Effi Hastiati

Mengajar di SMP Negeri Kota Cimahi Jawa Barat...

Selengkapnya
Navigasi Web
Ada apa dengan RS. Prof. Dr Soeharso?

Ada apa dengan RS. Prof. Dr Soeharso?

Sebuah teks bacaan jaman SMP tahun 1978, menggelitik ingatan saya. Bacaan itu dari buku pelajaran Bahasa Indonesia yang berjudul Dr. R. Soeharso. Bacaan yang mampu tersimpan lama dalam ingatan, sampai berpuluh tahun lamanya.

Judulnya adalah Dr. R. Soeharso, tulisannya hanya terdiri dari beberapa paragraf. Pastinya berapa paragraf?jujur, saya sesungguhnya sudah lupa, hee. Bagaimana Isi tulisannya secara rinci? Saya sudah lupa juga.

Namun ada yang membekas lama dalam benak, bacaan itu mengulas tentang sebuah rumah sakit di kota Solo. Rumah sakit yang dikenal dengan nama bengkel tulang, karena di tempat itu dibuat kaki palsu untuk membantu orang yang cacat fisik.

Kesimpulan dari bacaan itu adalah begitu berharganya anggota badan, yang sudah diamanahkan Allah kepada kita. Sehingga harus kita jaga, karena tidak bisa dibeli di toko untuk menggantinya bila rusak. Rupanya kesimpulan itulah yang diinput di dalam benak saya saat remaja, yang masih dapat diingat sampai sekarang.

Pada Tahun 1997 diusia sudah dewasa, saya berkesempatan mengunjungi RS. Dr. Soeharso di kota Solo. Begitu saya memasuki gerbang halamannya, seperti sebuah dejavu. Ingatan saya langsung kembali ke jaman SMP. Setelah saya mendapat penjelasan tentang sejarah berdirinya RS Dr. Soeharso. Saya masuk menuju ruang kelas siswa tuna daksa. Saya melihat pemandangan yang berbeda dengan lingkungan saya bekerja, terpampang di depan mata.

Saat memasuki kelas di sekolah tempat saya bekerja, biasanya siswa berebut memasuki pintu kelas. Pintu yang harusnya masuk hanya 2 orang, bisa dipaksa berebut hingga puluhan orang, sambil berteriak-teriak kegirangan. Tetapi di sini jauh berbeda, saya berada di belakang mereka. Berjalan menuju ke kelas dengan tertib perlahan, ada yang menggunakan kruk ketiak, memakai kursi roda bahkan ngesot di lantai.

Rasa iba tertahan di dada, mereka berjalan penuh khusyu menuju ke kelas masing-masing dengan segala upaya. Saya ikuti mereka dari belakang dengan hati trenyuh. Sampai di kelas, saya sapukan pandangan ke sekeliling kelas. Waktu itu tidak nampak sedikitpun coretan di meja, begitu pun di dinding kelas, semua tertata rapi dan bersih. Keadaan yang jauh berbeda dengan sekolah-sekolah biasa pada umumnya.

Akhirnya saya tiba di kelas untuk tuna grahita, yaitu kelas untuk mereka yang memiliki keterbelakangan mental. Sebelum masuk ruang kelas, saya dapati ada kamar berukuran kecil. Ruangan yang hanya berisikan sebuah tempat tidur, mirip ruang periksa dokter. Katanya itu adalah tempat untuk melakukan therapy. Sayang saat itu sedang tidak ada kegiatan therapy, sehingga saya tidak mengetahui bagaimana tekniknya.

Memasuki ruangan belajar untuk siswa tuna grahita nampaknya jauh beda dengan dugaan saya, di ruang itu lebih mirip rumah daripada kelas. Waktu itu ruangan dalam keadaan kosong, di dalamnya hanya tampak ada meja setrika, meja makan dengan segala kelengkapannya. Ternyata pembelajaran yang diberikan bagi mereka lebih menitik beratkan kepada melatih untuk bisa melayani keperluan sendiri. Seperti makan, minum, mandi tanpa bantuan orang lain, yang dilatihkan bertahap sesuai dengan keadaan siswa.

Pengalaman ini sangat bermakna banyak bagi diri saya. Semula saya beranggapan bahwa anak belajar untuk memiliki ilmu sebagai bekal kelak di dunia kerja, sehingga dapat memiliki penghasilan sendiri. Tetapi ada yang terlupa, bahwa tugas pertama yang harus dilakukan adalah kemampuan untuk menolong diri sendiri, lantas kemampuan untuk bermanfaat bagi orang lain. Sehingga semua yang kita lakukan menjadi amal shaleh, ladang amal yang akan menjadi bekal hidup di akhirat. Di dalam dunia pendidikan dikenal ada istilah pendidikan informal (di rumah), formal (lembaga/sekolah) dan non formal (kursus). Pada hakekatnya pendidikan ini harus saling bersinergi.

Pengalaman tersebut menjadi bekal yang selalu saya ingat, sehingga acap kali saya sampaikan kepada siswa saya. Mereka harus belajar mandiri, dan mau melakukan pekerjaan domestik di rumah. Mulai dari merapikan tempat tidur sendiri, merapikan alat pelajaran sendiri, merapikan pakaian sendiri. Hal tersebut adalah bukti syukur kepada Allah yang telah memberikan jasad yang sempurna.

Mengapa hal ini begitu penting ditanamkan? Karena akhir-akhir ini saya sering melihat, orangtua begitu memprioritaskan masalah akademis. Orangtua rela menyekolahkan dan mengkursuskan putra putrinya mengeluarkan biaya tinggi, demi mengejar harapan bisa mendapat pekerjaan yang memberi penghasilan tinggi. Tetapi ada yang terlupakan, mereka tidak dilatih untuk ikut terlibat dalam kegiatan sehari-hari di rumah. Kadang masih saya temui siswa SMP masih disuapi makan oleh orangtuanya. Bahkan ketika disuruh makan oleh orangtua mereka sangat sulit, bahkan harus dibujuk atau malah ngambek. Padahal semestinya diusia mereka harusnya terlibat dalam kegiatan menyiapkan makanan di rumah atau membantu kegiatan yang lainnya di rumah.

Semoga tulisan ini bisa kembali menggugah apa makna pendidikan sesungguhnya. Bahwa pendidikan informal di rumah adalah dasar pendidikan yang harus ditanamkan oleh orangtua, dilanjutkan dengan pendidikan formal di sekolah dan nonformal di lembaga kursus. Sehingga siswa akhirnya bisa menjadi manusia yang paripurna.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post