ADA DIA (2) Hari ke-8
Tanpa menolehpun Risma tahu. Itu suara Mbah Tirah memanggilnya untuk tidak pulang dulu.
"Kenapa tergesa gesa, Nduk? " tanya Mbah Tirah
"Anu... Mbah, saya... sa... " Belum sempat Risma menyelesaikan kalimatnya, Mbah Tirah sudah menyela.
"Ayo sini, duduk dulu. Temani Simbah. Ndak biasanya kamu cepet pulang. Ayo duduk." Risma tak bisa menolak. Ia tak sampai hati untuk menolaknya. Ia takut Mbah Tirah kecewa. Maka, meskipun dengan hati yang resah ia menurutinya.
"Aduuh, alamat bakal lama ini." Kata Risma dalam hati. Terbayang laptopnya yang masih menyala di atas tempat tidur, dan low batt.
"Please, please ya Allah, aku ingin pulaang. Ijinkan aku menyelesaikan tulisan." Risma mencoba menyembunyikan keresahan. Meski gundah, Ia menuruti kata Mbah Tirah, dan duduk di kursi ruang tengah, tempat ia biasa menghabiskan waktu mendengarkan Mbah Tirah bercerita. Ia tidak tahu, mengapa ia tidak pernah bisa menolak permintaan Mbah Tirah untuk menemaninya. Ada rasa kasihan dalam hatinya, melihat perempuan tua itu sendiri sejak suaminya berpulang. Sosoknya mengingatkan Risma pada almarhumah Mbah Putri, nenek yang sangat dicintainya. Sama seperti Mbah Tirah, Eyang Putri juga suka bercerita dan membuatkan Mie kuah kesukaannya.
"Simbah buatkan teh panas mau?"
Suara Mbah Tirah membuyarkan lamunan Risma tentang Mbah Putrinya.
"Oh, tidak usah Mbah. Nanti Simbah repot. Simbah dhahar dulu, nggih." Jawab Risma
"Sudahlah, ndak papa. Wong cuma teh saja, kok"
Dan jadilah malam itu, sama seperti malam malam sebelumnya, Risma menemani Mbah Tirah menikmati makan malamnya. Sesekali ia menyeruput teh panas, dan mendengarkan Mbah Tirah bercerita. Kali ini tentang keluarganya. Betapa ia sangat merindukan kunjungan anak, cucu maupun keponakannya. Mereka tinggal di lain kota. Maklum, pekerjaan tidak memungkinkan mereka tinggal di Surabaya. Jadi mereka mengajak Mbah Tirah untuk tinggal bersama mereka. Namun Mbah Tirah enggan memenuhinya. Berat rasanya meninggalkan rumah yang penuh kenangan bersama suami tercinta, rumah tempat ia membesarkan putra putranya, begitu katanya.
Risma mendengarkan dengan penuh perhatian. Ia juga heran, mengapa setiap kali Mbah Tirah bercerita, ia merasa seperti terbawa perasaan. Suka duka di masa muda jaman dahulu saat suami dan anak anak masih ada di rumah ini. Risma ingin Mbah Tirah tidak kesepian. Yah, sudah kurang lebih satu bulan, Risma jadi punya kebiasaan mengobrol dengan Mbah Tirah di meja makan.
"Saya bantu bawa piring dan cangkirnya ke dapur, Mbah. Simbah duduk di sini saja. " Kata Risma setelah Mbah Tirah menyelesaikan makan malamnya. Ia teringat kembali dengan target Gurusiananya.
Memang, setiap usai makan malam, Risma selalu membantu Mbah Tirah membersihkan meja, serta membawa piring dan cangkir ke tempat cuci di dapur belakang, mencucinya hingga bersih lantas menaruh benda benda itu dengan rapi pada tempatnya. Begitupun malam ini. Yang sedikit berbeda adalah, kali ini ia harus melakukannya dengan lebih cepat, karena ia harus segera kembali ke rumah, menyelesaikan tulisannya. Waktu sudah menunjukkan pukul setengah sembilan. Bergegas ia ke dapur dan tiba tiba... Aww! hampir saja cangkir yang dibawanya jatuh, saat tanpa sengaja sikunya tersenggol seseorang yang baru saja keluar dari balik kamar.
"Maaf... "
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
Siapakah itu? Cerber keren bunda... Barokalloh