Risma hampir saja terjatuh. Syukurlah piring dan gelas yang dibawanya tidak terlepas. Selama hampir setiap malam, dalam dua bulan, ia berkunjung di rumah Mbah Tirah ia tak pernah melihat ada orang lain selain Mbah Tirah di rumah ini. Risma mendongak, berusaha menatap wajah laki-laki yang tadi hampir saja membuatnya terjatuh. Dan saat matanya menemukan yang dicari, iapun tertegun sampai tak berkedip. Tinggi sekali dia. Seperti pemain basket saja, pikir Risma. Matanya coklat dengan alis tebal menaunginya. Hidungnya yang mancung dan kulitnya yang putih kemerahan membuat ia lebih pantas seperti orang luar daripada orang Jawa. Ada bule di rumah Mbah Tirah.

"Kamu tidak apa apa, kan?"

Suara itu menyadarkan Risma dari lamunannya. Iapun tertunduk malu. Pipinya bersemu merah jambu.

"Mmm... iya, saya baik baik saja " Jawab Risma pelan, menyembunyikan debaran dalam dadanya yang entah kenapa seperti berdentam dentam. Ia tak pernah sedekat ini dengan laki laki. Tangannya yang kekar masih memegang bahu Risma, erat. Seandainya tadi tidak terpegang, jatuhlah Risma beserta piring dan gelasnya.

Matanya yang coklat itu menyipit dan berkerjab sebentar, lantas ia melepaskan tangannya yang tadi memegang bahu Risma. Tanpa bicara lagi pria itu kemudian pergi ke ruang tengah menemui Mbah Tirah. Berbincang sebentar, kemudian pamit keluar. Terdengar suara mobil meninggalkan halaman. Risma menuju dapur dan melanjutkan mencuci piring

"Siapa dia ...?" Risma berusaha menghilangkan tanya yang ada di benaknya.