Eddy Harsono PB

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web

Rupiah Permen

Tidak biasanya istriku pulang belanja cemberut. Wajahnya tampak manyun dan ngondhuk. Bukan lantaran tanggal tua atau uang belanjanya mulai kering, melainkan perseteruan dengan tukang parkir pasar pagi dan sisa dongkolnya yang masih terbawa sampai rumah.

Aku sudah mengira bom kemarahannya akan meledak di rumah. Biasanya sepanjang pulang dari pasar, naik skuter tuaku, istriku cukup mesra dan nyaman. Memagangi kuat paha atau perutku yang konon sebagai bukti kami pasangan suami-istri yang sah dan meyakinkan. Kemudian istriku ngoceh tentang harga bawang yang naik, harga gula pasir yang selangit, dapat hadiah gelas dan kembalian uang yang keliru. Pokoknya persis berita RRI jaman dulu, lengkap!

Aku pun pura-pura tertarik dengan omongan istriku, pura-pura tertawa meskipun sebenarnya ceritanya tidak lucu, atau sedikit menimpali dengan komentar singkat, “oh ya?!” atau “ah, masak.”

Padahal sesungguhnya aku sudah jenuh menjadi driver pribadi istriku, meski yang kami tumpangi tiap Minggu pagi hanya skuter tua warisan zaman behula. Bayangkan, aku harus berjemur paling cepat satu jam di pelataran parkir hanya untuk menunggu “seni” berbelanja istriku yang amat membosankan.

Kali ini istriku yang cerewet ini justru menjadi pembonceng paling tertib. Diam tak bergerak sedikit pun. Sampai rumah, ketika sekuter belum selesai terstandar, bom itu menjadi kenyataan, dahsyat seperti bom Hirosima dan Nagasaki.

“Papa ini gimana sih, pura-pura bego, istriya diomelin habis-habisan oleh tukang parkir malah diam saja. Dasar suami tak punya nyali,” cerocos istriku kayak si “Pusing”, presenter kondang di televisi itu.

Aku pura-pura tuli, tak mendengarkan ocehan istriku. Karena jika aku menjawab satu kecap saja, istriku akan membalas lebih dari seribu karakter! Lagian perempuan katanya kan bermulut dua.

Disamping itu, istriku adalah teman kuliah dulu, jadi aku paham betul jiwa dan watak istriku yang meledak-ledak. Cocok menjadi orator, mungkin jika masih muda rajin berdemonstrasi. Tapi sekarang cukup mendemo suaminya.

Saking jengkelnya aku terdiam, istriku pun mencubit pinggangku kuat-kuat. Aku hanya tersenyum geli menahan sakit.

“Papa mesti begitu jika diajak ngomong!” semprotnya penuh amarah.

Aku masih pura-pura diam dan melanjutkan membaca koran.

“Komentar dong, pap! Komentar!” kata istriku menghiba.

“Salah sendiri sih, Mam, masa tukang parkir dibayar permen, emangnya anak istrinya mau diberi makan permen, kenyang makan permen!” kataku tak tega jika tak berkomentar.

“Tapi kan...”

“Udahlan, Mam, tak ada kamusnya tukang parkir dibayar pakai permen.”

Memang tadi pagi istriku udur dengan tukang parkir. Ramainya kayak perang Dunia Ketiga. Gara-garanya tukang parkir di Pasar Swalayan yang dibayar istriku enam buah permen berarti setara seribu rupiah. Tentu saja tukang parkir itu mencak-mencak kayak katak dan ngomel sekenanya. Dan, istriku melayaninya dengan nalar sehat, maka terjadilah perseteruan sengit itu.

Istriku pun punya argumen yang dapat dipertanggungjawabkan secara hukum dan nalar ekonomi. Mengapa bayar permen dengan permen? Pasalnya di pasar swalayan itu, setiap kembalian uang seratus rupiah dan kelipatannya, selalu diganti dengan permen. Sampai-sampai jika dihitung kembalian uang kecil yang dibayar dengan permen sudah mencapau satu toples penuh. Beruntung jika punya anak kecil, anakku semua sudah kuliah, paling-paling permen itu hanya dikerubungi semut. Memang lumayan sih, bernilai sodaqah.

Kembalian uang kecil dengan permen ini tak terbtas di swalayan. Hampir semua toko, warung selalu menyiapkan uang permen untuk kembalian. Yah, kalau cuma satu dua kali tak apa, tapi jika ini sudah menjadi tradisi lama-lama bisa jadi penyakit di kemudian hari. Lama-lama kasir jadi kurang ajar merayu pembeli untuk menghabiskan uangnya buat belanja dengan rayuan buat beli ini-itu.

Hal ini memang bisa dimaklumi jika uang seratus rupiah atau limaratus rupiah nilai jualnya rendah, tapi kenyataannya uang recehan itu kan masih dicetak oleh Bank Indonesia.

Dulu, ketika masa kuliahku, uang seratus rupiah bisa untuk nglajo Semarang-Ungaran naik bus kota. Dan uang itu sekarang hanya bisa ditukar dengan permen, bahkan pengemis saja menolaknya seperti najis. Paling banter dijadikan media kerokan jika masuk angin.

Kini pun banyak swalayan yang jeli, “menerbitkan” kupon diskon yang jika sudah mencapai jumlah yang disyaratkan bisa ditukar dengan barang. Tentunya kupon pengganti uang ini hanya berlaku swalayan tersebut.

Diberi permen dan recehan seratus rupiah dianggap masih beruntung. Konsumen tak menyadari kalau dirinya dikibuli dan dijerat dengan pasal pembulatan. Di banyak tempat, harga-harga sengaja ditulis menggunakan angka rumit, misal Rp. 5.999,- untuk satu point barang. Otomatis nilai kembalian jadi rumit juga, masak ada produk seharga Rp. 0,1. Dengan begitu, berlakulah pembulatan ke atas. Ujung-ujungnya pemilik swalayan menangguk untung berlipat-lipat, pembeli tanpa sadar dikibuli.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post