Edy Hermawan

Suka membaca dan kadang menulis...

Selengkapnya
Navigasi Web

LELAKI MALANG

LELAKI MALANG

Matahari belum sempurna bersinar. Ia baru saja beranjak menatap dunia. Tanah, rerumputan, pepohonan masih terlihat samar-samar. Dedaunan masih basah oleh embun semalam. Sementara ayam-ayamku menggerutu di pekarangan rumah. Mungkin karena aku belum juga memberinya makan pagi. Mereka memang selalu bangun lebih awal dariku. Saat aku bangun, mereka sudah pasti berisik dan tidak mau berhenti sebelum aku bangun dan memberinya makan. Mereka memang sangat sulit aku atur. Saran dan nasihatku tidak pernah diindahkan. Misalnya aku sering katakan, “Kalian jangan bangun terlalu pagi, kalau kalian terpaksa bagun, jangan berisik, karena aku tidak hanya ngurus kalian.” Nasihat itu tak pernah diindahkan. Mereka seperti tak mau mengerti kondisiku.

Pagi ini masih sangat pagi, tapi ibu tetap selalu sebagai orang pertama yang masuk ke dapur. Aku baru bangun, belum juga cuci muka, apalagi shalat Subuh, ibuku sudah berada di dapur. Terdengar jelas suara cipratan air dan piring-piring saling beradu. Suara itu yang seringkali membangunkanku. Kebetulan, kamarku adalah satu-satunya kamar yang paling dekat dengan dapur. Sementara suara ayam-ayamku hanya sebagai penyambut, seperti melecehkanku karena aku tidak bangun lebih awal dari mereka. Memang benar, aku bangun bukan karena suara-suara yang berasal dari dapur, tapi pertama karena aku harus shalat Subuh dan kedua aku harus segera mengerjakan pekerjaan rumahku.

Seperti biasa, perkerjaan rutinku setiap pagi adalah menyapu seluruh bagian rumahku. Kamar ibu, kamarku, ruang tamu, halaman, dan dapur. Semua itu adalah pekerjaan wajibku setiap pagi. Seandainya aku tidak mengerjakan itu semua, aku jadi tidak kerasan di rumah, kaku, tidak nyaman, dan salah tingkah. Seandainya memungkinkan, aku segera pergi sejauh mungkin. Ibu memang tidak pernah menegurku. Bahkan kalau aku tidak mengerjakan pekerjaan itu, ibu sendiri yang langsung mengerjakannya. Kalau sudah begitu, rasa tidak kerasanku semakin bertambah. Entah kenapa, tapi begitulah aku saat tidak mengerjakan apa yang seharusnya aku kerjakan.

Aku sedang menyapu di teras rumah, hampir selesai. Sedangkan ibu sibuk di dapur mengurusi kayu yang sangat sulit terbakar. Mungkin karena kurang kering. Padahal bapakku sudah membelikannya kompor gas, biar ibu lebih mudah dan cepat mengurus masalah dapur. Tapi ya begitu, ibu kurang berkenan kalau terlalu sering memakai kompor gas, bukan karena takut meledak atau tidak bisa menggunakannya, melainkan pengiritan katanya. Apalagi kayu bakar masih mudah untuk didapatkan.

Bapak, aku, dan adikku membiarkan saja ibu menentukan dan mengerjakan pilihannya sendiri. Yang penting ibu bahagia dan kerasan di dapur. Kalau yang terjadi malah sebaliknya, masalah buat kita di rumah. Ketidakbahagian dan ketidakkerasan itu akan menular kepada seisi rumah. Tapi ini tidak ada sangkut pautnya dengan diskriminasi gender, ini hanya soal pembagian kerja.

“Na! Na! Na!”

Itu panggilan untuk ibuku. Aku tertegun, dan langsung mencari sumber suara itu. Dari nadanya, seperti ada kepentingan atau masalah yang begitu serius. Tapi sumber suara itu masih jauh, sekitar 50 meter dari dapurku. Tepat di samping dapur itu aku sedang menyapu. Suara itu pun ikut merecoki suara ayam-ayamku yang belum juga aku beri makan pagi.

Sumber suara itu adalah perempuan. Aku pikir perempuan itu tidak akan mendatangi ibuku di dapur hingga dia harus memanggil ibu dari jauh. Yang terjadi sebaliknya, perempuan itu langsung masuk ke dapur.

“Ini ada masalah penting dan gawat”, pikirku.

Belum juga ibu menjawab panggilannya, perempuan itu sudah mengajukan pertanyaan dan pernyataan panjang lebar, “Kamu tahu ya, kapan Arwi mau bayar hutangnnya ya? Ini sudah satu bulan setengah. Kalau sampai dua bulan tidak bayar, aku akan tagih ke rumahnya. Aku sudah mudahkan dia ngutang, harusnya dia juga mudahkan saat mau bayar.”

Mendangar suara itu, suasana jadi hening sejenak. Aku terdiam. Ibu juga. Tampaknya ibu bingung mau merespons bagaimana. Kalau aku, memang selalu cuek dengan obrolan tetangga yang datang ke rumah. Soalnya, aku sering mendapati obrolan mereka terlalu heboh dan berlebihan. Paling-paling aku hanya sebatas mendengarkan atau merespons dengan senyum. Sambil memotong-motong daun kelor, keheningan itu pun diakhiri oleh ibu.

“Lain kali kalau kamu masih tidak bisa tenang, enggak usah memberi utang orang. Katakan saja tidak ada. Kesepakatannya kan sudah jelas, dua bulan. Sekarang kan baru satu bulan setengah. Aku tidak tahu kapan pastinya dia mau bayar. Coba kamu telepon saja Arwi. Aku tidak tahu soal itu.”

Kalimat-kalimat sejenis itu pun terus terucap dengan nada yang sangat berat. Aku bisa merasakannnya. Aku tahu betul kapan suara itu terasa ringan dan berat. Namun, perempuan itu tidak respek terhadap kata-kata ibu. Dia tetap saja bicara sesuka hatinya.

“Aku memberikan pinjaman tanpa bunga karena aku kasihan kepadanya. Dia masih kerabat dekatku, tapi tetap harus bayar walaupun kerabat dekat. Itu bukan hasil kerjaku semata, itu hasil suamiku juga.”

Perempuan itu bertutur dangan sangat fasih dan cepat. Hampir tidak ada jeda. Kalimat demi kalimat keluar penuh dengan emosi. Sementara ibu tidak begitu menggubris dengan serius. Ibu sibuk dengan daun kelornya yang harus segera direbus.

“Ya sudah, kamu yang sabar. Lagi pula kan belum waktunya mengembalikan.”

Hanya jawaban seperti itu yang ibu ulangi berkali-kali. Setidaknya tidak begitu tampak kalau ibu kurang suka kepada perempuan itu. Ibu tentu bingung. Perempuan itu kerabat dekat ibu, sedangkan Arwi, lelaki malang itu, juga masih ada hubungan kerabat dengan ibu. Keluargaku memang tidak tahu-menahu tentang transaksi utang piutang itu, apalagi sampai bertanggung jawab. Tapi, perempuan itu selalu saja bertanya perihal terkait utang piutang itu kepada keluargaku, terutama ibuku.

***

Kurang lebih tiga bulan yang lalu, Arwi memang datang ke rumahku. Dia menceritakan kondisinya, bahwa sekarang dia didesak untuk segera membayar utangnnya oleh kakek istri saudaranya. Sementara hari ini dia belum punya uang. Dia pun belum bisa bekerja sejak kecelakaan tiga bulan yang lalu. Uang pinjaman dari kakek istri saudaranya itu digunakan untuk pengobatannya. Keluargaku pun hanya sanggup mendengarkan cerita dukanya dan berdoa atas keberuntungannya. Dia memang tidak meminta bantuan kepada keluargaku, mungkin dia sudah tahu bagaimana kondisi keluargaku sekarang.

Arwi lelaki pekerja keras. Begitu juga istrinya, Sani. Mereka dikaruniai dua anak. Satu laki-laki, sekarang sudah SMA dan yang satunya perempuan, sekarang masih duduk di sekolah dasar. Tiga tahun yang lalu Arwi, istrinya, dan anak perempuannya berangkat ke Kalimantan untuk bekerja di pabrik batu bata. Di sana, dia dan istrinya bekerja sebagai tukang atau kuli. Tugasnya membuat batu bata mulai dari awal sampai akhir. Dia berangkat ke Kalimantan bukan suatu pilihan, tapi karena dipaksa kondisi. Utang dan kebutuhan yang terus membengkak beriringan, bahkan tanah sangkol satu-satunya sudah lebih setahun digadaikan, sementara anak lelakinya juga membutuhkan biaya pendidikan. Kondisi itulah yang memaksa Arwi dan istrinya mengadu nasib ke Kalimantan.

Dua tahun bekerja di Kalimantan Arwi dapat dikatakan sukses. Dia dapat melunasi utang-utangnya, menebus tanahnya yang digadaikan, membelikan motor anak laki-lakinya, dan membangun kamar mandi lengkap dengan musalanya. Keberhasilan itu tentu telah dibayar mahal. Dia harus meninggalkan anak laki-lakinya di kampung halaman dan anak perempuannya yang tersendat-sendat pendidikannya. Namun, mereka tetap harus berangkat lagi ke Kalimantan karena di kampung halamannya mereka belum mendapatkan pekerjaan yang layak. Utang juga mulai tumbuh lagi. Lima bulan kemudian dari kedatangannya, Arwi bersama istri dan anak perempuannya yang masih berusia 7 tahun berangkat lagi ke Kalimantan untuk mengadu nasib.

Di sana, pada keberangkatannya yang kedua, Arwi tidak hanya bekerja di pabrik batu bata, tapi juga bekerja sebagai kuli bangunan dan penggali sumur. Itu karena permintaan batu bata mulai berkurang, ditambah lagi cuaca yang kurang mendukung. Saat bekerja sebagai tukang gali sumur itu Arwi mengalami kecelakaan. Dia jatuh ke dasar sumur dengan posisi kepala di bawah. Akibatnya dia menderita sesak nafas, tulang lehernya rusak yang membuatnya tidak normal lagi untuk menoleh kekanan atau kekiri, dan juga sering muntah darah. Saat kecelakaan itu terjadi, mereka baru bekerja selama 4 bulan.

Arwi dirawat di salah satu rumah sakit di Kalimantan selama satu bulan. Di sana dia tidak dapat menggunakan Askes, SPM, Jamkesmas, dan sebagainya. Dia harus membiayai sendiri pengobatannya. Memang benar, manjikannya yang membayar biaya pengobatannya, tapi itu tetap akad utang. Dia tetap harus mengembalikan di kemudian hari. Satu bulan menjalani perawatan di sana, Arwi tetap tidak membaik. Kondisinya tidak banyak berubah. Sementara kebutuhan uang semakin besar. Akhirnya keluarganya memutuskan untuk membawanya pulang. Keluarganya di kampung halamannya pula yang memberikan pinjaman uang sebagai biaya transportasi. Salah satunya meminjam uang dari kakek istri saudaranya yang sekarang didesak untuk segera dibayar.

Arwi bersama istri dan anak perempuannya pulang. Berbeda dengan kepulangannya yang pertama, kepulangan yang kedua itu tidak membawa kesuksesan ekonomi. Bahkan, Arwi memiliki utang di Kalimantan kepada manjikannya dan di kampung halamannya kepada saudara-saudarannya. Belum lagi pendidikan anak perempuannya yang terlunta-lunta. Kesuksesan yang pertama ternyata tidak dapat diulangi lagi. Masa yang akan datang memang tidak pernah dapat diprediksi. Tapi bagi Arwi itu tidak mengartikan kita harus berhenti berusaha dan berencana. Kita tetap harus berusaha karena di situlah nilai dari kesuksesan dan kegagalan.

Tiga bulan yang lalu Arwi datang ke rumah, dia menceritakan kondisinya saat itu bahwa uang yang dipinjami oleh kakek istri saudaranya sudah diminta. Sementara Arwi belum juga bisa bekerja. Saat itu dia datang ke rumahku bersama istrinya. Wajahnya tampak begitu pilu. Musibah akibat kecelakaan belum juga selesai, sudah datang tuntutan baru. Keluargaku pun meminta maaf karena tidak dapat memberikan bantuan. Dia juga sudah bermusyawarah dengan saudaranya yang lain, tetapi Arwi belum beruntung. Saudara-saudaranya juga dalam kondisi ekonomi yang kurang baik. Ada satu saudara sepupu yang cukup mapan secara ekonomi. Dia adalah perempuan itu, tetapi kami, kerabat dekatnya, enggan untuk meminta bantuan kepadanya karena dia bukan tipe orang yang ringan tangan.

****

Masyarakatku memang masih belum dapat dikatakan sebagai masyarakat kota, apalagi masyarakat madani. Tapi juga tidak dapat dikatakan masyarakat tradisional primitif. Aku menyebutnya masyarakat semi-madani atau masyarakat transisi. Dulu, persaudaraan adalah nilai utama dan pertama. Warga yang satu akan dengan ringan tangan kepada warga yang lain, tanpa harus ada ikatan keluarga, tanpa harus ada embel-embel untung rugi. Yang dikenal hanya keharusan untuk saling membantu. Sekarang semua itu sudah tidak ada lagi. Semua berdasarkan kalkulasi untung rugi. Saya bantu kamu, saya dapat apa. Begitu formula persaudaran masyarakatku hari ini.

Nilai yang utama dan pertama adalah kekayaan. Seorang miskin tidak punya nilai apa-apa di tengah masyarakatku. Maka, si kaya selalu merasa berhak untuk memperlakukannya seperti apa pun. Orang kaya dianggap diberkati tuhan sehingga dia harus dihormati. Soal kelakuan atau moral adalah masalah nomor sekian. Karena itu, tidak mengherankan kalau materi menjadi tujuan.

Orang miskin, apalagi terjepit adalah orang yang paling menderita. Tidak mudah bagi mereka mendapatkan bantuan atau berharap lebih dari sekadar hidup. Bagaimana tidak. Mereka sudah tidak dipercaya. Apabila mereka meminta bantuan, misalnya mau meminjam uang. Orang yang mau dipinjami akan berpikir berkali-kali. Dari mana si miskin itu akan mampu membayar kalau dikasih utang. Tanah tidak punya. Surat-surat berhaga tidak punya. Seandainya si miskin punya, itu dapat dijadikan jaminan. Memang aneh. Kepercayaan hanya bernilai bila ada jaminannya.

“Saudaraku bilang bahwa dia akan membantuku untuk membayar utang yang mendesak itu. Tapi tidak sekarang karena dia masih mau bekerja, yang mana gajinya buat bayar utangku. Sekarang aku disuruh mencari pinjaman dulu dan saudaraku akan menggantinya. Dia minta waktu dua bulan,” kata istri Arwi. Suara itu keluar dengan serak, berat kedengarannya. Di matanya, tanpak jelas air mengenangi. Kata-kata jelas bahwa dia tidak punya apa-apa. Bantuan saudaranya yang dijadikan jaminan kepercayaannya.

Entah apa pertimbangannya, Arwi dan istrinya memutuskan untuk meminjam uang seseorang di desanya. Tetapi, konsekuensinya mereka harus membayar lebih, 25% dari uang pinjaman. Transaksi utang piutang seperti ini sudah lumrah. Semua pengusaha bermodal kecil dapat dikatakan terjerat transaksi utang piutang seperti itu.

Yang membuatku terkesan adalah saudara istri Arwi atau kakak ipar Arwi. Dia berjanji akan memberikan upah kerja kepada keluarga Arwi untuk mengganti uang yang dibayarkan Arwi kepada kakek istri saudaranya. Menurut cerita Arwi, kakak iparnya itu bekerja sebagai pembantu rumah tangga di kota. Tidak jelas berapa upah kerjanya. Tetapi yang jelas dia akan bertanggung jawab atas utang Arwi dan istrinya. Sungguh perbuatan yang jarang aku temui. Seseorang yang berani berkorban untuk saudaranya. Dia bukan orang yang berharta, dia hanya punya tenaga. Tapi dia lebih dari orang yang berharta. Dia menggunakan tenaganya untuk bekerja yang mana upahnya dia sumbangkan untuk saudara dan adik iparnya yang sedang kesusahan.

Usaha Arwi mengutang tidak berhasil. Alasannya, uangnya masih banyak yang ada di luar, sementara kepada yang lain, harus ada jaminan yang tidak dia miliki. Beberapa hari kemudian aku mendengar Arwi meminjam emas kepada perempuan itu untuk digadaikan. Tidak hanya mendengar, tapi perempuan itu sendiri yang datang ke rumahku dan bercerita bahwa Arwi meminjam gelang emasnya untuk digadaikan. Sejak itu, si perempuan itu nyaris setiap hari datang ke rumah untuk sekadar bercerita tentang kebaikan dirinya dan keluarganya. Dia berbicara seakan sudah menyelamatkan hidup Arwi. Nyaris setiap hari, hingga ibuku bosan mendengarnya. Bukan hanya kepada ibu, tapi kepada setiap tetangga yang ada di sekitar rumahnya, kerabat dekatnya, terutama kerabat dekat Arwi sendiri.

Hidup ini sangat misterius. Manusia merupakan simbol sekaligus kemisteriusan itu sendiri. Susah dimengerti. Tidak mudah untuk ditebak. Kakak ipar Arwi yang tidak memiliki harta ringan tangan untuk membantu Arwi, sekalipun dia harus bekerja terlebih dahulu dan baru kemudian hasil upah kerjanya akan digunakan untuk meringankan beban Arwi. Dia masih harus bekerja, sementara perempuan itu adalah orang yang memiliki kelebihan, tetapi sekalipun memberikan bantuan telah menyengsarakan dan merendahkan martabat kerabatnya sendiri.

Belum juga utang Arwi jatuh tempo, perempuan itu selalu bertanya kapan yang mau mengembalikan emasnya, padahal sudah ditentukan waktunya. Bukan hanya itu, perempuan itu juga menceritakannya kepada kerabat dan tetangganya. Kenapa dia mendesak? Alasannya ada kerabat yang lain yang ingin meminjamnya, katanya juga mau dipakai pada hari lebaran. Alasannya memang sangat simpang siur. Tidak jelas. Perempuan itu memang aneh. Saudaranya masih kesusahan, dirinya sibuk dan khawatir tidak berhias.

***

Kondisinya masih belum pulih normal. Arwi belum bisa menoleh kekanan atau ke kiri. Lehernya kelihatan semakin memendek. Mungkin karena lelaki itu jatuh terbalik ketika kecelakaan itu. Proses penyembuhan masih terus dilakukan. Itu kondisi fisiknya. Sedangkan kondisi keluarganya juga sama. Tuntutan ekonomi tidak dapat dihindari. Selama lelaki itu dalam proses perawatan, istri setianya yang bekerja serabutan untuk memenuhi kebutuhan keluarganya.

Kadang istrinya bekerja sebagai pencungkil kacang tanah, mencuci baju tetangganya atau menjadi kuli di sawah saat musim tanam dan panen. Itu harus dia lakukan, karena di samping kebutuhan dapur, anak laki-lakinya yang sudah SMA juga membutuhkan uang saku dan transportasi. Apalagi anak perempuannya yang baru sekolah dasar. Kemauannya harus selalu dituruti. Uang jajannya setiap hari bisa melebih uang saku dan transportasi kakaknya.

Arwi bukan lelaki biasa. Dia pekerja keras dan selalu mengerti kondisi. Dia tidak takluk pada kondisi fisiknya. Meski belum sepenuhnya sembuh, lelaki itu sudah mencoba untuk bekerja lagi di penambangan batu bata. Dia bekerja bersama adik iparnya. Padahal semua keluarganya sudah melarangnya, istrinya, kakak, dan adik iparnya, begitu juga mertuanya. Tetapi lelaki itu tetap berangkat ke penambangan.

Lelaki itu merasa harus melakukan itu. Dia tidak boleh tinggal diam. Hanya membiarkan istrinya bekerja untuk memenuhi kebutuhan rumah tangganya. Dia merasa bersalah bila terus begitu. Kebutuhannya bukan hanya kebutuhan keluarga, tapi utang juga terus melilit keluarganya, termasuk desakan dari perempuan itu untuk segara menebus gelang emas yang digadaikan.

Menurutnya, keputusan berkerja di penambangan adalah keputusan yang paling tepat. Tapi sayang, nasib baik belum berpihak kepadanya. Baru satu hari dia bekerja di penambangan, lelaki itu sudah merasakan ketidakmampuannya. Muntah darah terjadi berkali-kali hingga akhirnya lelaki itu dibawa pulang oleh adik iparnya. Sejak itu kondisinya meburuk lagi, tapi tidak terlalu lama. Satu minggu kemudian dia sudah pulih walaupun tidak sepenuhnya.

Sekali lagi, Arwi bukan lelaki biasa. Dia tidak tega melihat istrinya bekerja menanggung kebutuhan keluarga, sementara dia hanya berdiam diri di rumah. “Menjadi penambang memang pekerjaan yang berat, tapi menjaga toko lebih ringan,” pikir lelaki itu. Dia pun memutuskan untuk pergi ke Jakarta untuk menjaga toko. Jakarta dipilih karena beberapa tetangganya memang sukses saat pergi ke Jakarta. Akhirnya dia mendapatkan toko di Jakarta. Kebahagian tidak terkira. Apalagi makelar toko itu mengatakan bahwa toko yang akan dia jaga mampu memberikan keuntungan yang besar. Makelar itu memastikan bahwa dia tidak akan rugi bekerja di toko itu. Kerjaannya ringan, hanya melayani pembeli.

Lelaki itu pun berangkat ke Jakarta untuk mengadu nasib. Optimisme sudah ada. Entah kenapa. Perempuan itu mendatangi rumahnya. Perempuan itu berpikir dan khawatir gelang emasnya tidak dikembalikan. Kepergiannya ke Jakarta dipahami sebagai pelarian. Perempuan itu menganggap lelaki itu lari dari tanggung jawabnya, menebus gelas emasnya. Bahkan, perempuan itu menyalahkan lelaki itu dan keluargannya karena lelaki itu pergi ke Jakarta tanpa pamit kepadanya. Lelaki itu dianggap tidak memiliki akhlak sebagai orang yang punya utang.

Nasibnya memang sangat tragis. Sesampainya di Jakarta. Lelaki itu memang benar diperkerjakan sebagai penjaga toko, tetapi toko itu tidak memberikan penghasilan seperti yang dikatakan makelarnya. Jauh dari bayangannya. Lelaki itu baru sadar bahwa dia sudah ditipu setelah lima hari bekerja. Dia pun merasa tidak enak untuk pulang begitu saja. Lebih-lebih karena makelarnya itu adalah tetangganya sendiri.

Tapi, saat itu dia masih dapat dikatakan beruntung. Penyakit teman kerjanya kumat. Akhirnya lelaki itu pamit pulang kepada majikannya dengan alasan teman kerjanya sakit parah dan harus segera diantar pulang. Lelaki itu pulang dari Jakarta dengan tangan hampa. Kesuksesan hanya bayangan dan mimpi belaka.

Kondisi lelaki itu tidak membuat perempuan itu mengurungkan niatnya. Perempuan itu tetap mendesak gelang emas untuk segera ditebus dan dikembalikan. Alasannya masih sama, lebaran sudah dekat. Perempuan itu ingin memakai gelang emas itu saat lebaran dan kerabatnya yang lain ingin meminjamnya juga. Tapi lelaki itu masih beruntung punya kakak ipar, meskipun tidak hidup berkelebihan, mau membantunya. Dialah yang menebus gelang emas perempuan itu. Lelaki malang itu bernama Arwi. Satu di antara lelaki malang.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Mantab Pak Edi terus berkarya dan berbagi, Barokallah

09 Mar
Balas

Maksih, Pak. Amin.

09 Mar



search

New Post