Edi Juharna

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web

Meminimalisasi Tragedi Bahasa

Oleh Eddi Koben

Ada hal menarik sekaligus menggelitik pada tulisan Imam Jahrudin Priyanto, Redaktur Internasional “Pikiran Rakyat” yang dimuat harian ini edisi Minggu, 16/4/2017. Dalam tulisannya, Imam menyoroti masalah kesalahan berbahasa yang kerap ditemui di ruang-ruang publik. Bagi sebagian orang, tulisan yang banyak bertebaran di ruang publik itu tak begitu dipersoalkan kendatipun banyak mengandung kekeliruan. Namun, bagi orang yang memiliki kepekaan berbahasa, kekeliruan-kekeliruan itu cukup mengganggu.

Imam memberikan contoh sebuah tulisan di spanduk yang terpasang di jalan tol. Spanduk itu bertuliskan “Jalan Tol Ini Tak Ada Pungli”. Sekilas tulisan itu tak ada yang salah dan dianggap baik-baik saja. Namun, jika dicermati ternyata ada yang salah dan cenderung tidak logis karena tidak sesuai dengan kaidah bahasa Indonesia. Tulisan yang benar seharusnya “Di Jalan Tol Ini Tak Ada Pungli”. Artinya, di area jalan tol tersebut tak boleh ada pungutan liar.

Masih banyak contoh kesalahan penulisan yang disodorkan Imam seperti “Mie Kocok”, “Kost”, dan “dikontrakan”. Seharusnya kata-kata tersebut ditulis “Mi Kocok”, “Kos”, dan “dikontrakkan”. Selain itu, ada juga kekeliruan penulisan kata depan “di” yang seringkali tertukar dengan awalan di-. Banyak yang belum memahami bagaimana membedakan “di” sebagai kata depan dan awalan.

Fenomena tersebut penulis pandang sebagai tragedi bahasa. Disebut tragedi karena benar-benar menyedihkan dan terus berulang. Yang lebih menyedihkan lagi manakala kekeliruan tersebut dilakukan oleh intansi pemerintah yang notabene sering menjadi rujukan masyarakat dalam berbagai hal. Lain soal jika kekeliruan berbahasa itu dilakukan oleh masyarakat awam yang kurang memiliki latar pendidikan memadai, mungkin masih bisa dimaafkan. Namun, jika kekeliruan itu dilakukan oleh intansi pemerintah, sungguh naif.

Kita lihat misalnya tulisan di dinding muka Gedung Merdeka yang berada di persimpangan Jalan Braga dan Jalan Asia Afrika Bandung. Di dinding tersebut tertera tulisan dengan ukuran besar “Museum Konperensi Asia Afrika”. Yang keliru dari tulisan itu adalah kata “konperensi”. Menurut KBBI daring, tulisan yang benar seharusnya “konferensi”, menggunakan konsonan /f/ bukan /p/. Kesalahan ini sudah lama dibiarkan terhitung sejak diselenggarakannya konferensi terakhir negara-negara Asia Afrika tersebut. Penulis khawatir masyarakat internasional mengganggap bahwa tulisan “konperensi” di Gedung Merdeka adalah tulisan yang benar sesuai kaidah bahasa Indonesia. Ini harus cepat dikoreksi mengingat museum ini sudah dianggap bukan hanya milik Indonesia, melainkan juga milik negara-negara di benua Asia dan Afrika.

Tragedi bahasa seperti ini tak akan terjadi manakala ada kesadaran dari berbagai pihak untuk sama-sama mencintai bahasa Indonesia. Badan Bahasa semestinya berperan juga sebagai “polisi bahasa” guna menanggulangi kesalahan-kesalahan sejenis. Di wilayah pendidikan, sekolah ditantang untuk ikut meminimalisasi kesalahan berbahasa di masyarakat.

Sejak memasuki usia sekolah, masyarakat sudah diajari menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Anak-anak SD sudah diajari penulisan huruf, kata, dan penggunaan tanda baca. Anak-anak SMP sudah diajari penulisan kalimat yang runtut dan logis. Pun dengan anak-anak SMA yang sudah diajari penulisan paragraf dengan nalar yang baik. Namun, tetap saja kesalahan berbahasa masih kerap terjadi.

Guru Bahasa Indonesia dituntut untuk terus meningkatkan kompetensinya. Kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan peningkatan akan kecintaan pada bahasa Indonesia seperti peringatan Bulan Bahasa jangan terhenti sebatas seremonial saja. Sekolah harus menindaklanjutinya dengan cara menggunakan bahasa Indonesia yang sesuai dengan kaidah. Dengan demikian, tragedi bahasa di masyarakat dapat diminimalisasi bahkan dihilangkan. Bangsa yang besar adalah bangsa yang menjunjung tinggi bahasanya. Bukankan bahasa menunjukkan jati diri bangsa?***

Penulis, pengajar Pondok Pesantren Kampoeng Quran Cendekia, Parongpong, Kabupaten Bandung Barat.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Membuat semua orang menggunakan bahasa sesuai dengan kaidah bahasa yang benar bukanlah hal yang sepele pak... Dan selama kalimat yang di sampaikan bisa d pahami kan tidak masalah ... Terkadang kalau kita memaksakan harus sesuai dengan kaidah yang benar, yang terjadi bahasanya kaku kurang luwes... Yang wajib sesuai dengan kaidah itu bahasa pada tulisan bersifat formal/ karya tulis ilmiah... Menurut saya karakter dari sebuah bangsa yang lebih pas menunjukkan jati diri sebuah bangsa.... Mohon maaf , hanya menyampaikan pendapat ☺

07 Jul
Balas

Iya betul sekali. Kan, saya juga membahas kesalahan berbahasa dalam konteks bahasa tulis, bukan bahasa lisan. Kalau bahasa lisan tidak akan kentara kesalahannya. Bahasa tulis sangat kentara, Bu. Kesalahan bahasa tulis inilah yang harus diminimalisasi.

19 Jul
Balas



search

New Post