Bedul Potong Burung (Bagian 1)

Bedul Potong Burung
(Bagian 1)
Pagi itu Bedul dan mboknya sedang di teras. Mboknya sedang mengupas ketela , bahan kue utri. Bedul sedang meniup-niup tanah, mencari semut. Kue utri memang jadi dagangan mboknya Bedul, setelah bapaknya meninggal kecelakaan 5 tahun lalu. Saat itu Bedhul berusia 2 tahun. Jadi dia ndak ngerti dan ndak ingat wajah bapaknya.
“Mbok, setelah lebaran aku jadi sunat ya?”, tanya Bedul pada Mboknya.
Mboknya terkejut. Lalu menghentikan mengupas ketela dan menoleh kearah Bedhul.
“Mboke ndak punya uang Dul”, kata Mboknya Bedul sembari membereskan ketela yang baru di kupas.
“ Tapi mbok.Aku punya uang”, sahut Bedul
“ Duwit dari mana le? Mbokmu ini hanya jualan utri. Sehari paling laris dapat uang 50 ribu. Setelah itu untuk makan dan beli ketela, paling tersisa 10 ribu. Mboke ndak punya duwir, le..”.
“Mboke tenang ae”.
“Tenang piye? Wong ndak punya duwit kok mau sunat”.
“Santai mbok. Aku akan punya duwit. Ini kan mau lebaran”.
“Duwit? Lebaran?Mbokmu ndak mudheng”, sahut mboknya Bedul sambil pergi ke dapur.
Bedul senyum-senyum saja melihat mboknya. “Mbok ndak tahu , kalau aku akan punya uang uakeh, Untuk sunat”, kata Bedul.
Sore itu Bedul dan mboknya duduk di teras rumah. Mereka duduk di atas dipan kayu usang. Mungkin usia dipan itu usianya sama dengan mboknya Bedul. Setahu mboknya Bedul, sejak kecil dipan itu sudah ada. Kata bapak mboknya Bedul, dipan itu dibuat bapaknya. Piring berisi kue utri dan dua gelas teh manis menemari mereka. Bedul telah makan dua kue utri. Sementara mboknya Bedul baru habis satu kue utri. Teh manis diseruput mboknya Bedul, sambil sesekali menatap Bedul yang lahap makan utri.

Maafkan mboke le, ndak bisa nyunatkan kamu setelah lebaran. Mboke belum punya dhuwit. Kata mboknya bedul dalam hati. Tangannya mengelus kepala Bedul yang sedang menelan utri. Bedul menoleh kea rah mboknya. Ndak biasanya, mboknya mengelus kepalanya. Heran dalam hati bedul. Ada apa dengan mboknya. Bedul juga melihat mata mboknya memerah. Ada air mata di matanya, akan jatuh. Bedul mendekap mboknya. Dirasakan degup jantung mboknya . Mboknya memeluk Bedul dengan erat. Keduanya terdiam.
“ Sudah le, lepaskan pelukanmu. Mboke sesak”.
Bedul melepas pelukannya lalu duduk didekat mboknya. “Ada apa mbok? Mboke aneh..pake nangis juga”. Kata Bedul nggoda mboknya.
“ Sesekali nangis ndak apa-apa le. Kamu tadi pagi ngomong akan sunat dan akan punya duwit. Piye maksudmu le?, mboknya Bedul penasaran.
“Ha..ha..ha..itu to mbok”.
“Kok malah ngguyu. Wo..bocah gemblung”.
“Aku sehat mbok. Ndak gemblung”.
“Iya ..terus piye karepmu. Sunat itu butuh duwit akeh. Mbokmu ini ndak punya”, kata mboknya Bedul sambil mengambil utri dan memakannya.
“Gini lho mbok. Aku mau sunat setelah lebaran. Waktu lebaran aku akan keliling. Nah..pas keliling itu aku kan dapat duwit. Dapat sangu dari orang-orang. Duwitnya akan aku pakai sunat. Cocok to mbok”.
“ Ha…kowe kuwi ora nggenah. Nunggu ndoke pitik blorok.Ndak..ndak..mboke ndak setuju”, kata mboknya Bedhuk sambil njewer.
“ Aduh..aduh ..sakit mbok”.
“Sakit yo ben. Bocah ora nggenah”.
“ Hla terus piye mbok. Sangune mesti banyak. Mboke iki pye to?”.
“Sunat boleh. Tapi nunggu mboke nabung. Jualan dulu utri.Setelah itu baru kamu sunat”. kata mboknya Bedul.
“Coba mboke pikir dan hitung.Misal Pak Lurah 25 ribu, Pak Carik 20 ribu, Pak ustadz 20 ribu. Lalu Pak Ahmad juragan ketela itu 20 ribu. Terus Bu Hajjaah 15 ribu. Pak Guru 10 ribu.Itu sudah buanyak mbok. Cukup untuk motong burungku.ha..ha..ha..Aku sunat mbok..ha..ha”, kata Bedul.
Mboke Bedul melongo. Ndak ngira kalau itu dalam pikiran bedul. Ndak ngira kalau sangu hasil lebaran akan untuk biaya sunat. Mboke Bedul ngelus dada. Rasa bersalah menghimpit jantung dan perasannya. Sesak dan nelongso. Dia merasa menjadi simbok yang belum adil dan belum baik untuk anaknya. Mau sunat saja anaknya harus meminta-minta pada orang lain. Dia pandangi Bedul dengan lekat-lekat.Yang dipandangi senyum-senyum saja sambil minum teh sampai habis. Dasar bocah..huh..gumam hati mboknya Bedul.
“ Banyak to mbok. Ada 110 ribu lho mbok.Wis cukup itu mbok. Mboke tenang ae. Itu duwit halal mbok”, kata Bedul .
Mboknya Bedul terdiam mendengar omongan Bedul. Bingung. Ndak ngerti apa yang mau dikatakan. Nyatanya memang mboknya Bedul ndak punya duwit. Mau melarang juga ndak bisa. Mau mengiyakan ..kok ya kasihan. Sunat dari minta-minta. Memang halal.Tapi…
“Piye mbok?”, tanya Bedul sambil melempar daun bungkus utri ke halaman.
“ Mboke..mboke..”, Mboknya Bedhul diam. Tidak melanjutkan kata-katanya.
“Piye Mbok. Kok diam”, tanya Bedul.
“ Iyo le…mboke tambahi dari uang jualan utri yo?.
“ Ora usah mbok.Itu wis cukup. Katane Udin, biaya sunat 85 ribu”. Kata Bedul meyakinkan mboknya.
“ Kalau kurang, Burungmu hilang separo piye”, goda mboknya.
“ ha..ha…mboke lucu..ha..ha”, Bedul tertawa terbahak-bahak.
Mboknya Bedul ikut tertawa.
Mereka berdua tertawa terbahak-bahak. Sampai keluar air mata.
“Hlo..tinggal satu le , utrine. Habisno yo!”.
Bedul langsung nyambar utri satu di atas pirin.Hap..lamgsung masuk mulutnya dan habis.
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
Hahaha.. pak Edi jago juga bikin cerpen..Bagus ceritanya pak. Keren.
SWUN