Effi Hastiati

Mengajar di SMP Negeri Kota Cimahi Jawa Barat...

Selengkapnya
Navigasi Web
Serpihan Perjalanan
https://cdn.tmpo.co/data/2013/02/25/id_169353/169353_620.jpg

Serpihan Perjalanan

Hari ini untuk kesekian kalinya aku berada di sini, di dalam angkutan kendaraan jurusan Subang - Bandung. Sendirian diantara para lelaki yang akan mencari nafkah menuju ke kota Bandung. Aku masih menggunakan seragam dinas, yang masih melekat sejak siang tadi. Karena tidak sempat berganti pakaian, sementara tadi aku harus berkejaran dengan waktu. Memburu kendaraan yang akan mengantarku kembali ke kota asalku.

Aku hanya dapat memandangi jendela hitam kelam, karena hari memang sudah larut malam. Daun-daun di sepanjang jalan membayang bergoyang-goyang, ditiup angin malam. Sorot lampu berkelebat manakala ada kendaraan dari arah lawan berjalan. Perjalanan melewati kelokan jalan yang disertai dengan tanjakan curam, menembus kegelapan malam. Membelah daerah pegunungan yang penuh dengan hamparan pohon teh di sepanjang tepian jalan. Tetapi malam ini semua hanya hitam dan kelam. Badanku agak menggigil menahan hawa dingin yang mulai menusuk badan, aku lupa mengenakan jacket. Karena tadi siang aku berangkat dari daerah yang berhawa sangat panas untuk segera buru-buru jalan.

Sementara itu fikiranku tetap berjalan dan mata ini tak mau terpejam, mengingat putriku semata wayang yang terpaksa harus kutinggalkan, demi masa depan keluargaku. Remuk badan ini seolah sudah tak kurasakan, tiupan angin malam harus kulawan setiap sabtu malam. Menempuh perjalanan menuju kampung halaman.

Pamanukan-Bandung seolah jadi saksi, aku bertahan dengan keadaan yang tidak pasti. Keadaan yang kadang agak mencekam. Manakala aku harus deg-degan. Menunggu kendaraan yang hampir tidak bisa jalan. Menunggu penumpang hingga pas-pasan.

Ini adalah tahun ke tiga perjalanan yang aku tempuh setelah usahaku meminta pindah kerja, belum juga dikabulkan. Aku memang harus bertahan. Sejak kuputuskan aku mengambil pekerjaan ini walaupun harus berjauhan dengan suami dan keluarga. Ternyata kenyataan yang harus kuhadapi bukan hanya jauh dari suami tetapi aku juga akhirnya harus berjauhan dengan anak yang masih bayi.

Anakku baru berusia 4 bulan ketika aku bawa pertama kali ke Pamanukan dimana aku ditempatkan sebagai guru SMP setelah lulus dari IKIP Bandung satu tahun yang lalu. Tetapi ketika menginjak usia 7 bulan akhirnya ibuku menjemputnya untuk dibawa ke Bandung dan berada dalam pengasuhan ibu. Ibu sangat hawatir dengan keadaan cucu pertamanya. Udara yang panas dan kondisi air yang tidak cocok mengakibatkan bayiku mengalami iritasi kulit yang berkepanjangan.

Beruntus merah di dahinya membuat bayiku harus menahan rasa perih berkepanjangan, karena tak kunjung sembuh setelah diupayakan menggunakan salep atau obat tabur seperti bedak bayi. Dengan berat hati aku menyetujui keinginan ibu mengasuh bayiku. Ibu memberi sebuah alasan agar aku bisa fokus bekerja tanpa harus bercabang fikiran, menjaga bayiku di temat kost dengan hanya ditemani adikku yang laki-laki.

Adikku sejak mengalami konflik dengan ayah, minggat dari rumah setahun yang lalu. Namun ketika mengetahui aku ditempatkan di Pamanukan, diam-diam mengunjungi rumah sahabatku, sehingga akhirnya aku bisa bertemu muka lagi setelah satu tahun menghilang. Selanjutnya memutuskan ikut denganku untuk menjaga bayiku ketika aku bekerja.

Mungkin juga keputusan ibuku mengasuh bayiku karena beliau berfikir sampai kapan adikku sebagai seorang laki-laki yang baru saja lulus sekolah, hanya menghabiskan waktu untuk mengabdikan diri kepada kakak, sebagai pengasuh anak. Dengan keputusan itu akhirnya setelah bayiku dibawa oleh ibu, adikku dapat ikut menjadi honorer di sekolah yang sama denganku, karena memang masih membutuhkan banyak pegawai.

Aku mendapat tugas mengajar di SMP Negeri yang letaknya jauh di pelosok desa yang infra strukturnya masih jauh tertinggal dengan daerah asalku pada saat itu. Kehidupan masyarakatnya masih banyak yang belum memiliki pendidikan tinggi, umumnya masyarak buruh tani dan nelayan. Perjalanan menuju ke desa ini dari rumahku di Bandung ditempuh selama hampir lima jam. Setelah aku menggunakan bis atau kendaraan elf, aku harus melanjutkan menggunakan ojek menyusuri tanggul yang hanya cukup untuk 2 motor saling berpapasan.

Pemandangan di sepanjang perjalanan, ketika pertama kali aku menggunakan ojek sangat menakutkan, jurang berada di samping kanan jalan yang berupa hamparan waduk berisi genangan air yang keruh berwarna coklat. Tetapi bagi sang ojek tidak demikian, karena mungkin sudah terbiasa tidak kelihatan takut saat menggoncengku di belakang. Ojek melaju dengan gesit, sementara aku berusaha berpegangan ke baju sang ojek dengan rasa takut.

Bayiku kugendong dengan erat sambil sebelah tangan memegang erat tas pakaianaku. Setelah setengah jam kutempuh perjalanan menggunakan ojek akhirnya aku sampai di sebuah desa yang bernama Legon Kulon. Suatu daerah yang masih memiliki bentangan sawah yang terhampar diantara satu dua rumah hunian, dengan hawa yang cukup panas menyengat.

Ketika pertama datang aku langsung mendapat rumah kost dengan mudah, di sebuah rumah yang cukup bagus di desa ini. Pemiliknya adalah seorang janda yang memiliki anak dua. Si sulung masih duduk di SMA kelas dua. Sedangkan anak ke duanya masih duduk di SMP kelas dua.

Aku diberi tempat di bagian belakang rumah. Hanya satu kamar tetapi berukuran cukup luas. Ketika kubuka jendela aku dapat melihat lapangan luas yang biasa digunakan untuk menjemur padi hasil panen. Tempat ku mengajar tidak jauh letaknya dari sini. Aku cukup berjalan sekitar lima menit, sudah sampai di sekolah tempatku bekerja. Hal yang kurang nyaman berada di rumah ini, adalah kamar mandinya yang terpisah dengan bangunan rumah, berada di belakang rumah beberapa meter dan tanpa atap.

Aku mengajar di SMP yang baru membuka kelas baru untuk siswa kelas satu pada saat itu. Sekolah tersebut belum memiliki bangunan sendiri, jadi masih menggunakan bangun SD. Sehingga kegiatan mengajar dilakukan saat murid SD sudah pulang. Sekitar pukul 12.30 sampai pukul 17.00.

Setelah bayiku berada dalam pengasuhan ibu, setiap sabtu sore selesai mengajar aku langsung memburu ojek untuk mengantarku ke Kota Kecamatan Pamanukan. Setelah itu dilanjutkan menggunakan angkutan lain berupa elf menuju terminal Subang. Biasanya ketika waktu sudah magrib baru tiba di terminal ini. Di sini aku tidak pernah sempat mendapatkan bus yang ongkosnya lebih murah untuk jurusan Subang- Bandung, karena biasanya paling akhir bus hanya ada sampai jam 17.00. Pilihan lainnya aku harus menggunakan colt, angkutan yang ukurannya lebih kecil dari elf.

Kendaraan Colt adalah pilihan satu-satunya agar aku dapat melanjutkan perjalanan ke Bandung ketika waktu sudah lewat maghrib. Namun Colt ini biasanya ngetem, sehingga membuat waktuku banyak terbuang. Mungkin karena penumpang sudah mulai berkurang untuk menuju Bandung di waktu malam. Kerapkali sopir meminta tambahan ongkos apabila kendaraannya tidak sampai penuh oleh penumpang. Penumpang yang umumnya adalah para pekerja yang domisilinya di Bandung tidak memiliki pilihan lain, biasanya menyetujui permintaan sopir. Apalagi seperti aku, tidak mungkin kembali ke Pamanukan yang sudah aku tempuh jauh dari tadi siang. Seandainya angkutan tidak jadi berangkat, dimana aku harus menginap?. Karena aku tidak memiliki saudara atau kenalan di Subang.

Saking seringnya menempuh perjalanan seminggu sekali ke Bandung, akhirnya ada sopir yang mengenaliku sebagai penumpang jurusan Bandung. Kebetulan garasinya di Jl. Garuda, biasanya kalau sedang beruntung bertemu aku diantarkannya sampai Cimindi. Sehingga aku tinggal satu kali lagi menggunakan angkot menuju rumahku. Setelah itu aku harus berjalan kaki sekitar 500 meter dikegelapan malam menuju rumahku, biasanya sekitar jam 22.00 aku baru sampai di depan pintu rumahku.

Suatu saat kejadian yang mengenaskan terjadi padaku, mungkin lelah yang sudah teramat sangat. Ketika itu aku sedang berada di angkutan jurusan Bandung Cimahi untuk turun di Cimindi. Perasaan tidak nyaman aku rasakan sejak angkot sudah berada di jalan Pajajaran. Tepat ketika berada sekitar di jalan Baladewa, aku merasa penglihatanku mulai kabur. Hati kecilku ingin turun untuk menuju rumah nenek di Cipedes Baladewa. Tetapi kesadaranku masih mampu berfikir, menuju rumah itu aku harus naik becak yang hanya bisa sampai di ujung makam Baladewa.

Selanjutnya harus melewati jalanan menanjak terjal yang tidak mungkin dilewati becak. Berarti aku harus jalan kaki, menyusuri sungai melewati air terjun yang lumayan deras, suara air terjun biasanya cukup mengaburkan suara orang bicara di sekitar itu. Aku merasa tak sanggup dapat menjaga kesadaranku berjalan sejauh 500 meter di tepian sungai yang deras itu.

Sebelum lamunanku usai, mungkin orang sekitarku sudah melihat gelagat aku kehilangan kesadaran. Antara sadar dan tidak aku tersadar ketika sudah dipapah 2 orang pria yang mengantarku ke rumah sakit Rajawali. Aku masih bisa mengingat ketika harus menyebrang jalan menuju rumah sakit. Tetapi sebelumnya ada bagian yang hilang dalam ingatanku. “Apakah aku sudah bayar ongkos angkotnya, atau belum waktu itu ya?Namanya juga tidak sadar alias pingsan, mohon maaf aku ya pak sopir?”

Aku dibaringkan di tempat tidur UGD, setelah pemeriksaan dokter akhirnya diputuskan aku harus dirawat. Dua orang yang mengantarku bukan orang yang saling kenal, entah mengapa mereka spontan mau menolongku. Seingatku satu orang beralamat di jalan pesantren Cibabat Cimahi, beliau menanyakan alamatku untuk memberitahu keadaanku kepada keluargaku. Seorang lagi adalah orang yang menungguiku sampai selesai aku dimasukkan ke ruang perawatan. Beliau baru pulang setelah suamiku tiba di Rumah Sakit.

Kondisi tidak sadarkan diri membuatku tidak sempat bertegur sapa kepada sang penolong, sehingga tidak mengetahui nama maupun alamat mereka dengan pasti. Hanya satu harapku semoga kebaikan dan ketulusan mereka menolongku saat itu, sebagai ladang amal yang baik dan berbuah pahala.

Menjaga agar kejadian pingsan di jalan tidak terulang lagi, hari-hari berikutnya ketika aku merasakan gelagat yang sama. Aku memutuskan untuk turun di jalan Baladewa dan aku melanjutkan naik becak, sampai di ujung makam Baladewa. Dengan hati-hati aku menyusuri jalan dan kupingku dipasang erat-erat sedikit menjauh dari pinggir sungai. Akhirnya sampai juga di depan pintu rumah nenek. Begitu pintu terbuka aku langsung masuk ke kamar depan. Kurebahkan badanku yang sudah tak berdaya. Bibiku segera mengambilkan air putih untukku. Dan tanpa malu aku minta diambilkan sepiring nasi, karena sangat lapar.

Mungkin tubuhku setelah setiap minggu selama hampir 4 tahun lebih harus pulang balik Subang Bandung, sudah tidak kuat lagi. Lelah menempuh perjalanan malam yang jauh dengan berganti kendaraan beberapakali. Lapar yang ditahan karena memburu waktu agar tidak kemalaman, sehingga tak sempat mampir untuk membeli makanan, kadang kalau beruntung bisa beli roti dari penjaja makanan yang menghampiri, tapi itu jarang terjadi.

Padahal awalnya atau tepatnya dua tahun pertama perjalananku lebih berat, waktu itu belum memiliki rumah sendiri, aku pulang pergi dari rumah orangtua di Cihampelas Cililin Kabupaten Bandung Barat menuju ke Pamanukan yang biasa disebut kota Dolar (sebenarnya Dolar adalah akronim dalam bahasa Sunda, karena kebiasaan orang desa yang tidak memiliki kakus, sehingga buang hajatnya selalu dilakukan di sawah yang sedang mengering pasca panen atau di pinggiran sungai) Ih..jijik memang mengingat semua. Waktu itu jarang ada rumah di desa itu yang memiliki WC, meskipun rumahnya bagus.

Perjalanan saat itu lebih ajaib lagi, karena jam sembilan aku masih berada di sekitar Cimahi. Di suasana malam yang sudah sepi biasanya aku masih berada di seberang mesjid agung Cimahi untuk menunggu angkutan jurusan Cililin. Apabila beruntung aku dapat sampai sekali jalan, langsung menuju ke desa Cihampelas tempat orangtua berada. Tetapi apabila sudah terlalu larut malam aku mengambil kendaraan sesampainya. Biasanya transit di Batujajar menggunakan angkutan kecil yang masih berkeliaran sampai larut malam. Selanjutnya aku mencari ojek, untuk melanjutkan perjalanan.

Keadaan saat itu membuat aku tidak banyak berfikir jauh, jadi aku harus terbiasa mencari jalan keluar dari kondisi yang sedang aku hadapi secara spontan. Apabila tak kudapati kendaraan, aku melanjutkannya dengan ojek. Biasanya aku baru sampai rumah sekitar pukul 23.00. Namun seringkali keberuntungan aku dapatkan ketika aku memutuskan naik kendaraan jurusan Batujajar, karena tidak ada lagi kendaraan menuju ke desaku, ada saja supir yang baik hati sengaja mengantarku sampai ke depan pintu rumah, meskipun hanya aku sendiri penumpangnya. Aku biasanya menambah ongkos sebagai tanda terimakasih.

Mencoba jalan alternatif lain pernah aku coba sebagai ikhtiar mempercepat waktu tempuh. Dari Pamanukan aku naik bis menuju Cikampek. Perjalanan melalui jalur ini melewati daerah perkotaan yang ramai. Namun ternyata lalu lintas kendaraan yang padat dan ramai membuat perjalananku semakin lama. Waktu yang terlalu larut membuat aku pernah terdampar di Cimareme. Menunggu sekian lama tak ada lagi kendaraan yang lewat, maklum saat itu masih sekitar tahun 1986. Akhirnya aku menyewa ojek untuk mengantarkan ke desa Cihampelas tempat orangtuaku tinggal.

Pernah suatu saat aku harus mengambil berkas untuk keperluan dinas, dengan menempuh perjalanan pulang pergi di hari kerja. Padahal biasanya aku menuju ke Pamanukan selalu mengambil waktu Senin pagi untuk mengejar waktu mengajar di sekolahku yang berlangsung siang sampai sore hari.

Dalam perjalanan sekali-kalinya yang pernah aku lakukan saat itu, pergi ke Pamanukan di sore hari ternyata sangat menyulitkanku. Kendaraan yang ngetem sejak berada di Statsiun Bandung, yang merupakan terminal kendaraan menuju ke Subang. Membuat aku harus menempuh perjalanan semakin sore menuju ke Subang. Namun karena aku tidak memiliki kerabat di Subang, aku harus melanjutkan perjalanan menuju ke Pamanukan saat itu juga walau hari sudah malam. Hujan angin yang sangat besar terjadi saat itu, menyebabkan kendaraan jurusan Pamanukan tidak mau melanjutkan perjalanan karena di daerah Binong terjadi banjir. Saat itu aku bersama penumpang lain baru sampai di daerah sebelum Pagaden.

Teman seperjalanan di sebelahku memahami kesulitanku saat itu, dia seorang pemuda yang usianya masih di bawahku. Dengan bahasa yang santun dia menawarkanku untuk menginap di rumahnya yang kebetulan berada di pinggir jalan. Dia menyarankan aku melanjutkan perjalanan esok hari dengan mengambil kendaraan paling pagi menuju ke Pamanukan.

Sedikit ragu aku mengikuti sarannya, keraguanku karena rasa khawatir. Orangtua pemuda tersebut mungkin tidak setuju tiba-tiba anaknya membawa perempuan tak di kenal untuk menginap di rumahnya. Tapi aku tidak memiliki pilihan lain. Perjalanan sudah separuh jalan yang aku tempuh dari Bandung menuju ke Pamanukan. Aku tidak mungkin kembali ke Bandung dalam keadaan hujan angin sangat deras. Dengan sedikit ragu akhirnya aku mengikutinya turun di depan rumahnya.

Rumah itu bercat coklat, hanya itu yang dapat aku lihat. Kondisi lainnya tidak dapat aku ingat pasti, karena hari sudah gelap dan kondisi hujan deras. Setelah mengetuk pintu dan mengucapkan salam, pemuda tadi masuk untuk sedikit memberi penjelasan kepada orangtuanya, sementara aku menunggu sesaat di luar. Setelah itu segera orangtua pemuda tadi mempersilahkanku untuk masuk dan langsung menempatkanku di kamar depan. Sedikit berbasa-basi dan ucapan terimaksih aku sampaikan kepada keluarga itu. Selanjutnya karena badan lelah aku segera merebahkan badan untuk beristirahat di rumah orang yang baru saja aku kenal dalam perjalanan.

Pagi-pagi sekali aku segera pamit, tanpa menunggu semua penghuni rumah terbangun aku bergegas melanjutkan perjalanan menuju ke Pamanukan. Aku tak ingin lebih merepotkan kepada penghuni rumah. Karena dengan diberi tumpangan gratis pun aku sudah sangat bersyukur. Keadaanku yang tidak berencana menginap tidak ada persiapan pakaian ganti yang aku bawa. Sehingga aku tetap menggunakan pakaian yang melekat di badan untuk tidur dan kembali melanjutkan perjalanan ke Pamanukan.

Sementara kegiatan rutin yang biasa kujalani adalah seminggu sekali setiap Senin pagi memburu angkutan menuju kembali ke tempat kerja. Kutinggalkan bayiku yang sedang lucu-lucunya. Dengan harapan aku akan segera dipindah tugaskan ke daerahku. Aku diantar suamiku sampai ke terminal Statsiun Bandung tempat angkutan jurusan Subang. Aku berpamitan, kemudian berpisah.

Suami langsung menuju tempat kerja yang letaknya di jalan Pajajaran. Aku sendiri langsung menuju angkutan umum berupa mini bus. Aku biasanya memilih duduk di belakang supir, tempat yang menurutku paling nyaman. Tidak berapa lama menunggu, akhirnya kendaraan penuh dan segera berangkat meninggalkan kota Bandung. Setelah kendaraan sampai di Subang aku harus melanjutkan perjalanan dengan berganti kendaraan lain menuju Pamanukan yang merupakan sebuah kota kecamatan di pantai utara.

Lalu lintas menuju ke Subang masih agak sepi saat itu, sepanjang pinggiran jalan terlihat perkebunan teh yang hijau permai, indah dipandang mata. Setelah melewati Subang pemandangan berganti, berupa hamparan sawah yang luas sejauh mata memandang. Keadaan di kota pamanukan cukup ramai, karena merupakan jalan lintas propinsi yang menghubungkan Jawa Barat dengan Jawa Tengah lewat jalur utara.

Letak desa tempatku mengajar masih di pelosok lagi dan harus kulanjutkan dengan mengendarai ojek. Biasanya sambil lewat di Pamanukan aku membeli beberapa makanan, karena di desa Legonkulon masih jarang warung, dan itupun tidak lengkap. Jarang aku temukan makanan yang enak di desa itu.

Sebenarnya untuk menuju Legon Kulon ada kendaraan roda empat yang dapat aku tumpangi, tetapi harus menunggu cukup lama. Biasanya angkutan tersebut merupakan pilihan para pedagang, seperti pemilik warung yang habis belanja bahan jualannya, atau penjual ikan yang berasal dari Pondok Bali, pantai yang letaknya searah dengan desaku. Sehingga tidak jarang di dalam kendaraan penuh sesak dengan barang jualan, kadang tercium bau amis ikan yang disimpan di box besar. Keadaan jalanan belum beraspal, batu-batu besar yang dijumpai di sepanjang jalan, siap menggoncang-goncang seluruh penumpang. Aku lebih merasa nyaman menggunakan ojek, karena lebih cepat dan jalannya lebih mulus walaupun hanya berupa hamparan tanah tanpa aspal.

Sesampainya di Legon Kulon biasanya aku langsung menuju rumah kontrakanku. Aku pernah empat kali pindah tempat tinggal. Pertama aku menyewa kamar untuk aku, adikku dan bayiku di rumah paling bagus di desa tersebut tetapi aku hanya mendapat tempat di belakang yang kelihatannya biasa digunakan untuk gudang. Kamarnya sangat besar aku memenggal ruangan menjadi dua dengan 2 lemari. Berbagi kamar dengan adikku, tidur di lantai menggunakan kasur seadanya.

Tahun ke dua aku menyewa di seberang rumah pertama, karena kebetulan ada teman kerjaku juga menyewa di situ. Di rumah utama ada 2 kamar yang bisa aku tempati. Sehingga aku dan adik laki-lakiku bisa terpisah tidur. Di tempat itu tersedia tempat tidur dan kasur yang lebih nyaman. Selanjutnya setelah anakku di ambil oleh ibuku, aku menyewa satu rumah tidak lagi bersatu dengan pemilik rumah. Aku menempati satu kamar di depan, dan kamar lainnya digunakan oleh adikku juga teman-teman guru lain yang mulai berdatangan untuk mengajar di SMP Legon Kulon.

Aku seperti induk semang di rumah ini, tugasku memasak dan menyiapkan makanan untuk seluruh penghuni rumah. Teman-temanku semua masih bujangan. Mereka menikmati kebersamaan dengan sering kali main ke pantai Pondok Bali bersepeda. Memenuhi undangan orangtua siswa atau sekedar jalan-jalan ke rumah siswa yang umumnya pengusaha ikan tambak. Tidak jarang mereka mendapat oleh-oleh atau jamuan ikan udang bago yang terkenal besar dan gurih. Sementara aku biasanya sering menghabiskan waktu di rumah saja. Kadang kalau sedang berkumpul menghabiskan waktu untuk bernyanyi menggunakan gitar yang dimainkan oleh salah seorang teman kami, sebagai salah satu hiburan kami ditempat yang masih sepi itu.

Ketika datang 2 guru baru perempuan di tahun berikutnya, akhirnya aku punya teman kerja satu gender. Aku memutuskan pindah bersama kedua teman tersebut dan menyewa rumah di tempat lain. Aku tidur sendiri di ruang depan, temanku tidur berdua di kamar sebelah.

Suatu hari di bulan Desember 1989, seperti biasa setelah selesai mengajar aku kembali ke ruang guru untuk mengambil tas. Tiba-tiba Bapak kepala sekolah memanggilku. Setelah dipersilahkan duduk, aku duduk dengan hati bertanya-tanya, karena tidak biasanya aku dipanggil secara resmi seperti ini. Aku duduk tegak menghadap Bapak Kepala Sekolah bersiap mendengarkan yang akan disampaikan.

Bapak Chaelani adalah Kepala sekolahku yang baru, sekitar 3 bulan yang lalu aku bertemu dengan beliau, sikap kebapakaan dan tutur bahasanya yang sangat halus membuat aku merasa nyaman. Beliau adalah kepala sekolah yang baru diangkat. Berasal dari daerah losari Cirebon. Nasibnya sama denganku harus berjauhan dengan keluarga demi melaksanakan tugas negara.

Kondisi yang sama mungkin menyebabkan beliau sangat dekat dengan guru-guru yang umumnya masih muda dan merupakan pendatang. Guru yang seangkatan denganku yang diangkat oleh pemerintah di daerah ini 3 tahun lalu, baru 3 orang. Guru matematika yang masih bujang bernama pak Iwan berasal dari Jakarta, Guru IPA bernama pak Nardi berasal dari Jakarta, yang memboyong istrinya tinggal di desa ini. Dan aku sendiri berasal dari Bandung, yang harus berjauhan dengan keluarga. Pegawai lainnya masih honorer diantaranya adalah adikku.

“Mimpi apa semalam bu?” Pak Chaelani mengawali pembicaraan dengan tersenyum. “Tidak ada mimpi apa-apa pak” jawabku sambil tersenyum dan agak heran dengan pertanyaannya. Dalam hati bertanya tanya ada apakah gerangan yang terjadi padaku?

“Selamat ya Bu, mungkin ini yang selama ini ibu tunggu-tunggu. Permintaan pindah ibu sudah dikabulkan.” Ujarnya sambil tersenyum dan memperlihatkan surat pindah untukku.

“Alhamdulillah” ujarku sambil berkaca-kaca dengan nada suara bergetar, rasanya ingin bersorak soray, tapi ku tahan keinginan itu mendengar pak Chaelani melanjutkan pembicaraannya. “Ini sebenarnya sudah 6 bulan lalu bu. Suratnya dipegang kepala sekolah di Pamanukan”. Saat itu SMPN Legon Kulon memang masih filial dari SMPN 1 Pamanukan yang berlokasi di kota kecamatan.

Sejenak fikiranku menerawang, mendapat kabar gembira, mengakhiri perjalanan rutinku setiap minggu yang penuh dengan liku-liku. Aku membayangkan dihari hari berikutnya aku bisa menggendong anakku setiap saat. Bisa kuasuh sendiri benar-benar menjadi sebuah keluarga yang utuh.

“Tapi saya rasa ini sudah hak ibu untuk bekerja dengan nyaman, berkumpul dengan keluarga.”Kaget aku mendengar pak Chaelani melanjutkan pembicaraannya. Fikiranku benar-benar sedang melayang-layang, aku tadi melamun.

“Ya, Pak terimakasih banyak. Atas bantuan bapak.” Hanya itu yang kuucapkan sambil aku pamitan dengan ucapan terimakasih tak terhingga dalam hati berulang kali. Terimakasih ya Allah, akhirnya perjalanan panjangkku cukup sampai di sini, Kau perkenankan aku kembali mengasuh putri kecilku. Bersatu kembali dengan keluargaku.

Dihari terakhir aku di SMPN 1 Legon Kulon, aku berpisah dengan teman-teman seperjuangan dan anak-anak didikku yang menghantarkanku dalam sebuah upacara di lapangan. Satu per satu mereka menyalamiku, rasa haru tak terbendung dalam dada, beberapa kali kuseka air mataku. Selamat tinggal Pamanukan, bukan aku tak mencintaimu tetapi aku juga milik keluargaku, yang sudah ditakdirkan oleh Allah SWT menjadi bagian hidupku, menjadi tanggung jawabku sebagai ibunya. Fina mamah datang, mulai saat ini kita akan hidup bersama-sama lagi, nak.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

terimakasih banyak bu..sudah memberi apresiasi..menambah semangat saya belajar menulis.

06 Jun
Balas

Perjalanan yang sangat berliku, buah dari kesabaran menghasilkan mujizat yang tiada akhir...

07 Jun
Balas

Iya neng...banyak pengalaman pribadi yg menanamkan bukti kasih sayang Allah, sehingga ingin menuliskannya. Tapi kadang mendengarkan cerita orang lain banyak yg lebih dahsyat perjuangannya hee..

07 Jun

Perjuangan yang hebat

06 Jun
Balas

Ada kesamaan kisah bu...anak kost...

07 Jun
Balas

Oh gitu ya....semangat say...semua akan indah pd saatnya..

07 Jun



search

New Post