Sepucuk Kenangan Hina
Sepucuk Kenangan Hina Karya : Edo Bagus Setiawan Sore ini mendung bergelayut di atas bumi menak sopal. Tak lama selang beberapa menit, hujan pun turun membasahi bumi dengan sangat lebat. Di luar terdengar suara rintikan air hujan yang jatuh ke bumi sore ini. Dan di susul oleh sambaran kilat yang mencengangkan. Aku termenung duduk di kursi teras dengan melihat rintik hujan yang turun bersama-sama. Sambil menyeruput secangkir kopi panas yang sedari tadi menemaniku. Entah mengapa hujan sore ini sangatlah beda dengan hujan-hujan sebelumnya. Entah apa yang aku fikirkan saat ini. Semua yang ada di benakku seakan terbayang-bayang membawaku menuju kenangan masa lalu yang selama ini belum bisa move on dari kehidupanku. Sekian lama aku termenung menatap hujan yang sepertinya enggan untuk berhenti. Tiba-tiba membawaku teringat dengan kenangan nostalgia masa laluku. Ya kenangan indah bersamanya. Mungkin sekarang dia telah melupakannya atau mungkin belum. Entahlah. Tanpa ku sadari fikiranku telah melayang-layang ke masa dimana aku masih menjalin hubungan bersamanya. Sekian lama kenangan ini masih terus menghantuiku. Bahkan hari silih berganti tidak malah menghilang justru malah terus terkenang. Terlebih saat hujan datang dan aku termenung sendirian. Kala itu disaat aku masih duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama, dengan hujan yang sangat lebat dan saat itu pula hari sudah hampir gelap gulita, aku masih berada di sekolah dan segera beranjak pulang. Tak diduga dan tak disangka tiba-tiba Ningrum seorang cewek cantik idaman semua cowok di SMP saat itu, Ia sedang lewat di depan ruang kelasku dengan badan menggigil kedinginan. Aku pun langsung menawarinya jaket almamaterku untuk dipakainya. “Hai Ningrum ..... badanmu menggigil, sepertinya kamu kedinginan”. Tanyaku dengan nada yang panik. “Iya ini Joko, aku kedinginan dari tadi dan aku juga lupa tidak bawa jas almamater”. Jawabnya sambil menggigil kedinginan. “Lebih baik kamu pakai almamater punyaku saja”. Tawaranku dengan menaruh almamaterku di bahunya yang kedinginan. “Terimakasih Joko, kamu selalu pengertian sama aku. Oh iya tapi nanti kalau kamu juga kedinginan bagaimana?”. Tanyanya sambil mengkhawatirkan keadaanku. “Jangan khawatir Rum, aku masih bawa jaket di tas kok, jadi sudah nggak takut kedinginan lagi”. Jawabku sambil membuka tas dan mengambil jaket. Setelah itu sedari menunggu hujan yang hampir reda, aku pun segera memakai jas hujan dan bergegas mengayuh sepeda jengki pemberian kakekku. Sedangkan Ningrum di jemput ayahnya naik mobil mewah. Keesokan harinya, di sekolah aku berangkat pagi-pagi buta karena ada jadwal piket kelas. Sambil menunggu teman-teman datang, aku membaca novel yang ku bawa dari rumah. Maklum aku tidak punya HP ataupun alat telekomunikasi yang lain. Karena aku berasal dari keluarga yang kurang mampu. Bisa sekolah layaknya teman-teman pada umumnya saja aku sudah bersyukur banget. Waktu sudah hampir menunjukkan pukul 07.00 WIB dan Ningrum masih juga belum datang ke sekolah. Teman-teman pun sudah bergegas masuk ke kelas, sedangkan aku dari tadi tidak melihat Ningrum di sekolah. Tak jarang Ningrum berangkat ke sekolah lewat jam 6 lebih. Karena ia selalu berangkat lebih awal dari teman-temannya terutama aku. Untuk lebih jelasnya tentang keadaan Ningrum, lebih baik aku tanya sama Ambar. Kebetulan rumah Ambar dekat dengan rumahnya Ningrum. Toh mereka juga teman dekat atau kata lain best friend forever atau sahabat selamanya. “Hai Ambar ..... kamu tahu tidak kenapa Ningrum tidak masuk sekolah hari ini?”. Tanyaku sambil mengkhawatirkan keadaan Ningrum. “Iya, jadi begini Joko. Kemarin itu sepulang sekolah Ningrum badannya menggigil kedinginan. Pagi tadi Bu Dewi mamanya Ningrum datang ke rumah untuk menitipkan surat bahwa Ningrum sedang sakit. Kata Bu Dewi, Ningrum hari ini akan di bawa ke Puskesmas”. Kata Ambar yang menjelaskan panjang lebar tentang keadaan Ningrum saat ini. “Baik terimakasih ya Ambar atas informasinya terkait keadaan Ningrum saat ini”. Sahutku sambil bergegas menuju bangku. Karena Pak Guru Bambang sudah datang berjalan menuju kelas”. “Iya Joko sama-sama”. Arum sambil membalikkan badan menghadap ke depan. Pada hari Selasa jam pertama yaitu mata pelajarannya Pak Bambang Bahasa Indonesia. Kebetulan Pak Bambang pagi ini menjelaskan tentang Bab membuat cerpen. Kami pun juga diberi PR membuat cerpen dengan tema kisah dan kenangan. Yang nantinya akan dikumpukan pada pertemuan minggu depan. Sepulang sekolah, kami satu kelas sepakat untuk menjenguk Ningrum di rumahnya, kami juga membawa buah pisang dan alpukat yang merupakan hasil panen dari kebun sendiri. Setelah tiba di rumah Ningrum, tiba-tiba perasaanku tidak karuan, detak jantung terus berdetak semakin cepat sehingga nafasku tersengal-sengal. Kemudian aku dan teman-teman disuruh masuk ke dalam kamar Ningrum dan disaat itu pula aku di panggil Pak Firman Ayahnya Ningrum. “Ini semua gara-gara kamu Joko, kalau kamu tidak mengajak Ningrum kerja kelompok sampai sore, mungkin ningrum tidak akan sakit seperti ini”. Kata Pak Firman sambil ngotot dengan marah-marah. “Sebelumnya saya minta maaf Pak Firman, ini semua salah saya, saya akan bertanggung jawab atas segala kesalahan saya”. Sahutku dengan nada kalem dan berhati-hati dalam mengucap. “Tidak perlu, apa kamu kira dengan kamu minta maaf itu bisa menyembuhkan Ningrum dari penyakitnya?”. Ucap Pak Firman semakin ngotot dan menjadi-jadi. “Apa yang harus saya lakukan sebagai tanda minta maaf saya Pak. Insyaallah saya siap dan bersedia menanggung resikonya”. Jawabku dengan menundukkan kepala sambil ketakutan. “Saya hanya ingin kamu keluar dari rumah saya, buah itu sekalian kamu bawa pulang juga. Saya tak mau menerima bantuan apa pun dari kamu”. Tudungan dari Pak Firman terhadap saya yang sangat kasar kepada anak di bawah umur. “Baik Pak, jika itu kehendak Bapak saya akan pergi dan membawa buah ini pulang”. aku pasrah dan berserah. Aku pun pulang kerumah dengan wajah yang lemah lesu. Keesokan harinya, Ningrum menceritakan semua kejadian yang dialaminya kemarin kepada ayah dan ibunya. “Tidak seharusnya ayah bersikap kasar kepada Joko kemarin, ayah tidak tahu kejadian yang sebenarnya. Jadi begini ceritanya, kemarin pada waktu di sekolah, hujan sangat lebat sekali sehingga aku menggigil kedinginan. Tak sengaja aku lewat di depan ruang kelasnya Joko. Justru aku malah dipinjami almamater sama Joko ayah, untung Joko sangat baik sama aku, sehingga aku kemarin pulang sekolah sudah tidak menggigil kedinginan lagi”. Tutur kata Ningrum untuk menyakinkan ayah. “Jadi seperti itu ceritanya nak, ternyata ayah sudah salah sangka sama Joko. Maafin ayah ya nak”. Dengan nada kalem ayah mengakui kesalahannya. “Ayah jangan minta maaf sama Ningrum, tapi ayah harus minta maaf sama Joko”. Dengan sangat tegas Ningrum berbicara di depan ayahnya. Keesokan harinya, aku diundang Pak Firman untuk makan malam bersama. Dengan bangga aku menghadiri undangan itu. Di situ Pak Firman mengakui semua kesalahannya yang diperbuat kepadaku selama ini karena sudah menuduh aku yang enggak-enggak. “Maafkan Bapak ya Joko, selama ini saya sudah menuduh kamu yang enggak-enggak”. Ucap Pak Firman sambil memegang tanganku, seolah-olah meminta maaf atas segala kesalahannya. “Pak Firman, tanpa meminta maaf kepada saya sudah saya maafin kok pak dari dulu. Memang sudah menjadi kewajiban orang tua untuk menjaga dan melindungi anaknya, terlebih Pak Firman punya anak perempuan yang sangat cantik. Tak heran jika banyak cowok yang gandrung kepada putri Bapak”. Jawabku sambil tersenyum bernafas lega. Momen itu menjadi kisah penghujung kedekatanku dengan Ningrum, karena sebentar lagi kita akan segera lulus dari SMP dan melanjutkan ke jenjang SMA. Setelah lulus dari SMP, aku masih tetap melanjutkan pendidikanku di SMK Negeri yang tak jauh dari rumah tempat tinggal ku. Sedangkan Ningrum akan melanjutkan pendidikan SMA nya di Jakarta, karena ikut kakaknya yang sedang kuliah di Jakarta. Semenjak lulus dari SMP, kita sudah tidak pernah berhubungan lagi, sudah hilang kontak dan tidak ada kabar sama sekali. Setelah tiga tahun lulus SMP sampai sekarang belum ada kabar dari Ningrum, apakah dia sudah punya pacar apa belum, atau bahkan sudah menikah dan punya anak. Lama sekali aku terdiam terbawa arus lamunanku membayangkan masa lalu yang penuh kelabu yang tak akan pernah terulang lagi. Hingga akhirnya suara ibu menyadarkan ku dari lamunanku. “Ada apa to ngger, kok ngelamun dari tadi tidak rampung-rampung. Coba cerita sama ibu mungkin ibu bisa membantu kamu mengatasi masalahmu”. Tanya ibu dengan nada kalem lemah lembut dan perhatian. “Tidak ada apa-apa kok bu, saya cuma kecapekan saja”. Jawabku dengan sopan dan sambil tersenyum. “Ibu tahu kok nak, kalau kamu sedang bohong sama ibu, tapi ibu gak akan maksa kamu untuk menjelaskannya. Ya sudah sekarang sudah maghrib waktunya kita sholat dan berserah diri kepada yang maha kuasa”. Tutur ibu dengan lemah lembut dan penuh perhatian. “Inggih bu, mangga sareng-sareng nindakaken sholat maghrib berjamaah”. Jawabku dengan bahasa jawa yang sopan dan andhap asor. Itu tadi adalah ibuku bernama Lastri, wanita hebat yang masih aku punya saat ini. Setelah tiga tahun bapak meninggalkan kami untuk selamanya. Aku menyebut ibu sebagai pahlawan keluarga karena ibu adalah tulang punggung keluarga saat ini. Tetapi sepulang sekolah aku juga bantuin ibu bekerja. Aku adalah anak satu-satunya dari ibu dan almarhum bapak. Kami tinggal di gubuk peninggalan bapak dulu yang alhamdulillah masih kokoh dan kuat. Dari kisah kenangan cinta ini, kini aku semakin yakin bahwa memang dirinya dan diriku bukanlah sepasang yang ditakdirkan oleh Tuhan untuk bersama. Mungkin aku hanya sebagai tempat singgah dirinya dalam perjalanan menemukan cinta sejatinya. Saat ini, aku berniat untuk mengubur dalam-dalam kenanganku bersamanya. Kini aku akan mencoba untuk membuka hatiku untuk mendapatkan benih-benih cinta yang lain yang akan membawaku pada kebahagian yang abadi. Kini aku sadar aku harus bisa melupakan seseorang yang saat ini mungkin tak lagi mengingatku. Aku akan melupakannya tak semuanya akan kulupakan, kasih sayang yang pernah kudapat darinya akan aku simpan dilubuk hatiku yang paling dalam. Dan aku tidak akan pernah melupakan orang yang pernah memberi kasih sayang itu. Begitu indah kenangan manis yang pernah kulalui bersamanya hingga waktu yang memisahkan kita. Dan aku juga sadar kalau aku terlahir dari keluarga yang kurang mampu, beda dengan teman-teman cowok lain yang hidupnya serba berkecukupan. Apalah dayaku, yang tak punya apa-apa, tetapi aku masih punya hati yang sangat tulus mencintaimu.
DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
Cerpen nya menarik, salam literasi