoke mantaplah.

17 Feb
Balas

KEREN pisan euyyyy

15 Feb
Balas

Heran...tulisan tentang sesuatu yang mencekam... tetapi terasa menyenangkan...itulah kesanku pada tulisannya njenengan, ibu.....suip

15 Feb
Balas



search

New Post