Biro Jasa Pengambil Rapor
Kini aku punya profesi lain. Yang jelas profesi sambilan yang aku tekuni halal, jauh dari maksiat. Walaupun profesi ini kudapati secara tak sengaja dan kuraih tanpa melamar, tes wawancara dan birokrasi yang bertele-tele. Dan aku enjoy menikmatinya.
Ini merupakan profesi kelima yang pernah aku jalani, semuanya menjual jasa, karena tanpa modal, cukup semangat dan keberanian. Dulu aku pernah jadi sales, MLM, biro jasa pengetikan, tambal ban, jasa pengurasan WC, sampai jasa pengambilan rapor!
Tentu hal ini aku lakukan karena aku bukan tipe mahasiswa petelur, yang hanya bisa “petok-petok” seperti ayam buras jika kiriman dari kampung belum datang.
Aku juga tahu diri, aku tak mungkin menguras harta kekayaan orang tuaku di kampung hanya untuk membiayai aku. Terlebih aku sekarang menjadi mahasiswa abadi. Sekarang aku sudah menginjak semester empatbelas, namun belum ada tanda-tanda aku akan membuat skripsi.
Alasannya, menjadi mahasiswa lebih berwibawa, bisa berdemonstrasi dan berorasi sepuasnya. Lain dengan yang sudah berwisuda, menganggur di kampung, justru akan menjadi sampah masyarakat beban moral tersendiri bagiku.
Maka, aku pun bercita-cita, tak akan pernah pulang kampung sebelum aku mendapatkan pekerjaan tetap. Paling tidak dengan kerja kerasku, aku punya pundi-pundi uang. Bisa menjadi IMF, menolong sesama mahasiswa yang kehabisan bekal jika yudisium ingin pulang kampung.
***
Sehabis nengok kampus, biasa aku nongkrong di mall, santai-santai cuci mata. Lihat anak-anak SMA yang ranum menggiurkan, yang sering membuatku menelan ludah. Maklumlah, mall itu dekat sebuah kompleks SMA yang cukup elite dan bonafid. Rata-rata siswanya dari keluarga berada dan mobilnya tak keluar kentut, pokoknya mereka tajir dan borju.
Dan, aku pun merasa fresh, setidaknya aku sudah bisa berfantasi tentang calon istriku kelak. Di tengah lamunan yang menggoda itulah tiba-tiba aku sudah dikepung hampir selusin cewek berseragam abu-abu putih. Aku sempat minder, keringat dingin mulai membasahi muka dan leherku.
Bukan aku minder karena dikepung, tetapi aku paling takut berhadapan dengan orang cantik. Seandainya aku seperti Roger Danuarta, mungkin ceritanya akan lain. Wajahku Cuma pas-pasan, pantas pakai lah.
“Tolong dong, Om, kita-kita butuh pertolongan darurat nih!” kata seorang cewek berwajah mirip Dewi Sandra menghiba memohon pertolonganku.
Aku bergeming. Aku khawatir jika ini hanya akal-akalan anak SMA, jebakan atau bisnis narkoba.
“No...no...no,” kataku singkat, mirip pejabat sambil meninggalkan tempat itu.
Namun aneh, aku dikejar terus seperti residivis. Baru setelah itu aku tahu duduk perkaranya, aku tertawa lebar-lebar seperti mendiang Triman Srimulat. Ternyata, mereka mengiba hanya minta diambilkan rapornya di sekolah.
Lho kok? Karena aturan main, rapor kenaikan harus diambil sang ortu atau walinya. Mereka tidak dapat mendatangkan sang ortu dengan berbagai alasan. Yang klasik, ortunya sibuk. Tapi dari raut wajah mereka, ada gurat ketakutan, nilainya jeblok atau tak naik kelas.
“Tolong dong, Om, kita-kita butuh pertolongan darurat nih!” kata seorang cewek berwajah mirip Dewi Sandra menghiba memohon pertolonganku.
Aku bergeming. Aku khawatir jika ini hanya akal-akalan anak SMA, jebakan atau bisnis narkoba.
“No...no...no,” kataku singkat, mirip pejabat sambil meninggalkan tempat itu.
Namun aneh, aku dikejar terus seperti residivis. Baru setelah itu aku tahu duduk perkaranya, aku tertawa lebar-lebar seperti mendiang Triman Srimulat. Ternyata, mereka mengiba hanya minta diambilkan rapornya di sekolah.
Setelah bernegosiasi, aku pun bersedia, tentu dengan berbagai persyaratan, semacam MoU. Lalu alasan aku dipilih menjadi ortu palsu? Kokon karena wajah bapak mereka ada yang mirip wajahku.
Uniknya, sebelum mengambilkan rapor aku harus didandani lebih dulu. Haru mengenakan kemeja dan dasi, yang baru seumur-umur aku pakai. Dan yang menyebalkan lagi, aku harus memakai kumis palsu menyerupai bapaknya.
Aku pun harus hapal nama bapaknya serta tanda-tangannya. Jika tak ada gangguan, rapor mereka akan bisa kuambil dengan selamat. Aku biasanya langsung ditraktir ke warung dan bisa makan-makan sepuasnya, tentu sambil ketawa-ketiwi ala anak tujuh belasan.
Yang paling enak tentu jika mereka masih kelas satu, pasti mereka akan berlangganan menggunakan jasaku mengambilkan rapor. Berarti order langganan tiap semester. Lucunya, cerita ini mirip ketika aku SMA dulu. Maklumlah sekolah di desa, jadi aku cukup menyuruh tukang becak untuk mengambilkan rapor.
Ada pengalaman berkesan ketika aku menjadi joki pengambil rapor ini. Aku benar-benar dikibuli. Pasalnya, mereka anak SMK, ketika aku mau mengambil rapor ternyata SPP-nya belum lunas. Aku dimaki dan diomnyang guru BP, dan terpaksa demi keselamatan aku harus nombok dulu. Dan, yang terakhir, sekarang aku bisa menjadi sopir bapak, yang dulu memaksa aku berkumis waktu mengambilkan rapor.
Entah profesi ini legal atau ilegal, yang penting sekarang aku dapat pekerjaan dan skripsiku hampir kelar.
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar