Inspirasi dari Sarimas Hotel
Hujan mengguyur daerah Ciater, ketika saya turun dari angkutan jurusan Bandung Subang. Alhamdulillah pak sopir yang baik, menyebrangkan mobilnya ke arah kanan jalan sehingga cukup sekali loncat saya dapat berteduh di warung pinggir jalan.
Saya sudah berada di Gerbang Hotel dan Resort Lembah Sarimas Ciater. Sejenak saya menunggu hujan yang cukup deras, karena saya tidak membawa payung. Teman seperjalanan dari LPMP Jawa barat, nampaknya juga memilih menunggu hujan reda walaupun saya lihat ada payung di tangannya.
Saya baru pertama kali mengikuti kegiatan di hotel ini, sehingga belum akrab dengan lingkungan sekitarnya. Hanya dari jauh tadi terlihat ada kubah mesjid yang berwarna biru di bagian depan hotel, sebagai ciri khas tempat ini. Namun seberapa jauh letak front office-nya dari jalan raya, saya belum mengetahuinya. Agak tidak sabaran menunggu hujan reda, saya mencoba berjalan diantara pinggiran bangunan warung agar lebih mendekat ke arah gerbang. Dan akhirnya setelah hujan mulai mereda saya segera berlari menuju arah masuk hotel.
Seorang security dari arah berlawanan sudah siap menyongsong saya dengan payung. Saya diantar sampai ke kantor hotel, ternyata cukup jauh juga tempat yang harus saya tuju untuk melakukan ceck in hotel.
Pemandangan pertama yang saya lihat adalah bangunan mesjid yang sangat cantik dan bersih. Semakin ke dalam saya melihat pemandangan yang indah di antara bukit-bukit hijau yang terhampar sepanjang mata memandang. Mungkin tempat ini sekitar 10 hektar atau lebih karena sangat luas.
Setelah melapor, saya ditempatkan di Cempaka 3. Seorang office boy dengan sigap membawa tas pakaian yang saya tenteng dan mengajak naik motor. “Kamarnya dimana? Jauh gitu?” kata-kata itu meluncur dari mulut saya dengan penuh tanda tanya.
Di bawah rintik hujan, saya duduk di belakang motor dengan memegangi payung biru menuju cempaka 3. Jalanan turun yang sangat curam membuat saya tak sadar memegang pinggang OB, dan wow setelah itu motor belok kanan menuju tanjakan yang sangat terjal. Saya sangat kaget melihat medan seperti itu, sedikit rasa takut hinggap waktu motor menuju tanjakan tadi.
Meskipun kaget dengan jalannya yang curam, tetapi saya ingin membiasakan diri untuk tetap bersyukur dan tidak mengeluh. Saya ucapkan “Alhamdulillah”, karena semua bagian hidup yang sedang saya jalani adalah sekenarioNya. Kebiasaan yang saya lakukan biasanya membuat saya tetap happy melakukan apapun. Karena dengan cara itu saya merasa akan muncul sinergi antara mental dan fisik saya.
Saya menuju pintu cempaka 3 setelah menaiki tangga setinggi 3 meter. Cempaka 3 adalah bangunan rumah atau bungalow yang tampak dari luar cukup besar.
"Assalamualaikum" saya masuk pintu depan yang terbuka. Saya disambut teman-teman yang sudah berada di dalam, saya salami satu-per satu sambil menyebut nama masing-masing. Ada teman saya dari Kota Cimahi sudah lebih dahulu berada di Cempaka 3, dan yang lainnya berasal dari Kabupaten Majalengka. Ternyata ada seorang diantara mereka yang kenal saya, tapi saya lupa. Setelah diingat-ingat, kami pernah bertemu di suatu kegiatan di Lembang.
Bagian dalam tempat saya menginap cukup nyaman, bersih dan wangi, meskipun lokasinya paling ujung. Terdiri dari 3 kamar tidur yang diisi masing-masing untuk 3 orang peserta dengan 1 ekstra bed. Satu kamar mandi di dalam kamar tidur dan 1 kamar mandi di luar kamar tidur.
Ruang tamu dan ruang makan menyatu jadi satu dengan 2 sofa dan 2 kasur terhampar di depan lemari yang di atasnya ada sebuah pesawat televisi, dan sebuah pesawat telepon. Di meja makan sudah tersedia beberapa gelas minum terbungkus tisu bersih di atas nampan dan satu buah dispenser di atas meja kecil.
Setelah sejenak beristirahat dan shalat, menjelang pukul 16.00 wib kami menuju ke aula untuk melakukan pembukaan acara. Saya sudah persiapkan mental untuk berjalan melewati medan yang tadi. Tetapi teman saya menghubungi 0161 melalui telepon, dan tidak begitu lama jemputan L300 siap mengantar kami dengan setia, selama kegiatan berlangsung.
Pak Ade, begitulah nama sopir yang setia menjadi teman bercanda kami ketika pulang atau pergi menuju kelas kami di Kubir (Kubah Biru). Begitu pak Ade datang biasanya secara spontan kami bersorak menyambut, bak pahlawan datang dari medan perang.
Sambil berteriak “Abah datang....abah datang!”. Kami berebutan masuk seperti anak TK, agar dapat tempat di dalam mobil. Karena pilihan jalan kaki melewati medan yang curam dan terjal cukup menguras tenaga. Dan mengakibatkan lingkar betis kami semakin bertambah...ha..ha.
Sepanjang jalan ada saja pertanyaan yang diajukan kepada pak Ade. Mulai dari siapa pemilik Hotel sampai berapa gaji pak Ade satu bulan. Dan ternyata gajinya pak Ade sama dengan PNS pangkat Pembina lho? Beliau juga sudah naik haji dengan biaya perusahaan. Dasar ibu-ibu kepo ya..he..he.
Melalui omongan dari mulut ke mulut, bisik-bisik diketahui pemiliknya adalah seorang bapak yang sering kami temui di atas kursi roda, berasal dari Ambon katanya. Kami biasa melihat beliau di ruang makan. Pernah juga pagi-pagi saya melihat didorong seorang wanita berjilbab menuju ke arah mesjid dan beliau baru keluar dari mesjid setelah melaksanakan Isya berjamaah.
Saya sendiri pertama melihat beliau ketika saya letakkan tas di lantai luar mesjid yang bersih. Saat itu sedang berselfie tipis-tipis dengan teman sekamar beberapa meter dari tempat itu. Begitu saya mau mengambil kembali tas saya, dari arah dalam saya lihat pria berkursi roda mendekat, namun terhalang rantai besi, saat itu saya hanya manggut memberi hormat. Mungkin beliau khawatir melihat tas tergeletak di lantai tanpa ditunggui pemiliknya.
Rasa penasaran dengan isu-isu yang beredar, akhirnya saya buka hp untuk browsing tentang siapakah pemilik sebenarnya Lembah Sarimas Hotel dan Resort ini. Setelah saya dapat informasinya, segera saya ceritakan kepada teman sekamar, yang sangat antuis mendengarnya. Saya duduk di sofa bekas tidur semalam, dikelilingi teman-teman yang setia mendengar saya bercerita.
Ya..di malam terakhir, kami berempat memilih tidur di luar kamar. Dua orang di kasur di lantai dan 2 orang di atas sofa. Saya sendiri sudah sejak hari ke dua memilih tidur di sofa, karena saya lebih suka tidur di ruang yang temaram, tidak terlalu terang dan tidak terlalu gelap. Tidur di ruang tengah di atas sofa, apabila lampunya dimatikan tidak terlalu gelap, karena masih ada cahaya lampu dari ruang lain.
Bapak Haji Ibrahim Soelaeman, adalah pemilik Hotel seluas 4,5 Hektar ini. Beliau adalah seorang pengusaha muslim kaya, yang memiliki banyak kontrakan eks patriat di Jakarta Selatan. Dan menjadi tuan tanah di Jakarta, Ambon, Subang, Lampung dan Singapura. Beliau pernah mewakafkan tanahnya untuk Pesantren Gontor 9 di Lampung seluas 6 Hektar. Beliau lahir di Ambon 10 Maret 1937, berarti usianya sekarang sudah 80 tahun.
Kehidupan masa kecil pak Ibrahim Soelaeman, cukup prihatin. Beliau saat libur sering membantu ibunya dengan berjualan cabe dan sagu. Pada masa muda beliau pernah membantu mengangkat senjata menumpas penjajahan dan aktif di palang merah mengurusi yang sakit. Setelah tamat SD beliau ikut tentara Batalyon Infantri 352 yang berpusat di Semarang di bawah pimpinan kolonel Slamet Riyadi.
Ketika rombongan sampai di Jakarta, beliau memutuskan pindah ke Batayon Pattimura. Komandannya saat itu menawari untuk melanjutkan sekolah. Akhirnya pak Ibrahim Soelaeman memutuskan menetap di Jakarta untuk melanjutkan sekolah, hingga tamat SLTA pada tahun 1957.
Prestasinya sangat bagus untuk sejarah dan ekonomi, sehingga mendapat tawaran mengajar di almamaternya. Beliau mengajar sambil meneruskan kuliah di UI fakultas hukum dan ilmu pengetahuan masyarakat.
Kuliahnya hanya sampai tahun ke tiga, karena setelah menikah di usia 21 tahun, beliau harus mencari nafkah untuk keluarganya. Hasratnya berbisnis semakin kuat, melihat teman-temannya yang sudah sukses. Akhirnya beliau memulai bisnis dengan berjualan beras di pasar.
Keuletannya berjualan beras berawal hanya bermodal kepercayaan dari Bulog, yang akhirnya menjadi distributor beras di wilayah Jakarta. Sementara untuk gudang penyimpanan beras, beliau mendapat bantuan salah satu bank yang memiliki gudang yang tidak terpakai. Gudang tersebut beliau sewa kepada pihak bank. Akhirnya pihak bank memberi kepercayaan dengan meberi pinjaman sebesar 10 juta rupiah.
Pada tahun 1961, beliau memborong cengkeh dari Ambon untuk dibawa ke Jakarta, dari hasil penjualan cengkeh beliau dapat membeli dua gudang. Bulog menambah kepercayaan untuk membongkar muatan kapal dari luar negeri sekaligus mengangkut ke gudang penyimpanan.
Hasil keuntungan usahanya, beliau belikan tanah seluas 3000m2 yang awalnya masih berupa rawa seharga 30 juta pada tahun 1977.
Tahun berikutnya ada warga Denmark yang berminat untuk tinggal di rumah pak Ibrahim Soelaeman, dengan harga sewa 60 juta selama lima tahun. Dari keuntungan tersebut dibangun rumah di tempat yang lain. Dan akhirnya beliau menjalani usaha properti, dengan membangun rumah kontrakan untuk eks patriat.
Usahanya semakin maju sehingga berkembang di bidang jasa ekspedisi, bekerja sama dengan Hyundai dalam pembuatan tol jagorawil, sebagai pemasok bahan konstruksi. Bekerjasama dengan pabrik semen, dengan perusahaan Amerika semikonduktor di Cibubur. Mengekspor sayuran ke Belanda. Mengekspor binatang hidup untuk penelitian kesehatan ke Eropa dan Rusia.
Pada tahun 1993 pak Ibrahim Soelaeman mengajak anaknya yang menderita lumpuh untuk menjalani terapi air panas di Ciater Subang. Setelah menjalani selama satu tahu dua bulan di pusat rehabilitasi dan spa. Putranya tersebut yang bernama pak Monthy mendapat kemajuan pesat, meskipun belum bisa melepaskan diri dari kursi rodanya dan merasa betah tinggal di daerah Ciater Subang.
Melihat keadaan putranya, beliau membangun hotel bernuansa Islami untuk usaha keluarganya. Usaha ini berawal dari tanah satu hektar hingga 4,5 hektar dan terdiri dari 46 bungalow, dua kolam renang, lapangan tenis, ruang fitnes, dua restoran, dua ruang pertemuan dan setengah hektar khusus untuk masjid indah di depan pintu gerbang.
Pembangunan mesjid, menggunakan uang hasil penjualan rumah istrinya seharga 5 milyar. Mesjid indah di atas tanah seluas 1500 m2 dengan dana 7 milyar untuk pembangunannya, menggunakan nama istrinya as-Sa’adah. Diresmikan pada 12 Juni 2003 oleh KH Abd. Syukri Zarkasyi dan KH. Abd Gymnastiar. Mesjid ini bisa menampung 1500 hingga 1800 jamaah, dan bisa menjadi tempat wisata rohani dan syiar Islam. Tidak jauh dari bangunan mesjid, ada TK Ar-Rahman, gurunya digaji dari hasil hotel. Para siswanya tidak dipungut bayaran, mulai dari seragam, buku hingga SPP.
Saya bersyukur sekali bisa berada di tempat ini, selain mendapat ilmu dari kegiatan yang saya ikuti. Juga mendapat inspirasi dari pemilik hotel ini. Seorang pengusaha muslim ulet yang dermawan yang mampu mensejahterakan orang-orang sekitarnya.
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
Kalau sama bu Dati pasti ada sesi wawancara ke pak Monty ya...hee
Terimakasih pak, tulisan pak Ahmad lebih keren
Terimakasih pak, tulisan pak Ahmad lebih keren
Woww..kerenn
Keren Bu Effi, salam kenal sudah saya follow