PRIMITIF
PRIMITIF
“Bung! Tadi aku ditelepon pimpinan. Aku ditanya soal tindak lanjut pengawasan orang-orang organisasi ini. Dia sudah membicarakan rencana pengawasan itu sekitar dua bulan yang lalu. Bagiku itu pembicaraan yang absurd dan tak berkesimpulan.”
“Maksudnya Bung? Pengawasan apa dan bagaimana itu?”
“Masak kamu tidak juga paham, Bung? Kamu kan sudah lama dekat dengan dengan pimpinan. Bahkan, dulu kamu juga pernah aktif di dalam organisasinya, sebelum akhirnya kamu keluar.”
Kawanku memang sudah lama dekat dengan pimpinanku. Jauh hari sebelum aku kenal, dia sudah berasama pimpinanku. Dia tahu banyak tentang pimpinanku, tapi dia tidak pernah bercerita lepas dan vulgar tentangnya. Setiap kawanku bercerita tentangnnya pasti selalu diawali dengan kalimat permohonan; “Cukup kita saja yang tahu ya.” Selalu begitu. Baru dia mau bercerita.
Satu tahun yang lalu, kawanku ikut terlibat di dalam aktifitas organisasi pimpinanku itu. Dia aktif membantu mengembangkan dan menggerakkan organisasi, sekalipun posisi dan statusnya tidak jelas. Apalagi masalah karier dan apa yang mungkin dia dapat dari kerjanya itu. Serba tidak jelas memang. Tetapi, beberapa bulan kemudian dia mengundurkan diri dari organisasi itu. Alasanya adalah tuntutan keluarga, dan dia harus memenuhi itu sebagai bentuk tanggung jawab atas keluarga yang baru mulai dibina dan dibangunnya.
Pengunduran dirinya menciptakan banyak polemik, ada yang menyanjungnya karena dia berani bertanggung jawab dan mengambil sikap serta risiko. Tetapi tidak sedikit yang menghina dan merendahkan karena dia memilih bekerja tidak seperti yang diharapkan banyak orang. Lebih-lebih sampai merantau. Bahkan, dia dianggap tidak komitmen berada di dalam organisasi.
Belum genap satu tahun, dia sudah pulang kampung tanpa kesuksesan. Kawanku itu harus memulai lagi menata hidupnya di kampung. Tapi tentu dia tidak mungkin lagi masuk ke dalam organisasi itu begitu saja. Yang jelas, sekarang dia sudah dimarjinalkan. Diasingkan. Terutama oleh organisasi yang ditinggalkannya, sekalipun komunikasi dan interaksi mereka tetap dekat dan intim. Tapi dia sudah dibuang, tidak diharapkan. Sebatas ada, tidak ada pun tidak masalah.
“Gini, Bung! Dua bulan yang lalu aku ketemu pimpinan di kota. Dia berencana untuk mengawasi gerak-gerik orang-orangnya yang ada di organisasi di kampung kita. Memang tidak begitu jelas, tapi samar-samar aku bisa menangkap maksudnya, bahwa dia menginginkan aku yang menjalankan rencananya itu. Sebagai mata-mata. Ya, sebagai mata-mata, Bung! Bung tahu sendiri kan aku ini orang baru. Statusku juga belum jelas, apalagi hak, wewenang dan job descriptionnya.”
Kawanku diam. Tanpaknya dia berusaha memahami maksud penjelasanku. Motorku tetap melaju dengan pelan. Soal laju motor, baru-baru ini aku memang kurang suka mengendarai motor lebih kencang. Bukannya takut, tapi aku ingat apa yang dikatakan kawanku; “ Naik motor pelan saja agar kita dapat menikmati perjalanan. Apa yang dapat kita lihat di sepanjang perjalanan akan mengajari kita banyak hal.”
Sejak itu aku tidak lagi suka membawa motor dengan kencang apalagi sangat kencang. Kata-kata kawanku, sekarang aku amalkan dengan baik. Benar kata kawanku, di sepanjang perjalan kita akan mendapatkan pesan ketenangan, keindahan, dan inspirasi.” Sebenarnya aku memaklumi kawanku itu berkata begitu karena dia adalah sastrawan yang cinta sekali pada alam.
“Mau kamu gimana, Bung? Tiba-tiba saja suara kawanku terdengar jelas sekali dari belakang.
“Bung tahu . Kan Bung pernah ada di sana.”
***
Organisasi itu berdiri di desa, tepatnya di sebuah kampung. Masyarakatnya masih sangat sederhana. Tidak maju, tapi juga tidak terlalu terbelakang. Banyak orang yang masuk di dalam organisasi itu. Aku sendiri tidak jelas masuk atau tidak. Hubunganku dengan penggerak organisasi itu memang sangat dekat. Kita sering melakukan pertemuan. Tetapi di dalam organisasi itu statusku tidak jelas sebagai apa dan harus bagaimana. Posisiku dapat dikatakan digantung. Begitu tepatnya. Pernah suatu waktu seorang kawan nyeletuk saat aku bicara tentang tugas yang dilimpahkan kepadaku. “Statusmu memang tidak jelas, tetapi kerjamu sangat jelas.” Kami pun tertawa terpingkal-pingkal, sekalipun ucapannya tidak sepenuhnya tepat, tapi itu sudah cukup mewakili kondisiku di dalam organisasi itu.
Organisasi itu menaungi lima organisasi kecil. Sebut saja lima anak organisasi. Kita dapat menyebutnya satu induk organisasi dan lima anak organisasi. Mungkin karena kedekatanku dengan orang-orang yang ada di induk organisasi itu aku selalu mendapatkan tugas yang jelas tanpa status yang jelas. Ini adalah organisasi paling aneh yang pernah aku masuki.
Orang-orang di organisasi induk adalah orang-orang yang memiliki pengaruh kuat. Mereka adalah orang-orang dekat, tepatnya orang-orang sedarah. Saudara, kerabat, anak atau kawan karib. Hanya orang-orang dekat yang bisa menempati posisi struktural organisasi induk itu. Nyaris tidak ada orang luar yang bisa mengambil bagian dalam posisi struktural, tapi kalau mau berpartisipasi terhadap kerja struktural sangat boleh dan diharapkan. Itu salah satu keunikannya.
Pimpinan organisasi induk adalah orang yang sangat sibuk, super sibuk. Bisa aku pastikan, pimpinan kami nyaris tidak pernah ada di kampung kami di mana organisasi itu berdiri. Hubungan organisasi dengan pimpinan organisasi adalah hubungan jarak jauh. Katanya dia adalah aktivis salah satu organisasi besar di tingkat provinsi. Jadi dia sibuk dengan organisasi yang lebih besar itu. Dia hanya berkenan datang pada waktu dan momen tertentu, terutama pada acara-acara penting. Selebihnya tidak pernah ada. Orang-orang organisasi berjalan sendiri. Menurutku itu salah satu faktor yang membuat hubungan antara pimpinan organisai induk dan orang-orang organisai yang ada di kampung kurang harmonis.
Kalau pimpinan kami datang, pertemuan-pertemuan akan diselenggarakan secara dadakan. Semua serba dadakan alias tidak terencana. Sekali lagi itu semua karena pimpinan kami adalah orang yang sangat sibuk. Terlalu sibuk dengan organisasi yang lebih besar. Karena itu, kami harus selalu siap siaga ketika dia datang. Pimpinan organisasi induk itu sedang membangun karier di organisasi tingkat provinsi itu.
Di setiap pertemuan, rapat, musyawarah atau apa saja, yang intinya berkumpul dengan pimpinan organisasi induk tidak lain dan tidak bukan, isinya dapat sudah diketahui. Evaluasi, marah-marah, menghina bawahan, mencemooh, merendahkan, dan semua salah yang dilakukan bawahan. Bawahan tidak profesional, tidak berintegritas, loyo, tidak maju, dan sangat memalukan kerjanya. Isi pertemuan tidak jauh dari itu dan hanya itu. Setelah itu, pimpinan kami akan berangkat lagi ke provinsi untuk mengurusi organisasi yang lebih besar, organisasi tingkat provinsi. Sebenarnya tidak ada yang namanya musyawarah, yang ada presentasi dan pengumuman keputusan. posisinya dapat dikatakan sebagai penilai. Keputusannya juga seringkali aneh. Pernah suatu waktu mengadakan pertemuan. Semua bawahan mempresentasikan rencana kerjanya. Banyak rencana kerja yang dibatalkan karena dianggap kurang kesiapannya. Pembatalan itu terjadi begitu saja di dalam forum. Uniknya, satu hari kemudian keluar keputusan yang isinya malah menerima semuanya kecuali satu rencana kerja saja. Aku tidak tahu apa orang sejenis ini pantas menjadi pemimpin atau tidak. Tapi kalau aku boleh jujur, kepemimpinannya sangat tidak bermutu.
Pernah suatu malam, pimpinan organisasi induk itu menghubungiku melalui sekretarisnya. Aku diminta membuat undangan untuk panitia sebuah acara yang akan diselenggarakan. Acaranya adalah presentasi rencana kegiatan. Kejadian itu membuatku bingung, bertanya-tanya. Aku ini siapa? Kok pimpinan organisasi itu memintaku membuat undangan? Bukannya dia punya sekretaris yang memang memiliki tugas untuk itu. Kenapa harus aku yang tidak jelas statusnya di dalam sturuktural yang harus mengerjakan pekerjaan sekretarisnya? Yang membuat aku semakin heran, sekretarisnya juga ikut-ikutan meminta aku melaksankan pekerjaan itu. Lantas buat apa ada sekretaris? Pertanyaan itu belum terjawab hingga saat ini.
Itu kejadian aneh lain yang aku temui. Sejak itu aku merasa bahwa ada yang tidak beres di dalam organisasi itu. Organisasi itu tidak sehat. Meskipun katanya, pimpinan dan pengurus organisasi induk itu mengaku maju, mengerti, dan sangat paham kerja organisasi, manajemannya, dan mau dibawa ke mana. Tapi, sekali lagi kejadian itu membuatku berpikir berkali-kali untuk mengakui integritas dan profesionalitas pemimpin dan pengurusnya.
Akhirnya, tanpa banyak tanya aku ikuti saja alurnya. Aku kerjakan apa yang dia minta. Aku membuat undangan pertemuan untuk acara presentasi rencana kegiatan yang akan dilaksanakan satu hari kemudian. Mulanya, aku tidak mau ikut pertemuan itu, tapi pagi-pagi sekali aku ditelepon dan diminta untuk datang. Aku pun datang. Itu adalah pertama kali aku mengikuti pertemuan dengan pimpinan organisasi induk.
Pertemuan itu memang sangat mengerikan. Sama sekali tidak dewasa. Tidak berwibawa. Tidak berkharisma dan kekanak-kanakan. Sebelumnya aku memang sudah mendengar cerita tentang pertemuan yang seperti itu. Tapi hari itu adalah hari di mana aku menyaksikan sendiri sebuah pertemuan yang sangat kenak-kanakan. Tindakannya tidak mencerminkan tindakan pemimpin dan orang berpendidikan.
***
Aku membelok motorku ke arah kiri, ke jalan kabupaten. Sebenarnya jalan raya provinsi memang lebih nyaman dibandingkan dengan jalan kabupaten, tetapi terlalu jauh dan lama untuk sampai di tempat tujuan. Karena itu aku memilih jalan kabupaten sekalipun tidak beraspal. Harus melalui hutan yang tampak angker. Memang sangat mengerikan. Kawanku bilang kalau jalan ini sangat rentan dengan pemalakan dan perampokan, karena memang sangat sepi dan jauh dari rumah-rumah penduduk. Tidak aku pikir terlalu rumit soal jalan, aku hanya ingin sampai tujuan lebih cepat dan bisa menikmati alam yang masih sangat natural.
“Bung! Gimana menurutmu organisasi induk itu?”
“Aku tidak bisa berkomentar banyak, Bung. Mungkin kondisinya hari ini sudah sangat berbeda dengan dulu sewaktu aku masih aktif di sana.”
Sepertinya kawanku kurang berani memberikan penjelasan dan ulasan tentang organisasi induk itu lebih jauh. Mungkin karena dia memiliki hubungan yang sangat dekat dengan pimpinannya. Mungkin juga karena dia belum percaya kepadaku. Entahlah, apa sebabnya yang pasti.
“Setelah beberapa bulan ini aku berkecipung di dalamnya. Ada beberapa hal yang menarik perhatianku, Bung. Itu sangat ganjal apabila kita mendengar bahwa pimpinan dan pengurus oraganisai induk itu adalah orang-orang yang maju dalam berorganisai, paham kerja organisasi, bahkan mereka sudah menjadi aktivis organisai tingkat provinsi sekalipun. Pernyataan dan pengakuan itu masih terdengar janggal di telingaku apabila kita melihat praktik organisasi dijalankan atau yang berjalan selama ini, Bung.”
Jalan kabupaten ini memang terkesan sangat menyeramkan. Tampak gelap sekalipun di siang hari. Di kanan dan kiri jalan tumbuh pohon-pohon yang menjulang tinggi. Suasana semakin menyeramkan karena pohon-pohon itu dililit oleh tumbuh-tumbuhan liar. Jalannya pun belum diaspal. Hanya batu-batu yang berserakan. Kadang, dengan tega aku memaksa motorku untuk terus maju menerjang batu-batu dan kerikil-kerikil yang berserakan. Jujur aku kurang berani kalau malam hari melalui jalan itu lagi, apalagi sendirian. Lebih baik lewat jalan provinsi sekalipun jauh.
Sudah lebih dari dua kilo meter perjalanan, kami belum mendapati rumah penduduk. Kami menemukan satu bangunan di tengah perjalanan. Sekitar satu setengah kilometer dari jalan provinsi. Kami pikir itu rumah penduduk, ternyata setelah kami mendekat, itu adalah kuburan. Kami pikir rumah penduduk juga dekat karena ada kuburan. Kami menoleh ke segala penjuru arah. Hasilnya nihil. Kami tidak menemukan satu pun rumah penduduk. Cukup menyeramkan.
Perbincangan kami tentang pimpinan yang super sibuk itu terus berlanjut. Itu menjadi satu-satunya tema perbincangan kami yang paling serius di sepanjang perjalanan. Tapi kawanku tidak banyak memberi komentar. Seringkali ia hanya tertawa dan cukup mengamini apa yang aku katakan. “Padahal aku tidak sedang merekam perbincangan itu,” pikirku.
“Bung! Harusnya orang-orang struktural yang sudah tidak dapat berfungsi dengan baik harus diberhentiakan. Seharusnya orang-orang itu juga sadar diri. Mereka harus siap mengundurkan diri apabila sudah tidak sanggup menjalankan kerja organisasi. Tidak perlu dipertahankan atau bertahan. Tidak perduli pimpinan atau bawahan. Semuanya harus rela berhenti dan diberhentikan saat sudah tidak bisa bekerja dengan baik. Ngapain mempertahankan orang seperti itu. Mereka hanya mengganggu jalannya organisasi. Mereka hanya mau menduduki statusnya, tapi tidak mau menjalankan fungsi dan perannya. Orang-orang seperti ini tidak pantas dipertahankan. Perilakunya tidak lebih adalah perilaku birahi kekuasan. Ini tidak baik untuk organisasi yang ingin mengabdi kepada masyarakat. Syahwat dan birahi kekuasan mereka terlalu besar, Bung. Mereka takut berada di bawah, Bung. Buatku itu perilaku yang sangat primitif dan kolot. Bahkan aku berani menyebutnya, perilaku neo-barbarian dan feodal."
"Bung! Aku pikir mereka tidak lebih baik dari bawahannya yang selau diejek, direndahkan, dihina, dan dimarahi setiap ada petemuan dengan pimpinan. Bahkan, mereka lebih buruk. Lagaknya saja mereka seperti orang yang pandai, pintar, berwibawa, berkharisma, tahu banyak hal, mengerti dan paham kerja organisai, manajemen organisasi, tapi faktanya tindakan, cara kerja atau praktik organsisasi mereka sangat primitif dan primitif sekali. Memalukan dan sangat menjijikkan.”
Aku bicara sedikit emosi. Kata-kata itu keluar begitu saja. Aku tidak ingat lagi kalau motor sedang melalui jalan bebatuan dan medannya yang sangat sulit. Pikiranku fokus kepada apa yang aku bicarakan. Sementara kawanku diam saja mendengarkan ocehanku. Dia tidak bergeming sedikit pun. Entah kenapa. Aku salah atau dia takut untuk mengungkapkannya.
“Bung! Tanda-tandanya sudah jelas bahwa mereka itu kekanak-kanakan. Hanya pikiran dan bacotan mereka yang maju, tapi tindakannya sangat terbelangkang dan primitif. Coba pikirkan, organisasinya bergerak di kampung. Pimpinannya ada di tempat yang jauh. Tidak satu dua hari lagi. Alasanya sibuk dengan organisasi yang lebih besar. Kalau sudah begitu kenapa tidak memundurkan diri saja. Itu tandannya dia tidak siap menjadi pemimpin, Bung. Orang-orang bawahannya juga. Struktur itu bukan sebatas struktur yang hanya digunakan untuk melanggengkan kekuasaan demi memuaskan syahwat dan birahi. Struktur itu adalah status dan peran atau fungsi, Bung. Jangan hanya mau menempati statusnya, tapi tidak mau menjalankan fungsinya. Primitif sekali orang seperti itu. Kualifikasinya itu Bung, mereka yang menempati struktur adalah mereka mau menjalankan fungsi struktural, kalau tidak disingkirkan saja. Mental mereka masih sangat primitif dan feodal, Bung.”
“Ha ha.”
Kawanku tertawa mendengar aku bicara berapi-api. Tapi dia tetap tidak memberikan komentar apa-apa. Hanya tertawa.
“Coba pikir juga. Orang-orang di organisasi induk selalu bilang kalau orang-orang yang ada di anak organisasi induk tidak punya integritas, profesionalitas, dan sebagainya. Anak organisasi harus membuat laporan kerja dan keungan yang jelas. Coba pikir, Bung. Di sisi lain, organisasi induk tidak pernah memiliki kejelasan laporan kerja dan laporan keuangan. Ini sudah sangat jelas menunjukkan bahwa tindakan mereka sangat primitif. Bagaimana mereka bisa menuntut anak organisasinya sebegitu ideal. Apa mereka tidak berpikir?"
Orang itu tidak bisa merasa pintar dan paling tahu sebelum dibuktikan dengan kerjanya. Karena hakikat kita itu bukan ada pada pikiran dan perasaan, tapi pada kerja dan kerja. Amal dalam bahasa agama.
"Coba perhatikan saat pimpinan organisasi induk mengejek bawahannya karena kerjanya buruk. Sebenarnya dia menunjukkan ketidakmampuannya memimpin organisasi itu. Buktinya bawahannya gagal dan pimpinannya tidak berwibawa di hadapan bawahannya. Orang seperti dia tidak perlu berpikir untuk memimpin atau ada di organisasi besar dulu. Buktikan dulu kerjanya di organisasi kecil ini. Buktikan bahwa dia pantas memimpin. Kalau begini adanya, kesimpulan apa yang bisa kita sematkan kepada dia dan caranya mejalankan organisasi ini kalau bukan primitif. Hanya pikiran dan omongannya yang maju, tapi tindakan dan perilakunya masih sangat terbelakang dan primitif.”
Akhirnya kami sampai di tempat tujuan. Seketika itu pula pembicaraan itu kami akhiri. Kami akan membahasnya di lain waktu.
“Sudah sampai tujuan, Bung!”
Aku parkir motorku, dan langsung saja aku menyalami orang-orang yang ada di rumah yang aku tuju. Rumah kawanku, seorang sastrawan yang merdeka.
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar