Edy Hermawan

Suka membaca dan kadang menulis...

Selengkapnya
Navigasi Web

TIGA PEREMPUAN SATU KELUARGA

1/

Kamu tentu pernah merayu Tuhan. Kamu berdoa kepada-Nya, menyampaikan betapa menderitanya dirimu. Mungkin juga, kamu menyampaikan kebutuhanmu. Kamu berharap Tuhan membebaskanmu dari penderitaan itu. Tuhan mengabulkan, menunda, atau mungkin menggantinya. Yang jelas, Tuhan tidak pernah takluk pada rayuanmu karena janji Tuhan lebih dulu dari doamu. Tuhan sudah berjanji akan mengabulkan setiap doa, tapi sesuai kehendaknya, bukan kehendak kita.

Seperti halnya perempuan itu, dia harus menerima takdirnya. Karena memang, takdir Tuhan tak mempan dengan rayuan. Suaminya diambil kembali oleh Sang Maha Pemilik setelah hampir setahun berbaring di atas ranjang bambu itu.

Panggil saja perempuan itu Bu Summi. Seorang janda ditinggal mati berkepala empat. Saat meninggal, suaminya tidak meninggalkan apa-apa, kecuali dua anak perempuan dan sejengkal tanah dengan gubuk kecil di atasnya.

Bu Summi terpaksa tidak menjalani idah sebagai istri yang ditinggal mati oleh suaminya karena alasan ekonomi. Bu Summi harus menanggung kebutuhan hidup dan biaya pendidikan kedua anak perempuannya. Anak perempuannya yang pertama sudah kelas tiga SMP, sedangkan yang kedua baru kelas tiga SD.

Namun, mencari penghasilan bukan sesuatu yang mudah. Bu Summi harus bekerja serabutan. Kalau ada orang memintanya untuk menyabit rumput, dia terima. Kalau ada orang yang memintanya untuk membersihkan kotoran ternak sapi, dia juga terima. Bahkan, dia sambil lalu memulung di waktu senggang. Itu pun belum dapat memenuhi kebutuhan pokok keluarganya.

Tidak ada orang yang tidak ingin berubah menjadi lebih baik. Status sosialnya, ekonominya, pendidikannya, dan seterusnya. Namun, rasa bosan dan putus asa tidak jarang menghinggapi sehinga manusia akan mencoba jalan lain yang dirasa lebih cepat. Itu juga yang terjadi kepada Bu Summi. Dia mulai merasakan bosan dan dihinggapi putus asa.

Dua tahun setelah kematian suaminya, ada seorang laki-laki dari desa sebelah datang melamarnya. Saat itu harapan perubahan ke arah yang lebih baik tumbuh lagi pada diri Bu Summi. Laki-laki itu memang bukan orang kaya, tapi setidaknya Bu Summi merasa bebannya akan berkurang.

“Nak, bapak kalian sudah dua tahun meninggal. Hingga sekarang keadaan kita tetap seperti ini. Ibu mau menerima lamaran Pak Sutro itu. Semoga nasib kita bisa berubah jadi lebih baik,” tutur Bu Summi kepada dua anak perempuannya.

Dua anak perempuan itu tidak bergeming. Mereka tidak menjawab iya atau tidak. Hanya diam dan menunduk. Bu Summi tak peduli dengan sikap kedua anak perempuannya. Tekadnya hari ini adalah membenahi kondisi hidupnya. Padahal, Bu Summi juga sudah tahu kalau laki-laki itu suka sekali nikah cerai. Tapi, siapa tahu ini bisa jadi jalan, pikirnya.

Singkat cerita, Bu Summi dan Pak Sutro menjadi suami istri yang sah. Tapi yang terjadi tidak sesuai harapan. Satu minggu dari pernikahannya, Pak Sutro belum juga beranjak untuk mencari nafkah. Padahal, sudah dua hari Bu Summi hanya menghidangkan nasi jagung, kuah daun kelor, dan sambal petis ikan sebagai pengganjal perut. Mestinya, Pak Sutro sudah mengerti dengan keadaan itu. Apalagi, rokok Pak Sutro pun, Bu Summi yang membelikannya.

Bu Summi menahan diri untuk mempersoalkan itu. Dia berpikir, mungkin karena baru satu minggu usia pernikahan itu. Namun, satu bulan, dua bulan, bahkan satu tahun sudah, Pak Sutro tetap tidak bekerja mencari nafkah. Semua kebutuhan keluarga ditanggung oleh Bu Summi. Setelah menikah lagi, bebannya bukan semakin berkurang, tapi bertambah.

Herannya, Bu Summi tetap tidak mempersoalkan itu. Dia tetap membiarkan Pak Sutro menikmati hasil keringatnya. Kata orang, Bu Summi sudah kena guna-guna. Ada juga yang bilang kalau Bu Summi takut menghadapi suaminya. Sebab, suaminya mudah emosi dan melakukan kekerasan.

Tentu kebutuhan ekonomi semakin bertambah. Bu Summi bukan lagi hanya memenuhi kebutuhan dirinya dan dua anak perempuannya, namun juga suaminya yang candu rokok itu.

Yang menjadi korban adalah dua anak perempuannya. Bu Summi sering uring-uringan. Semua emosi kekesalan meluap kepada dua anak perempuannya. Kebutuhan keluarganya yang sudah tidak mungkin lagi dipenuhi dengan keringatnya membuat Bu Summi berani mengutang kepada tetangga dan rentenir desa. Bahkan, bantuan pendidikan pemerintah untuk dua anak perempuannya tidak digunakan semestinya, melainkan digunakan untuk kebutuhan konsumsi keluarganya.

Kondisinya semakin tidak karuan. Setiap hari selalu ada percekcokan antara Bu Summi dengan dua anak perempuannya. Padahal hanya persoalan sepele. Sekarang dua anak perempuannya pun sudah sering tidak mendapatkan uang saku lagi.

2/

Tidak sedikit orang yang menjadikan nikah sebagai sarana untuk menaikkan status dan memperbaiki kondisi ekonomi. Seperti yang telah dilakukan oleh Bu Summi dengan memilih menikah dengan Pak Karto. Meskipun itu gagal. Begitu juga dengan keputusan Bu Summi memberhentikan anak pertamanya dari sekolah dan menikahkannya di umur muda.

Panggil saja perempuan kedua ini dengan Mbak Ningsih. Anak perempuan pertama Bu Summi. Dia terpaksa mengikuti kemauan ibunya, Bu Summi. Dia dinikahkan ketika usia pernikahan Bu Summi dan Pak Sutro berumur 5 bulan. Alasannya sederhana, demi perbaikan hidup dan meringankan beban keluarga.

Sejak pernikahan anak perempuan pertamanya itu, Bu Summi nyaris tidak pernah lagi tinggal bersama dua anak perempuannya. Dia ikut ke rumah suaminya, ke desa sebelah. Bahkan, Bu Summi memasrahkan anak bungsunya kepada Mbak Ningsih dan suaminya.

“Aku akan jarang di sini. Jadi, kalian jaga adikmu ini,” kata Bu Summi kepada Mbak Ningsih dan suaminya. Tepatnya, dua hari setelah pernikahan Mbak Ningsih. Jauh-jauh hari, Bu Summi memang sudah menyampaikan itu kepada dua anak perempuannya.

“Kalau kamu nanti menikah, rumah ini tidak mungkin dihuni lima orang. Ibu akan ikut bapak tirimu,” kata Bu Summi.

Kehidupan baru berjalan. Tapi Bu Summi tetap memeras keringat sendiri untuk memenuhi kebutuhan dirinya dan suaminya. Bahkan, Bu Summi tetap terlilit utang. Berbeda dengan Mbak Ningsih, dia hidup normal meski tidak dapat dikata berkelebihan. Sejak menikah, Mbak Ningsih membuka warung kelontong kecil-kecilan dengan modal yang diberikan oleh suaminya.

Dunia ini tidak pernah sepi dari masalah. Katanya, dunia ini memang tidak akan menjadi surga bagi siapa pun. Mbak Ningsih pun tertimpa petaka. Suaminya menuntutnya untuk segera memiliki anak.

Usia pernikahan Mbak Ningsih sudah lima tahun. Namun, dia belum dikaruniai anak. Padahal, menurut penuturan Mbak Ningsih, dia tidak pernah menunda kehamilan. Bahkan, dia selalu menjaga pola makan dan meminum ramuan kesuburan.

Takdir Tuhan memang tidak bisa dirayu dan kehendak-Nya tidak bisa ditebak. Suaminya lambat laun lebih sering tidak pulang. Hingga akhirnya datang surat cerai kepada Mbak Ningsih. Dia dicerai karena tidak dapat memberikan keturunan setelah lima tahun menikah.

Keadaan semakin runyam karena Bu Summi juga dicerai oleh suaminya. Pak Karto mau menikah lagi. Bu Summi diantar pulang ke rumahnya kembali.

Sekarang, beban hidup keluarga itu semakin berat, bukan hanya ekonomi, tapi juga perceraian. Bu Summi terjerat utang selama hidup dengan Pak Sutro dan dia harus segera melunasinya bila tidak ingin terus beranak pinak.

Pendapatan Bu Summi tetap tak dapat mencukupi. Keadaan memaksanya menggunakan uang Mbak Ningsih dari hasil toko kelontongnya.

Modal usaha toko kelontong Mbak Ningsih pun semakin kecil. Barang semakin sedikit. Banyak pembeli pulang dengan tangan hampa. Mbak Ningsih sudah tidak bisa lagi menyediakan kebutuhan pembeli di sekitar rumahnya. Akhirnya, pembeli bosan dan pindah langganan.

3/

Orang cenderung irasional bila terimpit beban hidup, apalagi bila jatuh pada pesimisme dan tak punya pegangan keyakinan. Mudah marah. Mudah curiga dan tidak percaya. Bahkan, mudah berkonflik dan bertindak kekerasan.

Perempuan ketiga ini dipanggil Nana. Panggil saja Dik Nana. Dia juga anak Bu Summi. Si bungsu. Sekarang masih duduk di kelas tiga sekolah menengah atas.

Awal tahun ajaran baru, semua peralatan dan perlengkapan sekolah Dik Nana dirampas oleh Bu Summi dan Mbak Ningsih. Dia tidak diizinkan lagi sekolah. Dipaksa berhenti. Alasannya, dia dituduh berselingkuh dengan suami Mbak Ningsih dan sering bertemu saat pulang sekolah. Keputusannya, dia tidak diperbolehkan sekolah.

Setelah tiga hari tidak masuk sekolah tanpa kabar, pihak sekolah memanggil orang tuanya, Bu Summi dan Dik Nana. Mereka ditemui di ruang BK. Saat itu ada guru BK dan wali kelasnya.

Sesuatu yang tidak diperkirakan sebelumnya terjadi. Bu Summi dan Dik Nana cekcok di ruang BK. Bahkan, kata-kata tak pantas keluar dari Bu Summi. Untung saja Dik Nana memilih diam dan cukup menangis.

“Suami Mbakmu sendiri ditikung. Kayak sondel kamu!” kata Bu Summi dengan penuh emosi.

Tapi syukur, kejadian itu segera dapat dikondisikan. Hampir tiga puluh menit lamanya suasana di kantor BK begitu hening. Semua yang ada di ruangan itu diam.

Agar semua berjalan sesuai rencana, Bu Summi dan Dik Nana ditempatkan di ruang terpisah. Bu Summi di ruang kepala sekolah, sedangkan Dik Nana tetap di ruang BK.

Saat itu semua persoalan terungkap. Bu Summi bercerita keadaan keluarganya sejak suaminya meninggal hingga menikah lagi dan cerai. Dia juga bercerita apa yang menimpa Mbak Ningsih.

Di ruang BK, Dik Nana juga menceritakan hal yang tidak jauh beda, kecuali tuduhan bahwa dia menjadi wanita simpanan suami mbaknya sendiri, Ningsih. Dia membantah itu semua.

“Sejak Ibu menikah lagi, saya tinggal dengan Mbak Ningsih dan suaminya. Kalau mau ke sekolah saya sering diantar. Saya tidak punya hubungan apa-apa dengan suami Mbak Ningsih.”

Sebenarnya, isu tentang hubungan gelap Dik Nana dan suami Mbak Ningsih itu berasal dari tentangga sekitarnya. Tidak jelas apa tujuan mereka mengembuskan isu itu. Tapi yang jelas, Bu Summi dan Mbak Ningsih termakan isu itu. Dia lupa bahwa perceraiannya karena mereka tidak dapat menghasilkan keturunan.

Setelah pemanggilan itu, Dik Nana kembali lagi bersekolah seperti biasa. Menurut wali kelasnya, kondisi keluarganya belum juga berubah. Terutama soal ekonomi. Tapi Dik Nana cukup dewasa. Hampir semua guru tahu bahwa dia ke sekolah tidak membawa uang saku. Namun, dia tetap punya semangat. Bahkan, dia ke sekolah sambil berjualan gorengan.

“Saya tak mungkin minta uang jajan kepada Ibu atau Mbak Ningsih,” jawabnya ketika dia curhat kepada wali kelasnya.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post