Katakanlah, apa kekuranganku?
KATAKANLAH, APA KEKURANGANKU?
Laki-laki itu masih duduk di hadapanku. Suamiku. Kami baru selesai makan malam. Nasi, lauk-pauk, piring-piring, dan beberapa gelas belum sempat kupindah. Semua masih tertata di atas meja makan, di hadapan kami. Aku pikir ini saat yang tepat untuk mengatakan sesuatu yang selama ini menggangguku. Apalagi anak kami sudah tidur.
“Kumohon, ceraikan aku!” kataku memulai setelah aku duduk dan selesai menuangkan air ke dalam gelasnya.
“Tidak. Aku masih menyayangimu,” katanya tenang, sambil meletakkan gelas di sisi kanan piring makannya.
“Bagaimana kau masih bisa berkata menyayangiku, padahal kau sudah berselingkuh untuk yang kedua kalinya. Aku sudah tidak memiliki kepercayaan lagi padamu. Kau tentu tahu betapa tersiksanya hidup bersama tanpa ada kepercayaan.”
“Tidak. Aku tetap tidak bisa meninggalkanmu,” jawabnya, tetap dengan nada tenang.
“Kalau begitu, tinggalkan perempuan itu,” pintaku.
“Itu tidak mungkin juga.”
“Lalu?”
Dia tetap diam, tak ada tanda akan ada jawaban.
“Bagaimana bisa kamu mencintai dua perempuan sekaligus. Aku tidak mau dimadu,” lanjutku menahan kesal.
“Kau tidak akan tahu karena kau tidak berada pada posisiku.”
Sungguh aku sangat kesal dengan jawaban-jawabannya. Aku ingin marah dan menjerit sekeras-kerasnya, tapi semua itu kutahan karena aku tidak mau keluarga dan tetanggaku tahu persoalan ini. Aku hanya ingin ini menjadi masalah kami berdua, sebab kami berdua yang telah memutuskan untuk hidup bersama.
Aku juga akan sangat malu kalau persoalan ini diketahui banyak orang. Keluarga dan tentanggaku hanya mengetahui bahwa kami adalah pasangan yang ideal. Suamiku cukup tampan dan menarik. Dia memiliki karier yang bagus. Bahkan, dikenal alim dan pendiam. Perilakunya juga sopan dan santun. Menurut primbon, kami memang cocok bersanding. Dia anak pertama dan aku anak kedua. Katanya, kalau anak pertama dan kedua bisa bersanding maka secara ekonomi akan aman dan mapan.
Aku sendiri pun dapat dikata cukup cantik dan menarik. Aku punya tubuh yang cukup seksi dan modis, di atas rata-rata. Aku sangat perhatian melayani suamiku, baik di meja makan atau di tempat tidur. Setiap hari aku selalu memerhatikan tubuh dan penampilanku. Bahkan, sekalipun kini aku sudah punya dua anak, aku tetap tampil muda. Maka, memang tidak heran ketika kami dipandang sebagai pasangan ideal.
Aku memilihnya sudah dengan pertimbangan yang sangat matang, padahal waktu dia berusaha mendapatkanku, aku sudah punya pacar yang tidak kalah tampan dan mapan dari suamiku sekarang. Tapi, aku pun rela meninggalkan pacarku demi dia. Saat itu aku sangat yakin bahwa dia akan mampu membahagiakanku. Itu pun juga karena dia meyakinkanku bahwa kalau aku mau hidup bersamanya maka kami akan sangat bahagia.
Memang benar kami menikah tidak sesuai dengan rencana. Saat itu kami berencana akan menikah satu tahun setelah pertunangan, tetapi beberapa bulan kemudian bapak suamiku meninggal dunia.
Menurut kepercayaan, ketika salah satu keluarga ada yang meninggal, apalagi orang tua dan anaknya sedang bertunangan maka harus dinikahkan sebelum selesai tujuh hari berkabung atau harus menunggu hingga selesai peringatan seribu hari. Namun, kalau harus menunggu hingga seribu hari kematian bapak suamiku sangat tidak mungkin, karena kami harus menunggu selama tiga tahun. Itu terlalu lama bagi kami yang sudah sama-sama menyelesaikan kuliah.
Kalau itu tidak dipatuhi maka akan bipala dalam kehidupan keluarga kami. Terpaksa kami sekeluarga sepakat untuk menikah lebih cepat. Kami menikah satu hari setelah acara penguburan bapak suamiku. Walaupun terpaksa, kami tetap bahagia karena bagaimanapun menikah menjadi bagian dari tujuan hubungan kami.
Kami nikmati masa-masa awal menikah di rumah. Kami memang tidak berniat untuk berbulan madu ke mana-mana. Bagi kami, bersama di rumah sudah cukup, apalagi bapak mertua baru saja meninggal. Jadi, kurang etis kalau kami terlalu bersenang-senang.
Kami juga meng-upload kebahagian itu di media sosial. Bukan untuk pamer, tapi agar semua sahabat tahu bahwa aku sudah menikah dengan laki-laki yang kucintai dan mencintaiku. Dan, yang terpenting atas pilihan sadar kami sendiri.
“Wajah kalian berdua sangat mirip,” komentar seorang sahabat pada foto kami yang ku-upload di beranda Facebook-ku.
“Kata orang, mirip itu jodoh. Amin,” balasku. Saat itu aku meng-upload foto kami berdua dengan wajah sangat dekat, clouse up. Jadi, tampak sekali kemiripan wajah kami. Aku masih mengenakan mukenah, sedangkan suamiku dengan pakaian muslimnya. Foto itu diambil setelah kami selesai shalat berjemaah bersama di rumah. Aku yakin mereka yang melihat itu akan iri pada kebahagiaan dan keromantisan kami.
Belum genap satu tahun menikah, aku sudah hamil. Kami sangat bahagia, termasuk semua keluargaku karena ini cucu pertama mereka, baik keluarga dari pihak suamiku maupun dari keluargaku sendiri. Pada tahun kedua aku melahirkan anak pertama. Kami berasa mendapatkan kebahagian yang berlipat-lipat. Anak kami lahir dengan selamat.
Namun, kelahiran anak pertama kami menandai kelahiran petaka antara aku dan suamiku. Beberapa bulan setelah anak pertamaku lahir, aku merasa ada yang tidak biasa dengan suamiku. Ternyata benar, dia menyimpan perempuan lain selain diriku. Aku tahu saat tak sengaja menemukan pesan mesra di handphone-nya.
“Kenapa kau tega melakukan ini padaku,” kataku sambil meletakkan handphone-nya di atas meja. Dia baru dari kamar mandi dan masih dengan handuknya. Tanpa basa-basi dia segera mengambil handphone itu.
“Ini bukan siapa-siapa,” jawabnya tanpa menatap mataku.
“Anak pertama kita sudah lahir, kuharap kau tidak menodai keluarga kita ini dengan perselingkuhan.”
“Maaf, aku khilaf,” katanya sambil melihat ke pintu kamar bayi mungil kami yang terdengar menangis.
“Kali ini aku maafkan. Kau tak perlu lakukan itu. Katakanlah, apa kekuranganku?” kataku sambil meninggalkannya menuju kamar bayi kami.
Beberapa hari sejak kejadian itu komunikasi kami begitu kaku. Kami sangat jarang bicara, kecuali itu memang diperlukan. Tapi, tampaknya dia berbeda. Biasanya dia pulang kerja dan baru tiba di rumah setelah magrib, tetapi sejak itu dia tiba lebih awal. Kadang azan Asar dia sudah di rumah dan memang begitu seharusnya karena sebenarnya waktu kerjanya hanya sampai pukul 13:00 WIB.
Empat tahun kemudian aku hamil anak kedua. Aku sempat berniat untuk menggugurkannya. Jadi, anak kedua ini sempat menjadi anak yang tidak kuharapkan.
Ketika itu suamiku sudah mulai sering pulang malam. Awalnya, aku menganggapnya biasa-biasa saja. Saat ditanya, jawabannya klise.
“Aku harus lembur. Ada banyak pekerjaan di kantor.”
Aku pun tak memperpanjang persoalan itu. Tapi, dia semakin sering pulang malam, bahkan tidak pulang. Maka, aku mulai curiga. Apalagi ketika berada di rumah, dia begitu sibuk dengan handphone-nya.
Untuk kesekian kalinya aku mendapatkan kesempatan lagi mengacak-acak handphone-nya saat dia sedang mandi. Sedih rasanya. Sakit. Tapi, aku tahan untuk tetap tenang. Aku menemukan chatting mesra antara suamiku dengan perempuan lain.
Saat itu azan Isya sudah selesai berkumandang. Aku kembali menyiapkan makan malam. Aku tata serapi mungkin. Kemudian kuletakkan handphone suamiku di tempatnya biasa duduk untuk makan malam. Namun, sebelum itu aku balas chat perempuan itu karena beberapa kali dia menelepon, mungkin karena terlalu lama tidak dibalas. “Maaf. Orangnya sedang mandi,” balasku. Aku biarkan WatsApp-nya tetap terbuka dengan maksud suamiku paham bahwa ada seseorang yang membacanya.
Dia datang untuk makan malam. Sungguh dia tampil begitu keren dengan baju koko dan parfum yang khas. Dia terkejut ketika melihat handphone-nya, tampaknya dia telah membaca chat yang tidak pernah ditulisnya sendiri. Ya, aku tahu. Dia sadar bahwa ada seseorang yang telah mengacak-acak handphone-nya, dan itu aku. Tapi dia sungguh hebat. Dia tetap tenang, seolah tidak terjadi apa-apa hingga percakapan di meja makan itu terjadi.
“Ini sudah yang kedua kalinya. Apa alasanmu hingga mengulanginya lagi? Bukankah kau tahu, kehamilanku sudah dua bulan.”
Dia hanya diam. Menunduk. Seperti biasa, tetap tenang. Aku sendiri semakin kesal dengan sikapnya, dingin dan tak bergeming. Aku tahu dia seperti itu karena dia sudah memikirkan dan siap dengan segala risikonya. Tentu, dia juga melakukan perselingkuhan ini dengan sadar. Sungguh menyesakkan dada ini.
“Aku akan menggugurkannya!” ancamku.
“Jangan!”
“Sekali lagi, kumohon ceraikan aku!”
“Tidak. Aku masih menyayangimu.”
“Kalau begitu, tinggalkan perempuan itu!”
“Itu juga tidak mungkin.”
“Kau tak perlu melakukan itu. Katakanlah, apa kekuranganku?”
Entahlah, apa sebenarnya yang ada di pikiran dan hatinya. Aku sendiri hanya mampu diam dan menangis. Sekarang sudah jelas keluarga kami tak lagi memiliki kepercayaan, kepedulian, dan harmoni lagi.
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
Sadiissss
Raja tega.Semoga hanya cerita
Berlapang dada
Berlapang dada
Ibu gk pengen?? Wkwkwk