Dyah Argarini

Guru Bahasa Inggris di Madrasah Tsanawiyah Negeri 4 Kota Surabaya. Suka menulis dan membaca apa saja. Mendukung literasi dengan daya dan upaya untuk kemajuan an...

Selengkapnya
Navigasi Web
Doa untuk Jeng Delfa (Tagur 53)

Doa untuk Jeng Delfa (Tagur 53)

Sudah lama kami tak bersua. Sejak tahun 2008 hingga sekarang tahun 2021. Kurang lebih 13 tahun. Yah, pertemuan pertama kami di tahun 2006 adalah pertemuan yang sangat mengesankan, bagi saya pribadi. Bagaimana tidak? Tiga puluh orang terpilih dari sekian ratus orang yang mengajukan diri dari guru guru Bahasa Inggris Madrasah Tsanawiyah seluruh Indonesia. Betapa bahagianya saya. Kalau boleh berterus terang, ada bangganya juga. Saya termasuk yang lolos seleksi di dalamnya. Nah kami dipertemukan dalam even itu. even yang cukup bergengsi menurut saya.

Tahun 2006, Kementerian Agama RI, yang waktu itu masih bernama Departemen Agama, melalui Direktorat Jendral Pendidikan Islam, menawarkan beasiswa bagi para guru Madrasah Tsanawiyah, dari berbagai macam mata pelajaran, termasuk Bahasa Inggris. Namun hanya dibatasi 30 orang saja untuk masing masing mapelnya. Tentu saja kami harus melalui kompetisi yang ketat untuk meraih kesempatan itu. Saya masih ingat tes yang harus saya jalani waktu itu. Tadinya saya mengira bahwa tes untuk guru Bahasa Inggris pasti seperti bentuk tes semacam TOEFl yang menitik beratkan pada tata bahasa, reading dan mungkin listening text. Wow, ternyata tidak. Jauh panggang dari api. Betapa saya tak menduga ternyata saya dihadapkan pada kenyataan bahwa tes yang saya yang ada di depan saya adalah membuat proposal penelitian dalam bahasa Inggris. Kebayang kan, betapa paniknya saya saat itu. Namun untungnya, saya saat itu masih ingat dengan matakuliah statistik pendidikan dan metode penelitian yang saya dapat saat saya kuliah di almamater tercinta Universitas Negeri Jember. Maklum, saya memang penyuka mata kuliah itu. Berkutat dengan angka angka statistik, menghitung korelasi dan pengaruh variable X terhadap variabel Y itu mengasyikkan. Waktu itu...bukan sekarang. Alhamdulillah, meskipun tidak terlalu sempurna saya bisa menyelesaikannya dalam waktu yang sudah ditentukan. Dan akhirnya sayapun dinyatakan lolos seleksi dan sayapun musti packing bersiap siap menuju Malang untuk menimba ilmu di almamater tersayang Universitas Negeri Malang. Nah disanalah kami dipertemukan.

Kami biasanya selalu bertiga, saya, Jeng Delfaleni dan Mbak Endang Yuana. Kami selalu ngampus bertiga, ke perpustakaan bertiga bahkan ke tempat belanja favorit kamipun juga bertiga. Kebetulan di depan kampus kami ada pusat perbelanjaannya. Jadi biasanya selesai jam kuliah, apabila kami tidak ada tugas yang harus segera diselesaikan, kami jalan jalan dulu bersama. Meskipun tidak belanja sekedar melihat lihat saja. Maklum, namanya juga mahasiswa.

Jeng Delfa, begitu saya suka menyebutnya, adalah seorang guru Bahasa Inggris dari MTsN Model Padang. Wajahnya cantik, manis membikin semua orang yang memandangnya tertarik. Matanya yang bulat bening dengan bulu mata yang lentik menambah sempurna paras ayunya, Tidak tinggi tidak pula pendek, seperti kebanyakan wanita Indonesia, namun ada yang istimewa dari dirinya. Saya tidak tahu mengapa, tapi dia selalu pantas dengan apapun baju yang dipakainya. Saya teringat waktu pertamakali kami dikumpulkan di ruangan, dia memasuki ruangan dengan baju hijau yang membuat kami terpesona. Cara bicaranya yang khas membuatnya mudah ditebak bahwa ia bukan berasal dari Jawa. Yang saya kagumi dari dia juga adalah sikapnya yang tenang lembut dan keibuan kontras sekali dengan saya yang orang bilang 'pecicilan", galak dan judes bukan alang kepalang.

Seiring perjalanan waktu, saya, Jeng Delfa dan Mbak Endang Yuana menjadi sahabat yang tak terpisahkan. Pergi ke kantin sesudah perkuliahan, pesan nasi goreng, sop conro dan nasi campur di kantin seberang jalan. Istirahat, sholat di masjid dekat kantin sambil menunggu jam kuliah berikutnya di waktu siang. Kami suka nongkrong nongrong di taman kampus sambil menunggu bapak ibu dosen datang. Mengerjakan tugas sampai semalaman. Tertawa, bercanda, bersama teman teman yang lain, baca buku atau sekedar memandangi rekan rekan yang lalu lalang dari gedung yang satu ke gedung seberang. Dan itu berlangsung selama dua tahun masa studi kami yang tak terlupakan. Hingga sampai tiba saat wisuda kami, dan kami harus berpisah meninggalkan kampus tercinta dengan segala ceritanya.

Waktu berlalu begitu cepat. Tak terasa hampir 13 tahun kami terpisah. Sekali sekali kami masih berkirim kabar. Menanyakan keadaan dan saling mendoakan, dengan harapan bisa bertemu lagi suatu saat dan mengulang kebersamaan. Suatu saat di bulan Februari yang lalu Jeng Delfa berkirim kabar melalui WA, "Selamat ya Mbak, semoga sukses sampai tahap akhir." Begitu sapanya. Waktu itu ia menanggapi status saya dan mengucapkan selamat atas keberhasilan seleksi penulis yang saya ikuti. Sayapun membalasnya dengan bahagia, "Terimakasih Jeng Delfa, tapi masih ada satu tahapan lagi yang harus dilewati. Doakan aku yaa." Dan iapun membalas,"So pasti, Mbak. Saya juga minta doa ya Mbak. Kamis minggu lalu saya menjalani operasi yang ke tiga yang masih berhubungan satu sama lain. Sekarang sudah pulang dari Rumah sakit, tapi kondisi agak drop karena susah makan." Betapa kagetnya saya.," Oalah ya Allah jeng Delfa, semoga hasil operasinya bagus.semoga sakitnya diangkat. Semoga Jeng Delfa disembuhkan dan dipulihkan oleh Allah SWT." Saya bilang, "Ayoo, makannya yang banyaak. Harus dipaksa meskipun nggak enak makan. MInumlah susu (merk tertentu saya sebutkan), mungkin bisa mbantu jaga staminanya. Cepet sembuh yaa. Salam buat keluarga." Iapun menjawab," Aamiin, terimakasih doanya." Dan saya menyesal, saya tidak bertanya, sakit apa yang sedang dialaminya sehingga mengharuskan operasi untuk yang ke tiga kalinya.

Dan waktupun berlalu, hingga pada bulan April saat tersiar kabar gempa di Jawa Timur, Jeng Delfa bertanya kabar kepada saya, "Gimana kabarnya Mbak. Apa ada kerusakan kena gempa, Mbak?" Ya Allah sahabat saya mengkhawatirkan saya. Saya tidak ingin membuatnya khawatir, maka sayapun menjawabnya, "Hai Jeng, saya sekeluarga sehat walafiat. Di Surabaya alhamdulillah gempanya tidak terlalu besar. Jadi tidak ada kerusakan yang ditimbulkan." Dan iapun berucap syukur.

Setelah itu tidak ada kabar lagi darinya, dan sayapun disibukkan dengan pekerjaan saya. Saya pikir ia baik baik saja, hingga suatu pagi saya membaca berita di group WA rekan rekan alumni Depag UM 2006, sebuah berita yang sama sekali tak saya duga. Sahabat saya, Jeng Delfa, telah pergi untuk selamanya, berpulang ke hadirat Sang Pencipta. Ya Allah, Ia sahabat yang baik untuk saya, perempuan yang kuat, dan ibu yang penuh kasih kepada putri putrinya. Semoga Allah SWT berkenan menerima seluruh amal ibadahnya dan mengampuni semua kesalahannya. Selamat jalan, Jeng Delfa. Lantunan doa untukmu dari kami semua.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Semoga Mbak Delfa diberi tempat bersama orang-orang sholeh/sholehah di sana, Aamiin.

18 Sep
Balas

Semoga Mbak Delfa diberi tempat bersama orang-orang sholeh/sholehah di sana, Aamiin.

18 Sep
Balas

Aamiin ya Allah ya Rabb

18 Sep



search

New Post