Dwi Kartini

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web
Masih Menunggumu di Elisenbrunnen

Masih Menunggumu di Elisenbrunnen

Aku bekerja paruh waktu di restoran cepat saji. Untuk menyambung hidup. Tugasku banyak dari mulai mencuci piring sampai menyajikan makanan untuk para tamu. Untunglah cara mencuci piring di sini berbeda dengan di tanah air. Aku tinggal memasukan semua perkakas ke dalam mesin, memberinya sabun di tempat yang disediakan dan setelah itu, tinggal memijit tombol. Mesin itu bekerja sendiri. Dalam hitungan menit, kira - kira 20 Menit. Piring - piring bersih dan kering siap dipakai kembali. Pekerjaanku tak melelahkan sebenarnya, hanya jiwaku yang sering kelelahan. Kehilangan Mas Gandiku. Uang yang ku bawa dari Indonesia lama – lama menipis, tak banyak uang yang bisa aku ambil pada waktu meninggalkan Indonesia. Rush Money. Karena peristiwa 13 - 15 Mei 1998 itu. Negeri Indonesia lumpuh tanpa kekuasaan. Ketakutan, amuk massa, pemerkosaan, pelecehan, perampokan. Sangat brutal dan tak lagi berprikemanusiaan. Keluargaku gugur terbakar dalam gedung, saat berbelanja di daerah Yogya Plaza - Klender. Yogya – Plaza itu sengaja dibakar oleh segerombol orang, jangkung tinggi, dengan rambut cepak. Mereka seperti pasukan terlatih. Mereka keluar dari kereta api. Selanjutnya menggunakan sepeda motor menghambur dan berlari - lari masuk ke arah gedung. Mereka berteriak: “ayoo, jarah, toko itu milik pribadi”. Orang – orang yang ada di sekitar toko menghambur ke dalam toko. Menjarah semua barang – barang. Ada yang mengambil TV, pakaian, tas, Kulkas dan masih banyak lagi serta kebutuhan hidup yang lainnya. Mereka bolak – balik ke dalam toko. Setelah beberapa jam, gerombolan yang keluar dari kereta itu melemparkan bensin ke dalam botol aqua ke dalam gedung di bawah. Kemudian beberapa orang dari mereka melemparkan ke lantai atas. Percikan api lama – lama membesar. Orang – orang berlarian, menjerit panik, cemas dan takut. Api semakin membesar. Banyak yang terjebak dalam gedung. Kurang lebih 300 orang. Mereka terbakar menjadi arang. Sementara asap hitam mengepul di langit Jakarta. Gelap pekat. Api terus menjalar kemana – mana. Pasukan tentara dan polisi menembakan senjatanya ke arah sipil yang mereka temui, para mahasiswa berlari tunggang - langgang, orang – orang berlarian kemana saja yang dianggap aman. Keadaan kota sangat kacau. Disaat kejar mengejar. Para mahasiswa masih terus berteriak “Reformasi, reformasi”, begitu gegap gempita, disahut suara lain “Allahhu Akbar, Allahu Akbar”. Saling menyemangati. Mereka berjuang sampai titik penghabisan. Sementara tentara semakin membabi buta menghamburkan peluru. Memukul ke siapa saja yang ditemui. Mengejar para Demonstran. Saat itu betul - betul mencekam, aku berlari kemana saja aku bisa, sambil menangis penuh ketakutan. Suara tembakan silih bersautan. lemparan batu berterbangan. Banyak sekali mahasiswa yang terkena peluru karet, bahkan peluru besi. Mas Gandi yang berada di barisan depan, memberi komando kepada mahasiswa lain untuk menyelamatkan diri. ”lari masuk kampuss”, katanya berteriak - teriak. Ia terus berlari ke belakang berdesak – desakan dengan mahasiswa lainnya. Mereka semua mencoba menyelamatkan diri. Ia menghampiriku dan menarik tanganku. Kami berlari sekencang kencangnya. Ia terus menyeret. Ia begitu mengkhawatirkanku. berlari kemana saja menghindar dari tembakan aparat. Saat itu begitu kacau, aku melihat teman – teman yang terjatuh ditendangi oleh tentara. Aku terus melaju beriringan dengan Mas Gandi. Ia menatapku seraya berucap:” Kuatkan kamu, sayang”. Suaranya penuh khawatir. Badannya begitu gemetar, nafasnya tersengal – sengal. Aku tidak sanggup berucap apapun, aku hanya bisa mengedipkan mata, memberi sinyal bahwa aku memang ketakutan dan kelelahan. Ia menggenggamku lebih erat, sembari berlari ke arah kampus. Keringat bercucuran. Kami mencari tempat yang dianggap aman. Memasuki kampus dan mengendap – ngendap di ruang kelas. Kami dan mahasiswa lainnya bersembunyi di sana. Kami duduk sembari terus mencari informasi keberadaan teman – teman yang lain. Rasa lapar dan haus tak lagi terasa, hanya ingin cepat keluar dari tempat yang begitu mencekam. Suara desir peluru semakin keras. Ruangan kelas saat itu dimatikan, tak terlihat apa – apa. Sejumlah teman – teman yang berhasil menyelamatkan diri, berlindung di dalam kelas. Kami duduk dilantai di bawah jendela. Mas Gandi duduk di sebelahku, ia mengusap – ngusap tanganku. mencoba menenangkan diriku. Aku melihat dirinya begitu gelisah, sangat gelisah. Wajahnya dibenamkan dalam simpuhan tangannya. Sosok pemimpin yang penuh tanggung jawab dan juga melindungi. Ia ketua Senat Mahasiwa. Kepiawaiannya dalam orasi membuat banyak perempuan tergila – gila. Ia begitu cerdas dan soleh. Terkadang aku begitu minder, karena aku bukan siapa – siapa. Ia begitu menyayangiku. Kami berkenalan saat aku kena hukuman OSPEK. Saat itu ia begitu galak dan menyebalkan. Ia menyuruh ini - itu, bikin aku marah saat itu. Aku tidak suka diperlakukan seperti itu. Aku sering membantahnya, dan hasilnya aku sering kena hukuman. Setelah OSPEK selesai, ia sering menghampiriku. Ia selalu mencari cara bagaimana supaya bisa dekat. Karena perhatiannya, aku jatuh hati. “Kamu cantik, memesona dan asyik”, katanya nakal saat itu. Aku tak berani menjawab, aku hanya membalasnya dengan seyum. Pujian dan sapaan setiap hari membuat aku tidak tahan. Untuk menolak cintanya. Setelah beberapa bulan pendekatan, kami sepakat membuat komitmen. Untuk saling menjaga, saling menyayangi dan saling melindungi. Relationship yang menyenangkan dan menenangkan. Jam tangan terus berputar, namun suara tembakan masih saja belum berhenti, kami masih terus menunggu dan saling bertukar kabar dengan mahasiswa yang lainnya di tempat lain. Banyak mahasiswa yang terkena baku hantam, atau siksaan di tempat dimana mereka terjaring. Ada yang sengaja dipukul oleh senjata, ada yang disiksa. Ada yang dimaki – maki. Mereka begitu ganas dan tak berperasaan. “Bunuh saja dia”, kata salah satu tentara. “Ia yang tadi memaki – maki kita”, katanya lagi penuh kebencian Tetapi tentara yang satunya melerainya. “sudah, kita ke bawah lagi”. Perintahnya. Tentara yang siap membidikan senjatanya, dengan terpaksa mengikuti Komandanya. Rekaman – rekaman peristiwa itu sering muncul dalam benakku. Aku begitu kosong, jiwaku seakan hampa. “kemana sebenarnya kamu?”, “Betulkah, kamu akan menepati janjimu,?”, kataku dalam hati. Hatiku begitu sedih. Perasaanku begitu bergejolak kesal, marah dan tak berdaya. Harapan yang mungkin kosong. Lalu lalang orang - orang tinggi besar, dan kebanyakan berambut pirang. Turis - turis asing dan juga mahasiswa, pelajar dari seluruh negeri tampak mewakili di Kota Pendidikan Dunia. Mereka hilir mudik sibuk beraktivitas. Ada yang bekerja, ada yang sekedar menikmati pemandangan kota, ada yang berbisnis, dan yang hanya sekedar duduk – duduk menikmati suasana kota di Elisenbrunnen – Aachen Centre. Salah satu tempat yang sering dikunjungi Turis Mancanegara. Gedung yang indah, yang dikelilingi oleh pilar – pilar di bagian depan. Bercat putih. Bangunan – bangunannya terbuka. Masing – masing memiliki Paviliyun dengan ruangan di kiri kanannya. Dari dua mata airnya, mengalir air hangat berkadar belerang tinggi hingga 52 derajat Celcius. Sebelum hancur akibat perang, minuman ini sering dikumpulkan untuk diminum. Air sulphur ini dipercayai dapat menyembuhkan beberapa penyakit. Tempat ini merupakan tempat yang tak pernah sepi dari kunjungan wisatawan. Pengunjung berdatangan hanya ingin melihat keunikan yang ada dalam bangunan ini. Di belakang gedung ada Elisengarten. Kebun yang kecil dan klasik. Arsitek bangunan ini adalah Karl Friedrich Schinkel di buat pada tahun 1827. Di depan bangunan ini ada beberapa kursi taman, dengan pohon pohon dipinggir jalan. Jalanan tidak seramai kota Jakarta. Hanya ada beberapa bis kota, itupun datang beberapa jam sekali. Aku duduk di salah satu kursi taman berwarna putih. Tepat di depan bangunan Elisenbrunnen – Aachen Centre. Di depan antara pilar pilar. Made yang berjalan tergesa menghampiriku. “lihat penampilanku”, katanya sembari mengenakan kaca mata yang baru direparasi. “Bagus”, kataku. “cocok di wajahmu”, lanjutku Tubuh lelaki jangkung dan kecil itu seyum – seyum bangga. “Terima kasih, sayang”, katanya menggodaku “jangan panggil aku sperti itu, aku ga suka”, kataku ketus, tak memikirkan persaannya. Made kakak tingkatku di fakultas Teknik Komputer. Ia merupakan salah satu peserta beasiswa dari DAAD. Uang sakunya lebih banyak, terlebih orang tuanya pemilik hotel di kuta. Hidup Made berkecukupan, namun ia sederhana. Di sela- sela jam kosong kuliah. Kami bekerja parttime. Kami semakin akrab, dari hari ke hari. Ia sudah aku anggap kakakku sendiri. Walaupun ia tidak pernah mau sebagai kakakku. “Kenapa, kamu masih mengingat Mas Gandimu itu?”, katanya membalas perkataanku yang ketus.”Berhenti Yasmin, sudah hampir 3 Tahun tak ada beritanya tentang orang itu”, dia melotot meyakinkanku ingin membuat aku tersadar. “Dia tidak layak kamu cintai”, katanya penuh kemarahan. “Jangan ucapkan itu, jangan ucapkan itu”, kataku setengah menjerit sambil menangis. “ia orang yang tepat janji, Ia akan menjemputku”, penuh keyakinan. Ingatanku melayang ke belakang. Saat aku takut kehilanganya, aku selalu berkata, “aku butuh Mas”, kataku penuh kesedihan dan harapan. Dan saat itu Mas Gandi akan bilang, “I’m with u, insyallah”, katanya selalu meyakinkan. Itu yang membuat aku percaya, suatu hari nanti ia akan muncul, dan menghangatkan cinta yang yang beku. “Dengarkan aku Yasmin, bila ia memang mencintaimu, ia akan mencarimu, Ia akan memberi kabar, ia pembohong Yasmin”, wajah Bali itu menatapku lembut. “Bangunlah dari mimpi panjangmu sayang”, katanya lagi begitu putus asa. Ia terkulai di kursi di sampingku. Sementara aku menangis pilu, dengan isak yanag sulit dihentikan. Tubuhku bergetar karena tangisan yang sulit aku hentikan. “Aku menyangimu, seperti miliku sendiri”, kata – kata Made menenangkan. Ia beranjak dari tempat duduknya, dan duduk tepat di depan ku. Tatapannya tajam, bola matanya yang sipit begitu bersinar. “aku ingin kau sadar”, katanya. Tetesan air matanya mengenai tanganku. “Aku tak tahan melihat kamu begitu menderita karena kesetiaanmu ini”, katanya sembari menggengam tanganku dan menangis terisak, kepalanya tertunduk di kepalan tanganku. Made telah banyak menolongku, ia pernah pulang ke Indonesia dan mencari kabar tentang Mas Gandi. Tapi sia – sia. Tak ada kabar apapun. Saat itu aku tidak ingin pulang bersamanya, karena aku telah berjanji akan setia menunggu di Elisenbrunnen. Tepat dikursi ini. Cerita yang sering Mas Gandi baca, dan ia ceritakan kembali padaku. Mas Gandi, sangat ingin kuliah di negeri yang sangat mewah dan modern ini. Tetapi pandangannya berubah tak kala negeri yang bernama Indonesia membutuhkannya. Yaaa, sebuah perjuangan reformasi. Sebuah perubahan. “aku percaya, mas Gandiku akan datang menjemputku”, katanya terisak, kata – kataku tak jelas, karena menahan tangisan. Air putih bening itu sudah larut ke wajahku.hatiku begitu pilu Aku akan terus menunggu Mas Gandiku. Di sini, di Elisenbrunnen. #kesetiankadangmeyakitkan #potongannovelkutitiprindudilangitaachen
DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Weisss, keren. Lanjutkan!

04 Jun
Balas

Wuhh sedih banget, ..

05 Jun
Balas

Nuhun Bu Komando Jabarrr

04 Jun
Balas

Belum sampai Bu Deti menangis , berarti blum berhasil... makaih bunda sayang masukannya

05 Jun
Balas



search

New Post