DRAKULA
Aku yakin, kamu tidak akan percaya kalau drakula sudah berevolusi. Hari ini drakula bukan hanya suka mengisap darah, tapi juga suka pada perempuan cantik dan seksi. Dia juga tidak sungkan menyetubuhi perempuan dan memakan organ-organnya.
Sebelum aku berangkat ke kota, ibu dan bapakku sudah mewanti-wanti untuk hati-hati kalau aku bekerja di toko. Kata ibu, di perkotaan sekarang memang sudah banyak toko-toko berdiri dan membutuhkan pekerja perempuan sepertiku, tapi nyaris semua pemiliknya adalah drakula.
Saat ibu menyampaikan itu, aku sama sekali tidak percaya. Tidak mungkin di negeriku ini ada drakula karena yang aku tahu hanya ada kuntilanak, pocong, atau suster ngesot. Tidak ada yang namanya drakula.
“Drakula itu bukan hanya pendatang, tapi juga ada drakula asli pribumi,” kata ibu meyakinkanku.
Cerita macam itu juga aku dengar dari beberapa tetangga dan teman. Mereka bercerita seakan sudah pernah bertemu dengan drakula itu sendiri. Bahkan, seorang guru mengatakan bahwa drakula hari ini bukan hanya jenis makanannya yang bertambah, melainkan juga cara drakula memakan mangsanya.
Cerita-cerita itu memaksaku untuk percaya. Tapi, aku terus menepisnya mengingat kenyataan yang sedang aku hadapi ini. Aku tidak mungkin membiarkan ibu tetap bekerja, sedangkan bapakku sedang berbaring sakit sudah sejak setahun lalu. Apalagi, aku sekarang sudah lulus sekolah menengah atas. Aku harus bekerja.
Aku memang harus menunda niatku dulu untuk melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi. Aku percaya, kalau keadaan ini akan segera berubah jadi lebih baik. Bapak akan sembuh dan aku akan kuliah. Biarlah sekarang aku menjadi tumpuan ekonomi mereka.
Aku masih ingat saat aku pamit berangkat di pagi yang dingin itu. Wajah bersalah dan mata berkaca-kaca itu mengiringi kepergianku. Bapak dan ibu banyak sekali mengucapkan kata maaf kepadaku karena membiarkan anak gadis satu-satunya berjuang sendirian.
Aku tidak pernah ragu. Memang jalan ini yang harus aku tempuh. Kebaikan apalagi yang bisa aku baktikan kepada mereka di tengah keadaan ini. Tidak ada. Aku harus berangkat ke kota. Mencari pekerjaan untuk memenuhi kebutuhan bapak dan ibuku di rumah meski ini masih jauh dari sepadan.
Akhirnya, aku diterima bekerja di sebuah toko yang cukup besar. Melayani kulakan dan eceran. Sebenarnya, tempat kerjaku ini tidak tepat disebut toko. Terlalu besar dan lengkap. Tapi, sudahlah, aku sebut toko saja.
Gajinya memang tidak besar. Setelah aku kalkulasi dengan standar hidup sangat hemat dan minimal, aku bisa menyisakan sedikit untuk bapak dan ibuku di rumah. Aku pilih kos dan menu makan paling murah. Aku juga membatasi diri untuk bermain dengan teman-temanku.
“Biarlah, sambil lalu mencari kerja dengan gaji lebih besar, aku terima saja dulu pekerjaan ini,” kataku pada seorang teman baru di kos kumuh itu.
“Orang seperti kita dipekerjakan bukan untuk disejahterakan, tapi hanya agar kita kuat untuk bekerja lagi. Kalau ada lebihnya, itu bonus,” kata temanku. Dia mengerti apa yang aku hitung sejak tadi.
Aku tidak sepenuhnya mengerti dengan apa yang dikatakan oleh temanku. Hanya saja aku pernah mendengar kalimat yang hampir mirip dengan itu saat guru ekonomiku menjelaskan tentang kehidupan buruh.
“Kalau perempuan seperti kita, akan dihargai karena tubuhnya. Tapi kalau laki-laki, akan dihargai karena tenaganya,” tambahnya.
Aku tambah tidak mengerti apa yang dikatakannya. Kalimat-kalimatnya terlalu sulit untuk dipahami seseorang yang hanya tamatan SMA sepertiku. Tapi dia orang baik, selalu berbagi denganku.
Hari pertama bekerja, aku dipanggil oleh manajer. Aku sangat grogi karena hanya aku seorang diri yang dipanggil ke ruangannya. Tapi aku tak mungkin menolak karena dia atasanku.
Manajer itu sedang duduk di balik meja kebesarannya. Penampilannya begitu elegan. Bersih dan rambut tersisir rapi.
Aku dipersilakan masuk, tapi tidak disuruh duduk meski ada kursi kosong tepat di seberang mejanya di hadapannya. Aku diminta berdiri sekitar dua meter dari mejanya. Aku menuruti saja. Tak ada pikiran untuk menolak karena aku memang merasa tidak ada alasan untuk menolaknya.
“Berdirilah di situ,” pintanya dengan tatap yang tak bisa kumaknai.
Dia berdiri, kemudian berjalan ke samping mejanya. Dia masih menatapku. Kali ini sangat jelas bagaimana dia menatap. Aku semakin grogi. Tidak tahu harus bagaimana.
Mata itu tampak hendak mengulitiku, dari ujung kaki, kemudian naik terus hingga ke atas, ke wajah dan kepalaku. Kemudian, manajer itu mendekatiku dan mengelilingi tubuhku yang berdiri kaku. Aku tidak tahu isi kepalanya. Yang jelas dia menatapku begitu lekat.
“Tadi aku ditelepon pemilik toko ini. Aku diminta memanggilmu. Kamu karyawan baru, kan?” tanyanya tiba-tiba. Aku mengangguk mengiyakan. Tapi pikiranku berputar ulang saat manajer di hadapanku menyebut pemilik toko. Aku ingat dengan cerita tetangga dan teman-teman tentang drakula. Segera aku tepis pikiran itu. Aku tidak mau mempercayainya.
“Kalau kamu memang mau bekerja di sini, perbaiki penampilanmu. Rawat kulit dan tubuhmu lebih baik lagi. Ini berkaitan dengan tugasku di sini sebagai manajer,” tambahnya.
Meski aku tidak mengerti maksud kalimat-kalimat itu, aku mengiyakan saja. Yang ada di pikiranku hanya satu, aku harus tetap mendapatkan pekerjaan ini agar aku dapat membantu memenuhi kebutuhan keluargaku, terutama biaya pengobatan bapakku.
Kemudian, seorang perempuan masuk ke ruangan itu. Aku sedikit lega. Manajer itu memperkenalkan perempuan itu kepadaku.
“Tolong urus karyawan ini,” katanya.
Aku pun keluar dari ruangan manajer bersama perempuan itu. Dia membawaku ke sebuah ruangan. Dia mengajakku mengobrol tentang betapa pentingnya perempuan untuk tampil maksimal, kulit putih bersih, dan tubuh seksi.
Aku mendengarkan saja apa yang disampaikannya. Tidak ada sesuatu yang aku pertanyakan. Semua yang dikatakannya aku pikir benar. Perempuan memang harus menjaga penampilan, baik pakaian, kulit, maupun tubuh. Tapi ada ketukan kegelisahan ketika kalimat teman kosku tadi pagi sekonyong-konyong muncul di pikiranku, bahwa perempuan dihargai karena tubuhnya.
Perempuan itu mengeluarkan sebuah kotak dari lemari di samping kanan kursinya. Kemudian, dia meletakkannya di hadapanku. Aku menahan diri untuk bertanya karena aku yakin dia akan menjelaskan sendiri tentang kotak itu.
“Ini untukmu. Gratis. Silakan dibuka,” katanya.
Aku tidak percaya. Kotak itu berisi berbagai jenis alat kosmetik dan perawatan tubuh. Aku tidak tahu nama satu per satunya. Aku hanya tahu ada bedak dan lulur seperti yang biasa aku gunakan di rumah, tapi yang ini harganya pasti lebih mahal.
Aku semakin tidak percaya kalau ada banyak pemilik toko yang sebenarnya drakula. Tidak mungkin drakula memiliki kebaikan seperti ini; memperhatikan karyawannya. Setidaknya pemilik toko tempatku bekerja ini.
“Aku akan ajari kamu menggunakan semua itu. Intinya, kamu harus tampil sempurna,” kata perempuan itu. Aku hanya bisa mengangguk senang. Di kepalaku sudah meloncat-loncat ribuan kalimat untuk menentang cerita tetangga dan teman-temanku tentang drakula.
“Di situ ada banyak peralatan kecantikan. Bahkan, untuk menjaga keindahan dadamu sebagai perempuan,” tambahnya.
Aku tak begitu hirau dengan apa yang dikatakannya. Aku sibuk memeriksa satu per satu isi kotak itu. Aku berpikir bahwa aku akan menjadi perempuan sejati dengan semua yang ada di kotak itu.
“Ada satu lagi yang akan mengubahmu menjadi lebih perempuan,” kata perempuan itu.
“Apa itu?” tanyaku seketika.
Perempuan itu menunjukkan sebuah botol kecil dan alat suntik lengkap dengan jarum suntiknya.
“Dengan ini, kamu akan lebih cepat mengubah penampilanmu. Kamu tidak perlu khawatir, ini agar kamu tampil sebagaimana yang diharapkan toko ini,” katanya.
Entahlah. Pikiranku lari menuju ibuku di rumah dan bapakku yang membutuhkan biaya pengobatan. Aku harus bekerja dan ini syarat agar aku dipertahankan dalam pekerjaan ini. Bahkan, kata teman kosku, kalaupun aku mau pindah tempat kerja maka aku akan tetap diminta menjaga penampilan seperti ini. Artinya, aku harus melakukan itu.
Aku putuskan untuk menerima tawaran perempuan itu. Benar saja. Aku tidak butuh waktu lama untuk melihat perubahan pada kulitku. Sekarang kulit yang agak kecokelatan berubah menjadi putih. Apalagi ditambah perawatan yang diberikan kepadaku, kulitku sangat berbeda dari sebelumnya. Tidak lagi kusam dan kering.
Ketika pulang kampung, aku lebih percaya diri. Selama perjalanan menuju rumah aku biarkan orang-orang memperhatikan. Aku sadar bahwa aku hari ini sudah berbeda. Bahkan ibuku bertanya-tanya, bagaimana aku sekarang ini bisa menjadi perempuan seperti iklan sabun.
“Bu, perempuan itu kan memang harus pandai berpenampilan,” jawabku sembari tersenyum. Ibu sama sekali tidak menyahut. Dia hanya mengangkat alisnya. Tapi, entahlah apa maknanya.
Satu tahun berlalu aku bekerja di toko itu. Aku sangat menjaga penampilan dan tubuhku meski semua alat kencantikan yang kudapat secara gratis hanya di awal. Setelah itu aku harus mengeluarkan sebagian uang gajiku. Tidak masalah, ini demi kedua orang tuaku, pikirku.
Siang itu cuaca di luar begitu panas. Aku bangun di ruangan yang tidak aku kenal lagi. Ada bau yang sangat khas menyerbu hidungku. Aku mendengar suara perempuan yang tidak asing lagi bagiku. Ibuku.
“Nak, ini ibu. Kamu sudah sadar?”
Benar. Perempuan itu ibuku. Dia duduk di sampingku. Aku melihat jelas mata itu. Bukan hanya berkaca-kaca menahan air mata, tapi sudah sembab seperti menangis berhari-hari.
“Sekarang kita di rumah sakit, Nak. Kamu pingsan saat bekerja,” kata ibu sambil sesenggukan.
Aku tak sanggup menggerakkan bibirku. Aku hanya melihat atap ruangan dan ibu yang sedang menangis di sampingku. Ada botol infus bergantung dan selang yang tertancap di lenganku.
Akhir-akhir ini aku memang sering merasakan lelah tak bertenaga. Sebentar saja beraktivitas sudah ingin segera berhenti. Yang aku ingat, hari itu memang sangat banyak pelanggan yang harus aku layani. Meski sangat lelah, aku paksa tetap melayani karena bila tidak gajiku akan dipotong. Entah apa yang terjadi kemudian. Aku bangun sudah ada di ruangan ini.
Pagi itu, sayup-sayup aku mendengar obrolan ibu dengan dokter. Air mataku tak bisa tertahan lagi. Ginjalku yang kanan harus segera diangkat, sedangkan ginjal yang kiri masih dapat dipertahankan meski juga sudah ada tanda-tanda kerusakan. Bahkan, ibu sudah siap mendonorkan ginjalnya.
Aku sekarang mengerti bahwa aku sedang bekerja kepada drakula yang sudah berevolusi itu. Aku juga sudah percaya dengan apa yang dikatakan para tetangga dan temanku. Satu bulan yang lalu aku bangun tanpa sehelai kain di samping pemilik toko itu. Dan, hari ini ginjalku harus diangkat karena sebotol cairan kecil yang sering disuntikkan ke tubuhku.
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar