Edy Hermawan

Suka membaca dan kadang menulis...

Selengkapnya
Navigasi Web

AKU SIAP DIMADU

Bagaimana bila suamimu hendak menikahi selingkuhannya? Minta dicerai, mungkin saja. Tapi bagaimana bila anak-anakmu sangat membutuhkan kebersamaanmu dengan suamimu? Sebagai seorang ibu, apakah kamu mau mengorbankan dirimu demi anak-anakmu? Begitu keadaan dan pertanyaan-pertanyaan yang kuhadapi saat ini, suamiku hendak menikahi selingkuhannya.

Tiga bulan setelah kejadian di meja makan itu, dia pamit pergi, katanya untuk menenangkan diri. Sebenarnya, aku tidak mengerti jalan pikirannya, sebab aku baru dua bulan melahirkan anak kami yang kedua. Tapi kubiarkan saja dia pergi.

“Mungkin, aku dan dua anak kita ini memang tak cukup untuk menenangkanmu,” kataku setelah dia mencium bayi kami, lalu dia benar-benar beranjak pergi tanpa sepatah kata pun.

Sejak itu dia tak pernah menghubungiku, begitu juga denganku. Aku tak ingin mengusik ketenangannya. Aku hanya menyempatkan diri berdoa untuknya, semoga dia mendapatkan ketenangan yang diharapkannya.

Kemarin, dia datang. Genap tiga bulan. Saat itu aku sedang menyusui bayiku sambil menyuapi anakku yang pertama. Lama sekali dia diam setelah selesai menyapaku dan bertanya kabar. Aku pun tak kalah diam karena sibuk dengan dua anakku.

“Aku akan menikahinya,” katanya tiba-tiba tanpa menatap ke arahku.

Mendengar itu, mataku nanar seketika. Ada air menumpuk di sudut kedua mata ini, kemudian kedua pipiku terasa basah dan hangat. Kueratkan pelukanku pada bayi mungil yang sedari tadi mengisap puting susuku. Kutarik anak pertamaku, lalu kupeluk dia erat-erat. Suamiku tetap berdiri menatap langit-langit rumah dan sesekali melihatku, menunggu jawaban. Tapi, aku belum punya jawaban saat itu.

***

Saat dia pamit pergi, waktu cuti kerjaku masih tersisa seminggu. Sejak itu aku berusaha bangun lebih awal dari anak-anakku. Aku mengumpulkan semua pakaian yang sudah dipakai untuk dicuci, termasuk piring, gelas, baskom, dan perlengkapan dapur lainnya. Setelah anak-anakku bangun, baru aku menyusui bayiku sambil menyiapkan perlengkapan sekolah anakku yang pertama sebelum kuantar ke sekolah.

Satu minggu itu aku masih sanggup menyelesaikan semua pekerjaan rumah tangga seorang diri, mulai dari mencuci hingga mengantarkan anak pertamaku ke sekolah. Tapi keadaannya berbeda setelah masa cutiku habis. Aku harus menitipkan anakku kepada tetangga saat berangkat dan pulang sekolah, dan menitipkan bayiku pada nenek yang sambil jualan rujak di depan rumah.

Kedua orang tuaku sendiri sudah lama pisah ranjang, sejak usaha keluarga bangkrut dan dililit utang. Bapakku stres dan harus mendekam di rumah sakit jiwa, sedangkan ibuku harus jadi TKW untuk melunasi utang yang tidak masuk akal itu.

Sejak suamiku pergi, aku tinggal bersama nenek dan kedua anakku. Nenek sendiri sebenarnya juga sibuk dengan dagangan rujaknya. Jadi, tidak mungkin juga nenekku membantuku sepenuhnya mengurus anak-anakku.

Satu minggu yang lalu aku mendapatkan undangan dari sekolah, aku dimohon untuk mengambil laporan akhir perkembangan anakku. Aku minta izin kepada atasanku untuk itu. Syukurlah, aku diizinkan.

“Beberapa minggu ini anak ibu banyak berubah,” kata perempuan yang kutahu wali kelas anakku.

“Maaf, saya belum paham apa yang Anda maksud.”

“Sebelumnya anak ibu selalu riang dan ceria, tapi sekarang sebaliknya. Dia lebih suka menyendiri dan termenung,” jelas perempuan di hadapanku.

Lamat-lamat aku paham maksud pembicaraannya, tapi kubiarkan saja dia melanjutkan.

“Kami sering memergoki anak ibu ketika duduk seorang diri, termenung sambil menatap anak-anak lain yang merajuk manja kepada orang tuanya.”

Aku tak tahan lagi. Aku menunduk, kemudian menatap ke luar jendela untuk menyembunyikan mataku yang mulai berkaca-kaca.

“Kami sangat paham keadaan ibu, tapi pikirkanlah jalan terbaik untuk anak-anak ibu. Kami yakin ibu sangat paham maksud kami.”

Tentu, aku sangat paham. Karena itu aku segera pamit ke luar dan langsung menuju toilet. Kuraih tisu di tasku, lalu kuseka dua pipi dan mataku setelah dari tadi kubiarkan basah begitu saja.

***

“Ada apa kau mengajakku bertemu?” tanya perempuan itu sembari melemparkan pandang ke arah kendaraan yang lalu lalang di depan sana. Ini kali kedua aku mengajaknya untuk bertemu.

“Coba kau perhatikan dua anak itu,” kataku sambil mengarahkan padang kepada dua anak yang berada di kursi taman. Perempuan itu menoleh dan memerhatikannya, tapi hanya sebentar, setelah itu dia kembali memandangi kendaraan yang tak putus-putus.

“Mereka masih anak-anak, belum mengerti apa-apa, tapi bukan berarti tidak butuh apa-apa,” kataku tanpa memedulikan perempuan di sampingku. Tapi aku yakin dia mendengarkanku.

Perempuan itu menarik napas dalam-dalam, lalu mengeluarkannya dengan pelan.

“Ya,” jawabnya pendek.

“Yang duduk itu baru berumur lima tahun, sedangkan bayi mungil yang tidur di sampingnya baru berumur tiga bulan beberapa hari,” jelasku.

Perempuan itu beringsut, kemudian mengarahkan pandangannya kepada dua anak di sebelah kiri tempat kami duduk.

“Aku tahu itu,” kata perempuan itu, menatapku, lalu segera mengalihkannya lagi.

“Mereka anakku. Hasil buah hatiku dengan calon suamimu.” Perempuan itu refleks monoleh, begitu pun denganku. Kami beradu tatap.

“Calon mantan suamiku, lebih tepatnya,” lanjutku.

Seketika suasana jadi begitu hening. Dia diam, aku pun diam. Tapi aku tak melepas tatapanku padanya. Aku tak mau mendengar jawabannya tanpa tahu ekspresinya.

“Bukankah kau sendiri yang memaksa minta dicerai, kan?” jawabnya tanpa sedikit pun menoleh padaku.

Aku tarik napas sebanyak-banyaknya. Kueratkan peganganku pada kursi. Kuadu gigi-gigiku. Aku tak menyangka perempuan itu tahu soal itu. Pasti suamiku yang mengatakannya. Aku tak mau hirau. Dia mengatakannya begitu tenang maka aku harus lebih tenang.

“Dua anak itu tak mungkin hidup tanpa kasih sayang dan perhatian, terutama dari kedua orang tuanya,” kataku berusaha mengalihkan arah pembicaraannya. Aku tak mau membahas tentang rencana perceraianku dengan calon suaminya, yang juga masih suamiku.

Perempuan itu tetap duduk tegap. Tatapannya lurus ke depan. Aku tak melihat dia terusik. Mungkin dia berpikir, aku perempuan egois yang memilih mengorbankan anak-anak demi dirinya sendiri. Saat itu aku katakan pada suamiku, aku memilih dicerai daripada harus dimadu. Ah, entahlah.

“Kau egois. Adakah seorang ibu yang mengorbankan anaknya hanya demi kebahagiannya sendiri. Mungkin ada, tapi dia tak pantas dipanggil ibu,” kata perempuan itu dengan tatapan lekat padaku.

Dugaanku benar. Dia benar-benar mengatakan itu. Kata-kata itu menusuk-nusukku. Napasku juga bertambah sesak. Dengan apa aku harus menjawabnya. Apa benar aku tak pantas dipanggil ibu hanya karena aku tidak mau dimadu.

Segera kudekati dua anakku. Aku ambil bayiku dan kupegang tangan anakku yang pertama. Aku ingin segera tiba di rumah. Aku sudah paham sekarang, tapi kukatakan ini sebelum pergi.

“Tolong katakan pada suamiku, tak usah undang aku saat dia akan menikahimu. Dan, katakan aku akan mencabut tuntutan ceraiku besok, dua anak ini membutuhkan kebersamaan kami.”

Setiba di rumah, handphone-ku bergetar. Kulihat ada pesan dari perempuan itu, calon istri suamiku dan calon maduku.

“Kau belum tanya, apakah aku mau jadi madumu,” tulis perempuan itu singkat.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Aamiin. Terimakasih.

02 Jan
Balas

Kebetulan dalam cerita ini si ibu sebagai wanita karier, kalau bercerai masih mampu membiayai anak-anak. Yang menarik wanita selingkuhannya menanyakan apa kamu tidak kasihan dengan anak-anak kalau kamu pisah. Tetapi pertanyaan sebaliknya, apakah calon madunya, bisa memberi kasih sayang pada anak-anak dari istri pertamanya?? Itulah dileme "per-madu-an, manis saat masuk mulut, setelah itu hilang manisnya". Salam inovasi

02 Jan
Balas

Terimakasih atas komentarnya.

02 Jan

Terimakasih atas komentarnya.

02 Jan

Istri manapun tidak akan pernah mau dimadu dan diduakan atau digandakan cintanya dengan wanita manapun....dan hebatnya ibu ini atau wanita hebat lainnya ...mereka mau mengorbankan kebahagiaannya demi kebahagiaan anak2nya. Kuncinya sabar dan ikhlas maka Allah akan menggantinya dengan kebahagiaan dari arah yang tidak disangka-sangka Sehat, sukses dan bahagia selalu

02 Jan
Balas

Terima kasih. Aamiin.

02 Jan



search

New Post