SENYUM PEREMPUAN
“Jeng, mau kopi?”
“Tidak. Aku tidak suka kopi. Aku lihat kamu juga tidak bawa kopi. Kenapa kamu menawarkan kopi?”
“Entahlah. Aku juga tidak suka kopi. Kopi seringkali membuatku sakit perut. Aku hanya mau memulai pembicaraan. Andai kau mau kopi, aku akan belikan.”
“Apa yang membawamu ke sini?”
“Di sini suasananya tenang, menenangkan. Tenteram, menenteramkan. Aku nyaman di sini. Aku sangat menyukai dan mengagumi alam. Alam mampu menghadirkan dirinya apa adanya. Alam begitu jujur. Itulah sebabnya alam mampu menghadirkan ketenteraman dan ketenangan. Karena itu aku ada di sini.”
“Lebih dari itu? Kenapa kamu membutuhkan ketenangan dan ketenteraman?”
Ternyata perempuan di sampingku belum puas dengan penjelasanku. Dia mengejarku dengan pertanyaan-pertanyaan. Dia tahu kalau aku belum menyampaikan inti persoalan.
“Aku memikirkan perempuanku,” jelasku.
“Jeng sendiri kenapa ada di sini?”
“Seperti yang kamu katakan. Alam mampu menghadirkan ketenangan dan ketentraman. Tapi alasan kebutuhanku tidak sama denganmu. Aku butuh inspirasi dari alam untuk novelku.”
“Kamu seorang penulis?”
“Entahlah. Aku hanya suka menulis. Buatku menulis adalah kebebasan. Aku bisa berbuat apa saja di dalam tulisanku. Aku bisa mengungkapkan kebahagiaan dan mengumbar kemarahan.”
“Benar. Tepat sekali. Apalagi hari ini sangat sulit mencari orang yang mau menerima luapan kebahagian sekaligus kemarahan kita. Siapa pun dia, entah istri, suami, saudara, keluarga, pacar, apalagi orang lain. Mereka sibuk dengan urusan masing-masing. Hanya dengan menulis kebagiaan dan kemarahan kita dapat diluapkan. Hanya alam pula yang selalu siap menerima semua itu. Ya, menulis dan alam.”
Angin berdesir menyapu wajahku. Daun-daun di hadapanku berlarian saling berkejaran. Cuaca tidak dingin, juga tidak panas. Sementara awan-awan bermain-main di atas sana. Tanpaknya mereka mencari bentuk terindah untuk dunia, untuk menyandingi keidahan alam. Itu menambah keindahan alam ini. Perempuan di sampingku itu sibuk dengan kameranya. Dia terlihat begitu terpesona dengan alam ini. Dia mengabadikan apa yang menurutnya indah. Sesekali dia melihat hasil potretnya. Kadang dia berdecak kagum, kadang juga mendesis kecewa.
“Aku salah memotret!” teriaknya padaku. Kemudian dia kembali lagi memotret.
Pemandangan alam di sini memang begitu indah. Di sisi kanan dan kiri ada batu menjulang tinggi. Di situ tumbuh pohon-pohon yang menyejukkan mata saat memandang. Di hadapanku, terhampar jauh rerimbunan yang tampak hijau sekali. Ia hanya berbatas langit di ufuk barat. Gerakan awan pun bebas kami nikmati. Kadang ia membentuk kuda, wajah orang, rumah dan berbagai bentuk lainnya. Di sini tidak ramai, juga tidak terlalu sunyi, itu juga yang membuatku betah duduk-duduk di sini.
“Kamu tahu apa yang istimewa dari perempuan?”
“Bukannya kamu suka alam? Apa mungkin kamu juga menemukan keistimewaan pada diri perempuan?”
“Ya, kamu benar. Aku suka alam. Tapi kamu salah kalau mengira aku buta pada keistimewaan yang ada pada diri perempuan. Kadang perempuan itu mampu mewakili alam, bahkan lebih, tapi kadang perempuan begitu mengerikan. Menjadi maut kehidupan.”
“Aku perempuan. Aku merasa semua yang ada pada diriku istimewa, sekalipun kamu menemukan sisi mengerikan dan maut.”
“Maaf. Aku tidak bermaksud menyinggung atau menghina kamu sebagai perempuan.”
“Tidak masalah. Aku sudah sering mendengar kata-kata sejenis itu. Tetapi kamu tidak dapat mengingkari bahwa kamu tetap dan selalu butuh perempuan.”
Aku terdiam. Jawabannya pelan tapi langsung mengena. Serupa tombak atau anak panah. Kata-kata itu tepat di tengah-tengah sasaran. Aku menarik napas panjang. Menciptakan momen yang tepat untuk melanjutkan permbicaraan kami.
“Senyumnya. Itulah yang istimewa dari perempuan. Setidaknya buat diriku.”
Perempuan itu terdiam. Menatap jauh ke arah langit. Entah apa yang dipikirkan, tapi tampak jelas di wajahnya dia sedang memikirkan sesuatu. Barangkali apa yang baru saja aku katakan itu.
“Ini bukan soal syahwat, birahi, atau kebutuhan biologis. Lebih dari itu semua, aku harap kamu tidak menyederhanakan keistimewaan itu,” lanjutku. Aku mencoba memecahkan kebekuan di antara kami.
“Lalu apa kalau bukan syahwat dan birahi? Bukankan kita sudah sering mendengar istilah yang sering disematkan pada kaummu bahwa ketika hubungan antara perempuan dan lelaki terjadi selalu memuat syahwat dan birahi.”
“Tidak. Kamu terlalu menyederhanakan keistimewaan itu. Seandainya saja perempuan menyadari bahwa senyumnya adalah istimewa buat lelakinya, perempuan tak perlu khawatir dan takut mengarungi hidup ini. Lelakinya akan menjadi malaikat pelindungnya. Apa kamu pernah memberikannya kepada lelakimu?”
“Ya. Aku pernah memberikannya.”
“Memberikan atau diminta untuk memberikan atau dipaksa memberikan?”
“Kamu tidak perlu tahu. Yang pasti dia telah mendapatkannya.”
“Lalu apa yang terjadi?”
“Aku tidak tahu. Aku tidak melihat apa-apa dan aku tidak merasakan apa-apa. Semua biasa saja.”
“Berarti kamu belum berbuat apa-apa, termasuk memikirkan lelakimu dan tindakanmu sendiri.”
“Kenapa bisa begitu?”
“Harusnya kamu tahu dan merasakan arti dari tindakanmu itu dan bagaimana seharusnya kamu melakukannya. Dan yang paling penting adalah kamu harus tahu dampaknya.”
“Tapi aku memang tidak tahu dan tidak merasakan apa-apa.”
“Ya, aku paham. Tapi itu yang menunjukkan bahwa kamu sama sekali belum memikirkan tentang dirimu dan dirinya. Kamu hanya berjalan sesukamu, tanpa tahu alasan dan tujuanmu. Itu sama artinya kamu belum berbuat apa-apa untuk dirimu dan lelakimu.”
Perempuan itu menghela napas panjang. Aku pun tidak tahu kenapa pembicaraan kita sampai sejauh itu. Tetapi dia tetap tenang. Sepertinya dia sudah terbiasa dengan perbincangan seperti ini. Tidak sedikit pun menunjukkan rasa kesal.
“Maaf kalau pembicaraanku tidak sopan. Ini seharusnya masalah privasi. Tidak pantas jadi pembahasan.”
“Tidak. Tidak apa-apa. Sesuatu yang privasi juga harus kita pelajari bersama. Kita tetap harus belajar kepada orang lain karena pada dasarnya kita tidak pernah netral melihat privasi kita, dan itu adalah egois buatku.”
“Kadang kita memang terlalu berlebihan menempatkan ruang privasi. Padahal itu sesuatu yang selalu kita lakukan dan paling dekat dengan diri kita. Bagaimana kita dapat memperlakukannya dengan baik kalau kita tidak memahaminya, dan untuk memahaminya kita tetap butuh orang lain.”
“Apa kamu sering memikirkan apa yang kamu lakukan terhadap perempuanmu?”
“Tentu saja. Aku sangat suka memikirkannya, bahkan aku sangat senang mendiskusikannya.”
“Bukankah seharusnya kamu peka terhadap perempuanmu?”
“Kepekaan seringkali tidak objektif. Kepekaan tetap belum mampu membimbing kita terhadap sikap yang tepat pada pasangan kita. Sebab itu kita tetap harus membicarakan segalanya.”
“Bagaimana kalau sesuatu yang kamu anggap istimewa itu tidak istimewa bagi perempuanmu?”
“Justru itu yang ingin aku pecahkan. Cinta itu sederhana, tapi rumit menjalankannya. Cinta itu adalah komitmen untuk saling menjaga, memerhatikan, dan komitmen untuk berkompromi. Tanpa itu, kehidupan pasangan tidak akan berjalan harmoni. Seperti senar gitar. Sekalipun berbeda panjang dan besarnya, tapi saat mereka komitmen untuk bersama dan berkompromi, mereka mampu menghasilkan bunyi yang indah. Begitu juga dengan kita dan pasangan kita.”
“Kenapa kamu menganggap senyum adalah sesuatu yang istimewa pada diri perempuan?”
Aku beringsut membetulkan dudukku. Kemudian aku menatap lurus ke depan. Ada segerombolan burung terbang saling berkejaran. Pepohonan juga bergerak-gerak karena terpaan angin. Indah sekali. Benakku berpikir keras bangaimana aku harus menjelaskan sesuatu yang istimewa itu. Apakah aku dapat menjelaskannya dengan bahasa yang tepat? Apakah perempuan itu akan dapat menangkap maksudku? Dan yang terpenting apakah dia akan percaya dengan apa yang akan aku katakan?
“Saat aku gelisah, senyum perempuanku mampu menenangkanku. Saat rasa pesimis menghantuiku, senyum perempuanku mampu menggantikannya dengan optimisme. Saat aku tidak punya semangat mengarungi kehidupan, senyum perempuanku mampu menyemangatiku. Dan, saat keraguan menghampiriku, senyum perempuanku yang mampu meyakinkanku.”
“Apa kamu yakin dengan yang kamu katakan?”
“Aku belum menemukan alasan untuk tidak yakin.”
“Bagaimana kamu sampai seyakin itu?”
“Karena aku tahu hanya aku yang benar-benar memikirkan dan merasakan itu. Mungkin perempuanku tidak merasakannya.”
“Kalau yang kamu katakan itu benar, aku sebagai perempuan, bukannya aku tidak mau melakukan itu. Tapi aku belum mengerti bagaimana aku harus melakukannya. Bagaimana caranya agar senyum itu menjadi sesuatu yang istimewa buat lelakiku. Sesuatu yang mampu menciptakan optimisme, semangat, dan keyakinan?”
“Kamu berpikir terlalu rumit. Mungkin kebanyakan perempuan juga seperti kamu. Jelimet. Kamu cukup memberinya. Tidak perlu banyak tanya, apalagi berdebat panjang lebar. Berikan saja. Kemudian kamu rasakan, perhatikan tatapannya, dan wajahnya. Kamu akan menemukan sesuatu yang tidak pernah kamu temukan. Kamu akan sulit percaya bahwa kamu mengalami sesuatu yang sulit kamu ungkapkan. Itu serupa kebahagian dan kesedihan menyatu. Tanpa batas. Tanpa arah. Hanya itu yang akan dapat kamu ungkapkan.”
“Benarkah yang kamu katakan itu?”
“Buktikan saja. Kamu akan dapatkan jawabannya sendiri. Apa kamu memang belum pernah memberikannya dengan cara seperti itu?”
“Belum.”
“Kamu harus mencobanya.”
“Kamu tahu senyum seperti apa yang sangat istimewa buat lelaki?”
Perempuan itu tidak menjawab. Wajahnya menunduk. Aku terlalu lama dibiarkan menunggu. Suasana menjadi hening. Hanya desiran angin yang terdengar. Kupecahkan keheningan itu.
“Maaf. Boleh aku tanya sesuatu? Mungkin sangat pribadi.”
“Apa?”
“Bagaimana hubunganmu dengan lelakimu?”
“Biasa saja.”
“Tidak adakah sesuatu yang istimewa?”
Lagi-lagi perempuan itu terdiam. Dia tampak merenung dan memikirkan sesuatu. Barangkali pertanyaanku itu terlalu cepat aku katakan.
“Biarlah. Aku ingin cepat-cepat sampai ke inti perbincangan ini.”
“Kamu tahu, hubungan itu tidak dapat kita jalani biasa-biasa saja. Kalau itu terjadi, itu berarti kita belum melakukan apa-apa terhadap pasangan dan masa depan hubungan kita. Kita belum sungguh-sungguh melakukan sesuatu untuk hubungan dan masa depan kita.”
Keadaan menjadi begitu hening dan sunyi. Ditambah angin tidak bertiup lagi. Perempuan itu termenung, sedangkan aku masih tetap menatap lurus ke depan. Memerhatikan burung-burung dan awan-awan yang terus mengubah dirinya, dari satu bentuk ke bentuk yang lain.
“Bagaimana hubunganmu dengan perempuanmu?”
Tak kusangka. Pertanyaan itu juga hadir untukku. Aku sudah punya jawaban tapi bagaimana aku harus menyampaikannya.
“Kadang-kadang.”
“Kadang-kadang, sering, atau jarang?”
Perempuan itu mendesakku. Tampaknya, buat dia jawabanku kabur.
“Entahlah. Aku masih optimis akan dapat merasakan sesuatu yang lebih dari yang aku rasakan selama ini.”
“Kenapa begitu?”
“Aku percaya kepadanya.”
“Apa yang membuatmu begitu percaya?”
“Aku percaya pada perubahan, karena itu aku percaya dia pasti akan berubah. Seperti awan-awan itu. Kita terus mencari bentuk paling indah dari sekian bentuk.”
“Semoga kamu beruntung. Kamu belum melanjutkan penjelasanmu tentang senyum seperti apa yang paling istimewa. Apa kamu masih berkenan untuk menjelaskannya?”
“Aku harus kembali ke vila. Aku hanya bisa menjelaskan dengan sederhana. Kamu sendiri yang harus memperluas maksud dan tujuannya.”
“Tak mengapa.”
“Senyum yang sangat istimewa lahir dari kepekaan si perempuan sendiri, lahir dari pengertian dan kepeduliannya. Tanpa harus diminta, apalagi harus dipaksa untuk memberikannya.”
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
Saya suka kopi. Saya suka memotret. Saya suka menulis puisi. Saya suka bercerita lewat kata-kata. Saya suka membuatcsenyum paling manis. Apakah itu saya? Wkwkwkkw. Salam kenal Pak Edy
Perempuan itu datang begitu saja dalam mimpi saya tadi malam. Tapi wajahnya tidak sejelas foto profil Ibu. Kalau apa yang Ibu katakan benar, saya ucapkan banyak terima kasih karena pagi harinya saya bisa buat cerpen ini. Wkwkwkw. Salam kenaj juga Bu Fia.
Bikin baper.hehehe.
Baper gimana, Bu?? Coba cari tisu di kanan-kiri
Tapi kalau ngantuk pasti tidur juga, Bu. Wkwkw
Saya suka kopi tapi kopi bikin saya susah tidur