Edi Prasetyo

Tinggal di Purbalingga, Jawa Tengah. Sejak masih kuliah di IKIP Yogyakarta gemar menulis. Pernah menjadi guru di SMAN 1 Sokaraja, Banyumas 18 tahun, KS SMAN 1 S...

Selengkapnya
Navigasi Web

Tidak Naik Kelas, Awas!

Lima hari yang lalu, aku menerima pesan singkat dari seseorang yang belum aku kenal melalui aplikasi WA. Nomornya asing dan tanpa foto profil. Pesannya berbunyi, "Tidak naik kelas, awas!"

Meski pesan tersebut bernada ancaman, tapi aku tak mau ambil pusing. Menjelang kenaikan kelas, memang biasanya ada guru yang menerima ancaman semacam itu. Dan selama menjadi wali kelas, entah sudah berapa kali aku menerima ancaman seperti itu.

Lagi pula, siapa orang yang mengirim pesan tersebut juga tidak jelas. Apakah muridku, orang tua murid atau orang lain? Namun demikian, aku tetap perlu berhati-hati.

Di kelasku, memang ada seorang siswa yang tidak akan naik kelas. Namanya Jefri. Anak tunggal seorang pegawai bank itu nilai rapornya jelek sekali. Dari semua mapel yang ada di rapor, lebih dari separohnya nilainya di bawah KKM. Bahkan banyak yang tidak mencapai nilai 60. Sedangkan selebihnya hanya pas KKM. Tapi apa mungkin anak itu yang mengancamku?

Rasanya tidak mungkin. Meski sudah kelas XI, postur tubuh anak itu hanya kecil. Kukira tinggi badannya tidak sampai 155 cm. Mana mungkin dia berani mengancam orang yang tingginya 173 cm dengan berat 73 kg sepertiku? Mau dengan cara apa dia melakukannya?

Sampai saat pembagian rapor tadi, ancaman itu tidak terbukti. Ketika mengambil rapor, ayah Jefri pun sangat bisa memahami mengapa anaknya tidak naik kelas. Menurut pengakuannya, Jefri memang termasuk malas belajar. Sukanya hanya bermain game. Sehingga wajar kalau nilai rapornya jelek dan kemudian tidak naik kelas.

Meski demikian, ayahnya berharap semoga hal ini bisa menjadi pelajaran berharga bagi Jefri. Dengan tidak naik kelas, semoga di saat mengulang nanti dia akan mau belajar dengan sungguh-sungguh.

Setelah selesai membagi rapor, aku tidak langsung pulang. Aku tetap menunggu sampai pukul 15.30 sesuai jam dinasku. Sekitar pukul 15.45 baru aku pulang ke rumah dengan mengendarai sepeda motor tuaku.

Seperti biasa, kecepatanku hanya antara 40 sampai 50 km perjam. Maklum, selain motorku sudah tua, umurku juga sudah tua. Sesaat setelah melewati tikungan, aku dikagetkan oleh sebuah angkutan pedesaan yang tengah berhenti sekitar 15 meter dari tikungan. Mungkin angkutan pedesaan itu sedang menurunkan penumpang. Ingin menyalip, tapi tidak mungkin. Karena dari arah berlawanan ada truk yang mau lewat. Satu-satunya cara yang harus aku lakukan adalah mengerem sepeda motorku.

Tapi masya Allah! Rem sepeda motorku, dua-duanya tidak berfungsi. Meski pedal rem sudah kuinjak sampai pol dan rem tangan juga sudah kutarik sampai pol, ternyata sepeda motorku terus saja melaju. Karena jarak yang sudah sangat dekat, akhirnya bres!

Aku langsung pingsan. Sadar-sadar aku sudah terbaring di rumah sakit. Kurasakan beberapa bagian tubuhku sakit. Keningku sakit dan sepertinya sudah dijahit. Bibir atasku kurasakan telah berubah menjadi sangat tebal. Kedua pelupuk mataku bengkak sehingga mataku susah untuk bisa melihat. Daguku terluka dan sudah diperban. Begitu pun kedua siku tanganku dan lututku. Jarum infus pun sudah dipasang di lengan kananku.

"Kamu sudah sadar, Mas?" kudengar suara istriku. Aku hanya mengangguk pelan. Beberapa orang yang kurasa teman-temanku kemudian mendekatiku.

"Alhamdulillah," ucap mereka hampir bersamaan setelah mengetahui kalau aku sudah siuman dari pingsanku.

Meski tidak jelas betul, aku menduga teman-temanku itu adalah pak Usman, pak David, dan pak Mulyono. Mungkin mereka pula yang telah membawaku ke rumah sakit. Aku betul-betul merasa beruntung punya teman seperti mereka.

Sambil merasakan sakit, hatiku bertanya-tanya, "Kenapa tadi motorku tidak bisa direm? Padahal baru seminggu yang lalu motor aku servis ke bengkel. Apa mungkin itu ulah usil si Jefri? Ah, tidak mungkin. Jefri tak mungkin berbuat setega itu kepada gurunya."

Sekitar pukul 20.30, ketiga temanku itu berpamitan kepadaku. Dengan anggukan pelan, aku mengizinkan mereka meninggalkan Rumah Sakit. Tinggal istriku sendirian yang menungguiku. Samar-samar kudengar tangis istriku. Aku hanya bisa membiarkannya menangis tanpa bisa berbuat apa-apa.

Sekitar 30 menit kemudian, di saat istriku masih sesenggukan, samar-samar aku melihat seorang pria dan seorang wanita datang menjengukku. Aku yakin mereka bukan teman-temanku. Lalu siapakah mereka?

"Kami berdua orang tua Jefri, Pak," kata pria itu.

"Orang tua Jefri?" tanyaku dalam hati. "Mau apa mereka datang kemari? Mau protes atas ketidaknaikan anak mereka atau mau menjengukku?"

Belum hilang rasa heranku, pria yang mengaku ayah Jefri itu kemudian berkata, "Kami berdua datang kemari, selain untuk menjenguk Bapak juga untuk meminta maaf kepada Bapak atas tindakan anak kami." Aku hanya bisa mendengarkan sambil mengangguk pelan.

"Begitu mendengar kabar dari temannya kalau Bapak kecelakaan, Jefri tampak begitu ketakukan. Awalnya dia tidak mau menjelaskan mengapa dia ketakutan seperti itu. Tapi setelah saya desak, akhirnya Jefri mengaku kalau dialah yang telah menyebabkan Bapak celaka. Sebelum pulang ke rumah tadi, dengan sengaja dia telah mengendorkan setelan rem motor Bapak," ayah Jefri menjelaskan.

Aku tersentak! Dan kurasa istriku pun begitu. Meski aku sangat menyesalkan perbuatan muridku itu, tapi aku merasa tidah perlu marah kepadanya. Tentu dia tidak menyangka kalau perbuatannya itu bisa membuatku seperti ini. Lagi pula, mungkin inilah cara Tuhan menguji kesabaranku. Aku masih bersyukur, karena meski aku celaka tapi lukaku tidak terlalu parah.

Berulang-ulang kedua orang tua Jefri itu meminta maaf kepadaku dan kepada istriku. Selain meminta maaf, ayah Jefri juga mengatakan kalau akan menanggung semua biaya perawatanku. Bahkan ia pun ingin membelikan motor baru untukku.

Ingin aku mengatakan kepada kedua orang tua anak itu, bahwa aku telah memaafkannya. Aku pun tidak perlu dibantu biaya perawatan. Semua biaya akan ditanggung oleh BPJS Kesehatan. Motor baru pun tidak perlu dibeli untukku. Tapi aku tidak bisa bicara. Yang bisa kulakukan hanya mengangguk dan menggeleng, meski pelan.

Untung istriku mampu menjelaskan sikapku itu kepada mereka. Setelah mendapat penjelasan dari istriku, secara bergantian kedua suami istri itu menyalamiku untuk berpamitan.

Sepeninggal orang tua Jefri, aku merenung. Dalam hati aku berkata, "Terima kasih Tuhan. Engkau telah menguji kesabaranku dengan cara seperti ini. Mudah-mudahan dengan cara apa pun Engkau menguji kesabaranku, aku akan tetap bisa sabar seperti yang Engkau ajarkan kepadaku selama ini."

Sambil sesenggukan, istriku berkata, "Sabar ya, Mas. Insha Allah Tuhan akan segera menyembuhkanmu." Hatiku benar-benar terasa sejuk mendengar kata-kata istriku itu.*

Sokaraja, 16 November 2017.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

kelihatan kalau itu rekaan ... dari keterangan waktu yang digunakan

17 Nov
Balas

Hehehe... Belum waktunya kenaikan kelas ya Bu?

17 Nov

Is it a true story of you Sir....

16 Nov
Balas

Hehehe... bukan, Bu. Cerita rekaan saja

16 Nov

Is it a true story of you Sir....

16 Nov
Balas

Apa seperti sungguhan, Bu?

16 Nov



search

New Post