Efriliya Ningsih

Counselor and Copywriter...

Selengkapnya
Navigasi Web

Aku, Kau dan Karir

Menikah memang salah satu impian yang pasti dimiliki semua orang. Ada yang mimpinya ingin menikah di usia muda, ada juga yang di usia dewasa. Tidak ada yang salah dengan setiap pilihan, karena setiap orang memiliki kesiapan yang beda-beda. Tak kalah penting, pandangan kita tentang kesiapan diri kita sendiri tentu berbeda dengan pandangan Allah. Kadang bagi kita, kita telah siap, namun nyatanya bagi Allah kita belum siap. Itulah kita diminta untuk ikhlas dalam menerima segala ketentuan-Nya. Kali ini, alhamdulillah Allah telah mudahkan satu diantara banyak impian saya. Ya, menemukan sosok yang akan saya cintai seumur hidup dengan cara yang Allah ridho.

Awal menikah, siapa sih yang tidak bahagia? Termasuk saya. Saya begitu menikmati hari demi hari bersama suami. Terlebih, Allah kasih saya lelaki yang luar biasa pengertian dan mampu menjadi pendengar aktif di keseharian saya, hingga saya mencapai titik, " Ya, kamu memang orang yang paling layak hadir di hidupku, Mas!"

Hari demi hari, tentu saja makin banyak yang dia ketahui dari diri saya. Sesekali tanpa sepengetahuan saya, dia membuka handphone atau buku diari saya. Dia seolah tahu dimana saya meletakkan segala yang saya anggap rahasia. Bukan tidak percaya untuk memberitahukannya, namun pikir saya, ini belum saatnya.

Kala itu, dia mengajak saya makan bareng. Saya nikmati saja. Tentu saja, tidak seperti dalam situasi formal, kami makan sambil sesekali ngobrol apa saja yang terlintas di pikiran kami. Kadang bahas soal pekerjaan, kadang tentang pendapat suatu film atau kejadian yang sedang booming saat itu. Ya, kami sering mendengarkan pandangan satu sama lain, karena dengan begitu, secara tidak sadar membuat kami semakin saling paham. Namun pada hari itu, selesainya kami makan, tetiba dia mengatakan, "Dek, aku udah baca daftar mimpimu. Salah satunya S-2. Kamu bener pingin kuliah lagi, dek?"

"InsyaAllah iya mas. Aku sekarang mulai nyicil nabung buat lanjut kuliah. Do'ain ya, mas. Hehe"

"Iya sayang, aamiin. Memang kenapa kamu pingin lanjut S-2, dek?"

"Nanti, beberapa tahun yang akan datang pesaingku di dunia kerja bakal makin berat mas. Jadi mau ga mau aku harus bisa ngimbangin pesaing. Ga lucu aku kegeser karena ada yang lebih layak. Mas gapapa kan aku kuliah lagi?"

"Ya gapapa dek, tapi aku minta beberapa syarat sama kamu dek."

"Syarat? Syarat apa mas?"

"Sebenernya rada berat sih dek ngelepasin kamu kuliah lagi, apalagi jurusanmu itu adanya di luar Lampung ya?"

"Iya mas, antara Jakarta, Bandung sama Jogja"

" Berapa lama dek sampai bisa tamat?"

"Dua tahun kayanya mas paling cepet"

"Dek, kamu tahu kan aku ini siapa? Lulusan apa? Jujur, aku takut kalau kamu kepisah jauh nanti hatimu jadi berubah sama aku. Karena ga dipungkiri, kamu akan ketemu sama banyak sosok yang bisa jadi lebih baik dan lebih mapan. Aku beneran khawatir dek."

Seketika saya ingin menangis mendengar perkataan suami saya yang dari sorot matanya tidak dapat menutupi kekhawatirannya.

"Mas, menurut mas aku orang yang kayak gitu? Kalau niatku cuma mempermainkan perasaan mas, dari dulu udah aku tinggal demi nyari lelaki yang entah kayak mana. Mas, jangan takut ya? Mas satu-satunya di hati aku" (sembari membelai pipinya).

"Tapi dek, hari ini kamu bisa bilang kayak gitu, besok kan kita ga tahu"

(Meletakkan telunjuk sebagai isyarat memintanya diam) "Mas, yang genggam hatiku itu Allah, bukan aku, bukan juga mamas. Sekalipun aku cuma di rumah, aku bisa kok berlaku yang enggak-enggak. Intinya, kita minta sama Allah ya semoga perasaan kita ga pernah berubah sampai kapan pun. Hehe"

Kami saling pandang, saya tahu bola matanya bergerak-gerak mencari tahu apakah saya mengatakan semuanya dengan tulus atau hanya sedang menutupi sesuatu.

"Ya udah dek, aku izinin kamu kalau memang kuliah lagi. Yang penting kamu bisa menuhin syarat yang aku ajuin."

"Syaratnya apa, sayang?"

"Kamu bisa jaga dirimu selama jauh dari aku, inget kalau kamu udah jadi istriku. Kalau suatu hari kamu nemuin kesulitan, kamu ga boleh ngeluh karena gimana pun, ga ada paksaan dari aku untuk kamu untuk lanjut kuliah. Terakhir, kamu tetap bisa membagi waktumu, ga hanya untuk kerja, tapi juga untuk aku sama anak-anak kita. Sehebat dan seamanah apa pun kamu di luar sana, surgamu tetap ketika kamu di rumah berbakti sama suami dan hadir untuk anak-anakmu, sayang. (sembari dia mengusap kepala saya) Aku cuma ga mau kalau kelak kamu ngeluh pas anak minta ini itu dengan alasan kamu udah capek kerja, dek. Mereka punya hak atasmu."

"Iya mas, insyaAllah aku akan berusaha imbang antara kerja dan rumah tangga. Mas juga doain aku ya. Hehe"

"Iya sayang, seperti kataku waktu kita taaruf dulu. Kamu boleh ngejar apa pun cita-citamu, yang penting keluarga tidak terabaikan. Tapi kalau aku boleh jujur, aku ga tega lihat kamu kerja, badanmu makin kelihatan kurus. Aku pinginbanget kamu di rumah aja, urusan nafkah biar jadi tanggung jawabku, dek."

"Mas, mas ga perlu merasa ga tega, ini kan aku yang mau. Kalau soal badan, ya emang lagi waktunya kurus aja sih menurutku. Aku kerja itu bukan untuk jadi pesaing mamas. Mas pernah bilang kalau nanti mau punya anak yang hafidz dan hafidzoh kan? Nah, mereka butuh bekal yang ga sedikit, sayang. Izinin aku bantu mamas ya, aku ga pingin liat mamas pontang-panting sendiri. Kita ini suami-istri, udah sewajarnya saling bantu. Aku ga mau kalau nanti di rumah aja, aku malah melakukan apa yang ga seharusnya ga aku lakukan mas. Ghibah ga penting sama tetangga, kerjaan rumah pada ga selesai karena bosen dan banyak nyalahin mamas karena yang aku minta ga seketika keturutan, aku ga mau nanti nyalahin mas ketika nanti kita diuji sama kondisi sulit karena mamas dulunya ga mau ngizinin aku kerja."

"Iya sayang, aku ngerti kok. Do'ain aku ya, semoga aku ga berubah pikiran ke depannya dek."

"Iya mamas, aamiin. Makasih ya mas, udah selalu dukung aku."

Itu bukan hanya sekali dia bahas. Kadang ketika kami sedang bermotor bersama pulang dari bioskop, belanja atau apa pun, dia sesekali menyinggung topik tersebut diantara banyak topik obrolan kami. Dan selalu setelah membahas hal tersebut, hati ini perlahan mulai mengerti bahwa memang sudah saatnya meredam ego. Sekarang sama sekali berbeda dengan dulu. Dulu bisa berbuat semaunya, sekarang tidak. Ada sosok yang ketika kita pergi, sepanjang kita jauh darinya, sepanjang itu pula hatinya tak lepas dari kekhawatiran. Hati ini mulai bisa dinegosiasi, tidak ada yang salah dengan mengubah prioritas selagi semua atas pertimbangan untuk mendapat kebaikan. Hati kecil ini sesekali mengatakan bahwa yang dikatakan oleh suami saya benar. Sehebat apa pun saya di luar, surga saya tetap ketika saya di rumah mengurus suami dan anak-anak. Saya memang pernah sangat iri dengan teman atau siapa pun yang bisa mengejar mimpinya, saya pernah berambisi besar dan semuanya tentang materi dan dunia. Saya pernah menyalahkan siapa saja yang turut andil dalam mencegah langkah saya. Saya pernah menjadi pribadi sekeras dan sekaku itu.

Menerimamu yang dalam pandangan materi dan dunia harusnya tidak aku lakukan saja bisa ku lakukan, padahal jika dipikir itu adalah saat dimana aku membantai habis ego yang selama ini selalu aku besar-besarkan. Aku tidak membiarkan egoku sembarangan berbicara tentangmu, apalagi mencari-cari kekuranganmu. Hari itu adalah hari dimana aku ingin menguji coba apa yang akan terjadi jika aku yakin dengan takdir-Nya, jika aku ikhlas meredam egoku. Dan ternyata apa? yang terjadi justru aku dibuat takjub atas segala kekuasaan-Nya. Dari awal hingga saat ini, sekalipun aku tidak menemui alasan untuk menyesali pertemuan kita, Mas. Sebaliknya, syukur ini harus aku sampaikan dengan cara apa lagi pada Allah juga semesta. Kamu. Mata, hidung, wajah dan warnamu, tak ada satupun yang membuatku berhenti dari terkagum-kagum kala aku memandangnya. Kamu. Kesabaran, ketenangan dan kesungguhanmu dalam membimbingku, membuat aku sadar bahwa tak ada alasan untuk tidak berambisi mengejar surga-Nya melalui ketaatanku padamu, Mas. Aku pernah sangat ingin menjadi istri sholeha, namun aku minta pada Allah agar diberi suami yang memudahkanku untuk taat padanya juga pada Allah agar langkahku menuju surga-Nya dimudahkan. Dan hari ini, satu per satu semua telah Allah beri. Hingga tibalah sekarang aku di satu titik,

"Mas, S-2 itu memang target selanjutnya setelah aku nikah, tapi itu ga saklek harus tercapai kok mas. Apalagi kalau selama aku kuliah, mas selalu khawatir di rumah. Aku lebih seneng kalau mas tenang liat aku di rumah, yang penting izinin aku bantu mas dengan tetap kerja. Urusan S-2, bukan lagi prioritas yang wajib dicapai saat ini, kecuali jika suatu saat Allah yang memang menghendaki. Mas jangan khawatir lagi ya? Hehe"

"Dek ...."(kecupan itu mendarat di keningku)

Lalu, aku menuliskan, "My highest achievement: You" di judul tulisanku di penghujung tahun ini (red. 2019)

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post