edi kusmaya

Lahir di Kota Wisata Kabupaten Pangandaran Ciamis Jawa Barat. Dari pasangan, almarhum keluarga petani Hj. Rohayati dan Rusmana. Ayahanda seorang seniman, maka d...

Selengkapnya
Navigasi Web
REVOLUSI MENTAL ! ; Mulai Sekarang, dari Diri dan Keluarga

REVOLUSI MENTAL ! ; Mulai Sekarang, dari Diri dan Keluarga

“Indonesia adalah negara berkembang”. Begitulah kita mendengar informasi ketika belajar di Sekolah Dasar. Setelah beberapa puluh tahun kemudian, ternyata predikat tersebut masih melekat di Negeri Tercinta ini. Lalau muncul pertanyaan, “Kapan majunya?”

Fakta dan Data

Pertanyaan itu tentunya tidak mudah dijawab dengan kata-kata. Tanpa bermaksud mengenyampingkan kemajuan yang telah kita capai hingga kini dari Tahun 45. Sebagai bahan analisis, kita kaitkan pada dua aspek sebagai bagian kecil komponen dasar kehidupan sebagai bangsa antara lain :

Data UNESCO tentang peringkat IPM yang dihitung dari komposisi peringkat pencapaian pendidikan, kesehatan dan penghasilan per kepala menunjukkan bahwa Indonesia masih jauh tertinggal. Bahkan di tingkat negara Asean sekalipun.

Berdasarkan data dalam Education For All (EFA) Global Monitoring Report 2011: The Hidden Crisis, Armed Conflict and Education yang dikeluarkan Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO) yang diluncurkan di New York, Senin (1/3/2011), indeks pembangunan pendidikan atau education development index (EDI) berdasarkan data tahun 2008 adalah 0,934. Nilai itu menempatkan Indonesia di posisi ke-69 dari 127 negara di dunia.

Kemudian muncul pertanyaan berikutnya, “Apa sebabnya kita sulit sekali maju?” “Mengapa Indonesia masih jauh tertinggal dalam segala aspek kehidupan, dibandingkan negara tetangga?” Apakah karena kita kurang makmur atau kurang orang yang pintar ?

Mentalitas

Ya, masih ada mentalitas atau karakter yang kurang baik. Inilah sumber dari segala sumber yang membuat kita masih ketinggalan, sulit maju dan lambat dalam memujudkan cita-cita.

Tidak sedikit pola pikir, kebiasaan dan atau prilaku yang sering kita perbuat dalam kehidupan sehari-hari, yang harus diperbaiki. Tampak sepele, seolah-olah biasa tidak berdampak terhadap kehidupan seseorang, kelompok, masyarakat dan bahkan kita sebagai bangsa. Berikut sebagian kecil prilaku yang harus diperbaiki.

Pertama, biasa ambil jalan pintas. Sering tidak mengikuti proses, atau sesuai dengan prosedur dan atau ketentuan. Secara kasat mata kita saksikan, dari hal-hal sederhana sampai yang bersipat prinsip dan rumit. Misalnya, nyebrang di jalan, padahal sudah disediakan jembatan. Sudah dipasang lintasan kereta api, tapi diterobos. Ada prosedur ngurus SIM, KTP dan segala urusan perijinan – masih saja pakai calo. Kalau ditanya alasannya, “Aaaah ….. melalui prosedur lama dan berbelit-belit”.

Kebiasaan mental menerabas, berkaitan juga dengan sikap turunannya – seperti; tidak menghargai proses, ogah usaha keras, pengin hasil maksimal kalau bisa tanpa pengorbanan heee …. Wujud lain dari dari sikap ini adalah suap-menyuap dari mulai orang kere hingga para panggede, dari mulai bikin KTP hingga ijin membabat hutan. Akhirnya orang mendewakan materi.

Kedua, kurang jujur. Sudah terbiasa berbohong sering pura-pura. Apa yang ditampilkan bukan keadaan yang sebenarnya. Mental itu melanda sebagian para aparat dan karyawan terutama di lingkungan pemerintahan. Tempo doeloe dikenal dengan istilah ABS (Asal Bapak Senang). Kebiasaan itu kini belum sepenuhnya hilang dari Bumi Pertiwi. Oleh karenanya, banyak hal yang belum ada perbaikan berarti, karena memang kita belum seutuhnya mau terbuka.

Krisis kejujuran menjadi salah satu factor utama negeri ini, sehingga kita sulit mengejar ketertinggalan termasuk dengan negara tetangga. Terlebih orang jujur, juga pada kenyataanya sering sulit mendapat tempat. Lebih ironisnya bisa terpental dari kelompok, lembaga bahkan negara. Beberapa kasus orang jujur, biasanya pemberani malah tertindas dan atau sengaja ditindas – karena “membahayakan”.

Ketiga, konsumtif. Lihat mall, tengok pusat perbelanjaan-tak pernah sepi dari pembeli. Apalagi mejelang hari raya, napsu belanja akan semakin menggila. Indonesia menjadi negara pasar potensial, setidaknya di Asia Tenggara. Selain jumlah penduduk banyak, ditambah hobi belanja – lengkaplah sudah, sebagai bangsa yang senang membeli daripada membuat sendiri. Barang apa yang tidak laku di negeri ini, dari mulai jarum sampai belco slalu laku dijual.

Keempat, kurang menghargai karya dan prestasi. Menurut beberapa catatan, pembajakan hak cipta, terutama karya kreatif termasuk lagu, di Indonesia masih sangat tinggi. Ini salah satu indikasi, kita belum bisa menghargai karya orang lain. Indikasi lain, Indonesia tidak kurang orang pintar. Banyak para inovator, orang cerdas yang justru meraih sukses di negeri orang, daripada di negeri sendiri. Konon katanya, Habibi juga jika tidak dipanggil Pa Harto, belum tentu berkarya di Indonesia.

Keluarga Sebagai Solusi

Persoalannya bagaimana mentalitas seperti tadi bisa diminimalisir, kemudian mengembangkan nilai-nilai mentalitas yang lebih baik. Seperti mendahulukan proses – bukan orientasi hasil, menempatkan prestasi dan karya sebagai sesuatu yang utama. Menghargai kejujuran, memposisikan orang jujur dalam posisi kedudukan tepat. Bukan karena uang, kekuasaan dan kedekatan. Tapi atas kejujuran, kompetensi, kredabilitas dan karakter tangguh lainnya.

Tidak mudah, perlu proses dan kerja keras. Apalagi kebiasaan yang telah mendarah daging dan mengkristal. Hanya dengan tekad kuat, upaya terus menerus dalam sebuah gerakan. Gerakan, Revolusi Mental. Dimulai dari keluarga dari sekarang, dan sejak dini kepada anak. Mengapa ? Membentuk kebiasaan baik kepada anak, jauh lebih mudah ketimbang merubah prilaku orang dewasa - Ibarat menulis di atas daun talas. Suliiiiiiiit …..membekas.

Orang tua dan seluruh keluarga harus komit seiring dan sejalan, menjalani dan memberi conto mempraktekan kebiasan-kebiasaan yang baik dan menghindari hal-hal yang kurang baik dalam kehidupan keseharian baik di rumah ataupun di lingkungan masyarakat. Karena proses edukasi yang sebenarnya memberi conto yang baik, bukan hanya sekedar memberikan petuah dan atau saran semata.

Uraian berikut ini, barangkali bisa menjadi salah satu referensi, bagaimana upaya keluarga sebagai lembaga pertama dan utama dalam membangun karakter bangsa. Pondamen karakter anak bangsa dimulai dari keluarga, oleh sebab itu keluarga sebagai miniature negera akan memberikan warna karakter bangsa secara umum. Ada banyak kasus, bagaimana sebuah keluarga yang hebat, melahirkan pemikir besar, tokoh-tokoh terkenal di segala bidang kehidupan.. Beralasan jika keluarga sangat perperan dalam membangun karakter bangsa yang tangguh dan kreatif.

Biasakan anak-anak mendapatkan sesuatu, setelah dia menyelesaikan suatu pekerjaan sesuai takarannya, atau memperoleh prestasi, sekecil apapun hasil yang ia bisa lakukan. Bentuk penghargaan ini, selain supaya tertanam dalam jiwanya untuk memperoleh sesuatu, harus ada “proses” perjuangan. Di sisi lain, agar mereka bisa mengevaluasi, bahwa perlu adanya penghargaan atas suatu prestasi yang telah dicapai. Diharapkan kelak mereka terbiasa untuk memperoleh sesuatu, melulai proses dan tahapan yang seharusnya dijalani.

Hidari berbohong terlebih pada anak-anak, meski untuk tujuan baik sekalipun. Bilang apa adanya, lalu jelaskan alasannya. Misalkan, jika ada tlp berdering. Jangan sampai, “Bilang mamah nga ada di rumah” padahal ibunya lagi nonton tv. Kalau orang tua hilap, lupa atau bisa saja salah …. minta maaf, kemudian sampaikan argumentasinya, hingga mereka mengerti sekaligus memalumi. Banyak hal kecil yang bisa kita lakukan untuk membangun kejujuran. Begitu juga jika mereka berbuat salah, jangan dimarahi. Supaya terbiasa mengakui kesalahannya – kemudian berikan solusi terbaik. Sehingga tidak takut jujur kepada orang tuanya. Satu hal yang tidak boleh terlewat, hargai kejujuran tersebut sebagai suatu prestasi, meski jujur mengutarakan atau mengakui berbuat salah.

Jangan semua mainan anak dibelikan jadi. Meski sekarang tidak mudah karena ana game di internet, gadget atau hp. Sesekali dibuatkan atau ajari membuat sendiri. Misalnya membuat perahu dari keretas, dan benda-benda sederhana lainnya sesuai dengan tingkat perkembangan usia mereka.

Biasakan anak jangan diberikan uang jajan, dengan cara disiapkan makanan sehat dan menarik dari rumah. Tujuan utamanya, mengurangi sikap konsumtif. Hal baik juga menghindar dari minuman dan makanan kurang sehat, dan belum tentu terjamin keamanannya. Banyak kasus anak sekolah keracunan makanan dari makanan dan minuman jajanan. Kalaupun dibekali uang, hanya unuk nabung. Itupun harus wajar, jangan sampai seolah-olah yang menyisihkan uang adalah orang tuanya. Dua kebiasaan tersebut, diharapkan dapat membentuk pribadi yang hemat dan tidak konsumtif.

Banyak hal-hal kecil yang bisa kita mulai membangun mental yang baik, positif dan kuat mulai dari sekarang dari diri dan keluarga, untuk mewujudkan Indonesia lebih baik lebih naju dan lebih berkarakter. Mari ….

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Betul Pak...

12 Jan
Balas

Itulah Bu, kalau kepekaan kita asah terus ....sebenarnya banyak hal2 kecil dalam diri kita yang harus kita perbaiki ...luruskan dengan perubahan ....sekecil apapun perubahan tersebut ...akan lebih berarti ...untuk menuju perubahan yang lebih besar. Ini bagian dari pola pikir positif ....yang telah, sedang dan akan saya kembangkan terus .......semoga

12 Jan
Balas



search

New Post