Dzikry el Han

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web

Seratus Tahun Lalu, Cinta (GTK Pontianak 2018)

Cerpen Dzikry el Han

Aku tahu Yetfa sejak kecil. Pembawaannya lembut. Caranya mandi di sungai membuatku tidak telaten menunggu. Biasanya aku memanjat pohon kasuari (Casuarina equasetifolia), memandangi puncak bukit Manena dan Temar, sementara Yetfa masih mandi. Aku lebih nyaman berayun di dahan kasuari ketimbang mendekam di dalam bivak yang dibangun bapakku ala kadarnya.

Aku membayangkan ada kehidupan lain di luar sana, yang jauh dari dusun kami di tepi rawa-rawa sagu tanpa batas ini. Kehidupan yang tidak sepi, atau yang menempatkan perempuan sebagai simbol kehormatan. Aku membayangkan Yetfa berada di sana. Mungkinkah ia masih lembut dan begitu pasrah?

“Yanggi, ko cepat turun. Kita harus memasak sekarang.”

Yetfa memanggilku setengah hati. Ia segera sibuk menyiapkan pembakaran untuk memasak makan malam kami. Buah-buah sukun dan pisang mengkal, juga buah-buah pandan yang berwarna merah darah, semuanya tampak serasi dengan Yetfa yang cekatan. Bulir-bulir keringat di pelipisnya seperti cerita yang ingin menentukan jalannya sendiri. Sementara Yetfa adalah perempuan yang tak pernah mungkin terpisahkan dari tata cara kehidupan kami sebagai orang Towe.[1]

“Saya akan segera dinikahkan, Yanggi,” bisik Yetfa gugup, seolah makanan kami di liang pembakaran tak mungkin tanak.

Demikianlah. Beberapa waktu setelah sore itu, Yetfa menikah. Sementara aku masih suka memanjat pohon kasuari dan berusaha menerawang dunia lain di balik Bukit Manena dan Temar.

Kemudian tubuh Yetfa mulai berubah. Ia mengandung. Aku bersedih untuk Yetfa di ambang misteri baru kehidupannya. Hingga tiba saat Yetfa harus mengendap-endap sendirian ke tengah hutan, masuk jauh ke dalam, sampai tak siapa pun mendengar teriakan kesakitannya. Kuikuti dia dari jarak yang aman. Percayalah, aku jauh lebih gugup dibanding Yetfa. Barangkali hutan dan rawa-rawa sagu kami telah mengajari Yetfa secara rahasia. Ia terlihat seperti sudah puluhan kali melahirkan. Yetfa tahu kapan harus berjongkok di atas daun-daun muda yang dibentangkannya di bawah pohon kasuari dengan kedua pahanya membuka.

Yetfa memegangi batang pohon kuat-kuat. Wajahnya penuh peluh, matanya nanar, alisnya mengerut, hidungnya seperti akan lepas, mulutnya nganga tertarik-tarik tak beraturan. Aku tahu, itulah ekspresi rasa sakit yang ditanggungkannya demi melanjutkan garis keturunan klan kami.

Yetfa terengah-engah, sekali lagi mengerahkan seluruh tenaga. Kemudian di ujung teriakannya yang penuh rasa sakit, sesuatu meluncur di antara pahanya, luruh ke tanah. Suara tangis bayi langsung memecah berhambur-hambur. Yetfa lunglai menyandarkan keningnya di pohon. Tapi aku tahu, ia tak punya banyak waktu. Jari-jari Yetfa yang gemetar segera meraih bayinya. Mataku tak mau lepas memandangi Yetfa, meski perasaanku tergores-gores. Yetfa memejam sejenak, seperti memastikan letak yang tepat. Ia lalu menggigit kuat-kuat tali pusar bayinya sampai terputus.

Menjelang sore Yetfa kembali ke bivak. Di batas keremangan aku melihat sesuatu meleleh di tumit Yetfa. Warnanya merah gelap dan sedikit menggetarkan. Aku tahu, itu darah Yetfa yang mengalir dari jalan rahimnya. Sesekali ia berhenti untuk membersihkan tumit, betis, dan pahanya dengan dedaun muda yang ia petik dari pohon-pohon di kiri kanannya.

“Yetfa, kau berjasa besar kepada kami,” kataku suatu pagi. Aku berharap matahari yang hangat bisa membuat Yetfa memikirkan hal di luar kebiasaan.

“Saya tidak berbuat apa-apa, Yanggi.”

“Kau melahirkan seorang penerus klan. Itu jasa yang sangat besar.”

“Melahirkan bukan jasa. Tapi tugas kita, para perempuan.”

Ah, bahkan setelah penderitaan, Yetfa masih setulus embun di pucuk-pucuk pandan. Tak siapa pun berhak mencela perempuan seperti Yetfa. Jalan hidupnya telah dipilih dengan penuh kesadaran dan cinta. Bahkan aku tak pernah berhak memberi pengaruh kepadanya untuk meninggalkan pilihan itu. Satu hal yang ingin kulakukan adalah memberi tahu para lelaki klan kami agar tak mengucilkan perempuan-perempuan setelah melahirkan.

“Kau tahu apa soal perempuan melahirkan?” bentak bapakku ketika aku bertanya, mengapa Yetfa tak boleh menyentuh apa pun di bivaknya, tak boleh dekat dengan suaminya, dan tak boleh memasak untuk keluarganya.

“Yetfa menderita, Bapa. Pasti badannya sakit-sakit setelah melahirkan.”

“Macam ko pernah melahirkan saja. Ko menikah, baru tahu bagaimana melahirkan. Kalau tidak, lebih baik ko diam!”

“Saya tidak akan diam, Bapa. Yetfa menderita.”

“Tutup mulut, Yanggi! Atau Bapa usir kau keluar dari bivak. Bapa sudah bilang berkali-kali, perempuan melahirkan itu kotor. Yetfa bisa bikin dia punya suami sial sepanjang hidup kalau sampai mereka dekat-dekat.”

“Sial?”

Bapak menatapku tajam, seolah aku makhluk asing menakutkan yang baru pertama dilihatnya. “Darah kotor Yetfa bisa bikin dia punya suami lemah sepanjang hidup, tidak bisa bekerja mencari makan.”

“Mengapa roh suci sangat tidak adil kepada perempuan klan kita?”

“Yanggi!” bapak serasa ingin menelanku. “Siapa ajari kau berpikir liar macam begitu? Perempuan sudah diciptakan dengan jalan hidupnya. Demikian juga laki-laki, tak bisa diubah-ubah lagi!”

“Itulah alasan mengapa saya tidak terima menjadi perempuan. Saya tidak akan menikah seumur hidup, tidak mau melahirkan. Saya menolak nasib perempuan klan kita yang penuh penderitaan.”

Bapak menahan napas, dan aku tak begitu peduli.

Sampai hari ini aku melihat Bapak sebagai orang yang hanya mengabdi kepada rawa-rawa sagu. Seolah hidup tak pernah memberinya pilihan. Entah bagaimana jika ada mama bersama kami. Sayangnya, bapak menutup cerita begitu rapat tentang mama. Bahkan bapak bersikap seolah aku terlahir dari makhluk yang entah. Berulang pertanyaanku soal mama hanya membuat bapak sangat emosional, muram, dan luka.

“Bawa dia ke dalam hutan!” teriak seseorang dari kegelapan, sontak membuatku melompat keluar bivak. Secara naluriah aku langsung merunut asal suara gaduh itu.

“Saya bukan suanggi!” teriak seorang perempuan. “Saya baru punya bayi.”

Aku sangat mengenali suara itu. Yetfa. Betapa aku panik mendengar kata “suanggi” meluncur dari bibirnya. Ini persoalan hidup dan mati pahlawanku.

“Kau bikin sakit tetua adat punya anak!” Seseorang menuduh tanpa perasaan.

“Tidak! Saya tidak bikin sakit siapa pun.” Yetfa meronta membela dirinya, dan ia benar-benar hanya seorang diri. “Tetua punya anak itu demam. Saya bisa bikinkan obat dari menggio sir.”[2]

“Kau diam!”

Aku tak pernah bisa mengerti jalan pikiran para lelaki itu. Tubuh Yetfa yang masih lemah setelah melahirkan diseret-seret begitu rupa, di bawah penerangan obor.

“Ambil dia punya bayi!” perintah seseorang.

Yetfa melolong ketika bayinya terenggut dari dekapan. Kali ini ratapannya berisi amarah yang tak pernah tersampaikan, luka yang tak mungkin sembuh, juga cinta yang sia-sia. Yetfa seolah memenuhi rawa-rawa sagu kami dengan rintihan penyesalan, dan mungkin sumpah serapah, atau bahkan doa-doa. Kukira, semuanya tentang kehancuran. Kubayangkan dalam gelap ini air mata dan darah dari jalan rahim Yetfa mengalir sama deras.

Jika aku cukup punya keberanian, akan kuhadang para lelaki itu, yang semuanya kukenali. Tapi ternyata aku lebih pengecut dari matahari yang setiap malam bersembunyi, membuat rawa-rawa sagu kami gelap pekat.

“Yanggi,”

Seseorang memegang pundakku, dan begitu yakin menyebut namaku seolah sudah mengenaliku sejak berabad lalu. Suara yang sekilas tak dapat membuatku percaya bahwa ia bapakku. Tapi telapak tangannya tak bisa kutepis. Telapak kekar yang menyembunyikan kerapuhan.

“Bapa, kenapa di sini?”

“Seharusnya Bapa tanya ko. Bikin apa mengintip Yetfa?”

“Saya harus lihat pahlawan itu untuk yang terakhir, sebelum dia punya tubuh terjatuh ke pangkuan bumi.”

Bapak diam. Sayangnya, kegelapan menghalangi pandanganku untuk bisa melihat sorot mata bapak. Tapi kemudian pelan-pelan bapak menuntun tanganku agar meraba pipinya. Ada yang basah. Sepanjang hidup, baru sekarang aku tahu bapak punya air mata. Apa yang membuatnya bersikap demikian?

“Kau tidak sedang melihat pahlawan, Anak,” kata bapak lirih, seolah suaranya terhimpit di rahang.

“Yetfa itu, saya punya pahlawan.”

“Bukan. Itu masa lalu kita yang diulang kembali oleh alam.”

Aku tak mengerti maksud bapak. Tapi aku percaya bapak tidak akan membiarkan aku bertanya-tanya lebih jauh.

“Waktu itu Bapa tak bisa berbuat apa-apa, ko punya mama dituduh suanggi, diseret ke dalam hutan untuk diadili. Tepatnya dihabisi.”

Seperti puncak Manena dan Temar yang mendadak runtuh, lalu bebatuan raksasa menghantam-hantam jantungku, tapi aku tak mati-mati. Begitulah kalimat bapak muncrat setelah belasan tahun dikuburkan. Sejenak, aku tak tahu lagi tentang kepedihan, sebab akulah luka itu, akulah muara rasa sakit.

“Kelak, bayi perempuan Yetfa akan seperti Yanggi, dan suami Yetfa akan seperti Bapa,” kata bapak datar, seperti mengabarkan bahwa besok waktunya memanen buah merah di tepi rawa.

“Tapi mungkin Yetfa menyumpahi kita, Bapa.”

“Untuk apa?”

“Menghentikan kepedihan buat para perempuan. Mungkin seratus tahun lagi kita tinggal cerita. Kita akan punah, Bapa.”

Tak ada kata apa pun lagi yang diucapkan bapak. Dia meninggalkanku dalam kegelapan. Sementara Yetfa tak lagi meronta. Kubayangkan wajahnya mengeras, sorot matanya tajam, dan bibirnya mengatup penuh wibawa. []

Kampung Yoka, Jayapura, Februari 2015

[1] Salah satu kelompok masyarakat adat di Papua yang mendiami perbatasan Kabupaten Jayapura dan Jayawijaya. Mereka menggunakan dua bahasa untuk berkomunikasi, yaitu bahasa Yetfa dan bahasa Towei.

[2] Menggio sir adalah tumbuhan menjalar dengan aroma daunnya mirip balsam, salah satu tanaman obat yang biasa digunakan masyarakat Towe. Fungsinya untuk mengobati demam, menggunakan kulit batang yang dihaluskan kemudian direbus.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post