Dyah Argarini

Guru Bahasa Inggris di Madrasah Tsanawiyah Negeri 4 Kota Surabaya. Suka menulis dan membaca apa saja. Mendukung literasi dengan daya dan upaya untuk kemajuan an...

Selengkapnya
Navigasi Web

Catatan Mudik : Takziyah di Saudara

Takziyah ke saudara, di hari ke 4 bulan Syawal 1440 H, atau hari Sabtu, tanggal 9 Juni 2019. Almarhumah Mbah Kasmini. Jika di runtut silsilahnya dari bapak, beliau adalah istri dari Pak Liknya Bapak, Mbah Kasmo. Meninggal dalam usia sekitar 90 tahunan. Alhamdulilah panjang usia. Beliau sekeluarga tinggal di desa Tiyang, sekitar 2 kilometer dari Pancur, desa kami. Sebuah desa yang hijau, asri tepat dibawah lereng Gunung Bugel, gunung legendaris di tempat kami (konon Gunung Bugel asal muasalnya adalah perahu Dampoawang seorang panglima perang dari Tiongkok, yang terbalik).

Desa Tiyang mengembalikan saya pada memori masa kecil yang indah di tempat almarhumah. Dulu,waktu saya masih kecil, saat masih duduk di bangku Sekolah Dasar, saya sering bermain ke rumah beliau. Berjalan kaki melewati bentangan sawah yang luas. Tidak merasa lelah sama sekali. Gembira melewati pematang sawah, dan jalan bebatuan, saat itu saya merasa happy happy saja. Angin yang berhembus mbuat pucuk pucuk padi berombak seperti samudra hijsu yang menyejukkan mata. Pucuk pucuk daun turi dengan batang yang tinggi melambai lambai tertiup angin sepoi sepoi. Jarang ada suara mobil atau motor saat itu. Hanya suara dokar, cikar, dan pedati yang melewati jalan sepi. Saya biasanya suka "nggandol" (bergelantungan) di belakang pedati yang ditarik dua ekor sapi, sepulang dari sekolah, atau bila saya ingin bermain main di tempat yang agak jauh dari desa kami.

Rumah almarhumah kebetulan bersebelahan dengan Bulik Siswati, adik ibu saya, yang juga menantu beliau. Hmm, agak "mbulet" ya. Begitulah orang dulu, kebanyakan menikah dengan "mambu dulur", saudara dekat maupun saudara jauh. Kadang menginap di sana bila kebetulan sedang masa liburan, di rumah bulik saya. Makan dan tidur di sana. Apa yang paling saya suka di Tiyang adalah Blumbang. Tahu kan, jaman dulu, sekitar tahun 70 an, masih belum ada PDAM di daerah kami. Termasuk di Tiyang. Orang orang biasanya mandi dan mengambil air untuk keperluan sehari hari dari sumber air yang mengalir deras di sela sela bebatuan diantara dua bukit, yakni Gunung Bugel dan Gunung Kendil. Nah, sumber air inilah yang dinamakan Blumbang. Airnya memancar seperti pancuran. Deras sekali. Saya suka sekali mandi di tempat ini. Airnya yang deras dari atas bila mengenai kepala, sensasinya luarr biasa. Kami, saya dan teman teman masa kecil saya, betah berlama lama di tempat ini, bermain "sirat siratan" air sambil tertawa tawa ceria. Ah, masa kecil yang indah.

Sesudah mandi, biasanya kami akan memanjat bukit, naik ke gunung kendil, melewati terjalnya bebatuan, dan jalan yang berliku liku. Di sepanjang jalan kiri dan kanan, wangi bunga gunung yang khas, dengan warna warna yang cerah terlihat di sepanjang mata memandang (dan ternyata tanaman itu bisa digunakan untuk mengobati kanker).

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post