Efrizal

Efrizal M.A adalah guru PAI di Kabupaten Agam...

Selengkapnya
Navigasi Web
Mencermati kebijakan manajemen GPAI (Guru Pendidikan Agama Islam) oleh pemerintah
Bantu guru PAI

Mencermati kebijakan manajemen GPAI (Guru Pendidikan Agama Islam) oleh pemerintah

Sertifikasi guru dalam jabatan adalah amanah undang undang guru dan dosen nomor 14 tahun 2005. Sejak digulirkan sudah ratusan ribu guru yang mendapat sertifikat pendidik. Hal ini berimbas pada kesejahteraan guru yang sudah mendapat sertifikat pendidik tersebut, di sisi yang lain ada guru yang masih menunggu antrian untuk ikut program sertifikasi guru yaitu guru PAI.

Menurut data kemenag sejak pola PLPG dirobah menjadi PPG dalam menjadikan guru memiliki sertifikat pendidik ada lebih kurang 32.000 guru PAI seIndonesia yang sudah pre test dan menunggu PPG. Sementara jatah PPG kemenag untuk guru PAI hanya 1000 kuota pertahunya. Mencermati ini akan ada antrian panjang selama 32 tahun PPG guru PAI yang lulus pre test 2018 dan 2019. Apalagi sekarang tahun 2020 ini kemenag meniadakan sertifikasi guru PAI. Aduh.... sedih sekali hati guru PAI, bagaimana tidak? terbayang antrian akan bertambah panjang, bisa-bisa sampai pensiun tidak dapat sertifikat pendidik. Nun lagi saudara tua kemenag yaitu kemendikbud kabarnya tetap lanjut PPG untuk guru di bawah jajarannya. Inilah bahaya dualisme pengelolaan pendidikan di Indonesia, ada ribuan pendidik yang menjadi korbannya. Memang persoalan pendidikan Agama Islam untuk pembinaan profesional gurunya ada di wilayah Kementerian agama, tetapi masalah penggajian dan kesejahteraanya harus dipulangkan kembali pada instansi mana yang mengangkat guru Pendidikan Agama Islam tersebut. Mengingat beban kerja kementerian agama begitu besar, sementara regulasi tidak mendukung kinerja kementerian agama, sehingga tidak menjadi runyam tentang sertifikasi guru PAI (Pendidikan Agama Islam)

Persoalan tentang penyelenggaran sertifikasi dan tunjangan untuk GPAI ini semakin tambah runyam terutama setelah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menerbitkan Permendikbud Nomor 17 Tahun 2016 tentang Juknis Penyaluran Tunjangan Profesi Guru dan Tambahan Penghasilan bagi Pegawai Negeri Sipil Daerah. Di dalam kriteria, guru Pegawai Negeri Sipil Daerah (PNSD) yang berhak penerima tunjangan profesi dan tambahan penghasilan adalah guru PNSD yang mengajar pada satuan pendidikan di bawah binaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, kecuali guru pendidikan agama. Artinya, GPAI tidak mendapatkan jatah dari APBD itu. Meskipun diangkat oleh pemerintah daerah atau Kemendikbud, pemerintah daerah tidak boleh memberikan alokasi anggaran atau pembayaran tunjangan profesi dan tambahan penghasilan bagi GPAI. Semua pembiayaan tunjangan profesi dan tambahan penghasilan bagi GPAI, berdasarkan Permendikbud ini, menjadi tanggung jawab Kementerian Agama. Menurut hemat penulis, Permendikbud Nomor 17 Tahun 2016 ini mengandung ketidakadilan dalam pembiayaan pendidikan, terutama bagi GPAI di daerah. Kemendikbud dan pemerintah daerah yang mengangkat GPAI sebagai PNSD lalu melepas tanggung jawabnya dalam pembiayaan, dalam hal ini tunjangan profesi dan tambahan penghasilan. Hal ini diibaratkan seorang “ayah tiri” yang kemudian memiliki anak, lalu anak tirinya itu tidak dipelihara. Kondisi inilah sebagai gambaran yang dalam beberapa bulan terakhir, begitu ramai pemberitaan dan unjuk nonsimpatik menyikapi Permendikbud ini. Di sisi lain, Permendikbud Nomor 17 Tahun 2016 cenderung tidak mempertimbangkan pada Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat. Undang-undang ini mengatur secara rinci tentang pembagian alokasi APBN. Pada bagian ketiga dalam UU itu diatur mengenai tentang Dana Alokasi Umum yang pada pasal 27 ayat (1), misalnya,disebutkan secara jelas bahwa “Jumlah keseluruhan DAU ditetapkan sekurang-kurangnya 26 persen (dua puluh enam persen) dari Pendapatan Dalam Negeri Neto yang ditetapkan dalam APBN”. Angka 26 persen dari APBN untuk dibagi ke Pemda jelas ini mengurangi secara signifikan atas pembiayaan pendidikan terutama yang bersifat sentralistik. Patokan prosentase ini berimplikasi atas semakin besarnya anggaran untuk Pemda, di satu sisi, dan semakin mengecilnya bagi Kementerian/Lembaga di Pemerintahan Pusat di sisi lain, yang pada gilirannya anggaran untuk Kemenag, sebagai lembaga yang bersifat sentralistik, mendapatkan alokasi anggaran yang sangat kecil. Pemda yang telah mendapatkan alokasi 26 persen itu baru dari alokasi DAU. Belum lagi, Pemda dengan sendirinya mendapatkan alokasi 20 persen dari anggaran pendidikan dari PAD (Pendapatan Asli Daerah)-nya, sehingga Pemda mendapatkan alokasi anggaran pendidikan setidaknya 46 persen. Lebih dari itu, Pemda mendapatkan anggaran dari alokasi pendidikan dari DBH (Dana Bagi Hasil) DAK (Dana Alokasi Khusus) dan dana-dana lainnya. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 ini berimplikasi pada pembagian anggaran pendidikan, yang menurut penulis, sangat tidak proporsional. Mengacu pada implementasi anggaran tahun 2015, diperoleh data bahwa dari APBN sebesar Rp. 1.994,89 T itu digunakan untuk anggaran pendidikan sebesar 20.46 persen atau senilai Rp 408,09 triliun. Anggaran itu dibagi untuk belanja pemerintah pusat melalui sejumlah Kementerian/Lembaga dan belanja pemda melalui pemda provinsi dan kabupaten. Untuk pemerintah pusat, alokasi anggaran pendidikan sebesar 37,5 persen dari Rp 408,09 triliun atau senilai Rp 153.199,5 triliun. Itu diperuntukkan kepada 1) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sebesar Rp 53.278,5 trilin, 2) Kementerian Riset dan Teknologi serta Pendidikan Tinggi sebesar Rp 41.507,7 triliun, 3) Kemenag sebesar Rp 49.409,9 triliun dan 4) Kementerian/Lembaga lainnya sebesar Rp 9.003,4 triiun. Dari alokasi Kemenag itu, dialokasikan untuk Ditjen Pendis sebesar Rp 46.398,9 triliun. Untuk Pemda, alokasi anggaran sebesar 62,5 persen dari Rp 408,09 triliun atau senilai Rp 254.895,5 triliun. Itu diperuntukkan untuk 1) Anggaran Pendidikan dalam DBH sebesar Rp 1.337,7 triliun, 2) DAK Pendidikan sebesar Rp 10.041,3 triliun, 3) Anggaran Pendidikan dalam DAU sebesar Rp 134.970,3 triliun, 4) Dana Tambahan Penghasilan PNSD sebesar Rp 1.096,0 triliun, 5) Tunjangan Profesi Guru sebesar Rp 70.252,7 triliun, 6) Anggaran Pendidikan dalam OTSUS sebesar Rp 4.234,7 triliun, 7) Dana Insentif Daerah sebesar Rp 1.664,5 triliun, dan 8) Bantuan Operasioal Sekolah (BOS) sebesar Rp 31.298,3 triliun. Untuk alokasi anggaran pada Pemda tentu lebih diarahkan pada layanan-layanan pendidikan yang didesentralisasi, yakni layanan pendidikan Sekolah (TK, SD, SMP, SMA, dan SMK). Sementara, anggaran untuk lembaga pendidikan dengan nomenklatur Sekolah itu juga telah disediakan anggarannya pada Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Dengan demikian, Sekolah mendapatkan 2 (dua) sumber pendanaan, yakni dari Pemda dan dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Anggaran pada Ditjen Pendis yang sebesar Rp 46.398,9 triliun. Itu diperuntukkan pada semua layanan pendidikan secara akumulatif jumlah lembaga sebanyak 533.264 dengan pendidik sebanyak 2.844.149 orang dan peserta didik sebanyak 61.905.936 jiwa. Layanan pendidikan dimaksud meliputi sebagai berikut. Pertama, jenis pendidikan umum yang berciri khas Islam pada jalur formal jenjang pendidikan dasar dan menengah, berupa RA, MI, MTs, dan MA yang secara keseluruhan berjumlah 77.336 lembaga, 820.835 guru, dan 9.252.437 siswa. Kedua, jenis pendidikan keagamaan Islam pada jalur formal jenjang pendidikan dasar dan menengah. Untuk jenis pendidikan ini terdiri atas SPM (Satuan Pendidikan Muadalah) dan PDF (Pendidikan Diniyah Formal) yang berjumlah 112 lembaga, 2.240 ustad dan 48.913 santri. Ketiga, jenis pendidikan keagamaan Islam pada jalur formal jenjang pendidikan tinggi yang berjumlah 712 lembaga, 440,142 dosen, dan 747,686 mahasiswa. Keempat, jenis pendidikan keagamaan Islam pada jalur non-formal yang terdiri atas MDT (Madrasah Diniyah Takmiliyah), pendidikan Alquran dan pondok pesantren, yang secara akumulasi sebanyak 240.387 lembaga, 1.386.426 ustad, dan 17.385.552 santri. Kelima, pendidikan agama Islam pada sekolah. Penyelenggaran mata pelajaran PAI (Pendidkan Agama Islam) untuk semua sekolah (TK, SD, SMP, SMA, SMK). Dalam konteks ini, sebenarnya Kemenag telah memberikan subsidi yang begitu besar untuk Pemda. Keenam, pendidikan kesetaraan pada Program Wajib Belajar Pendidikan Dasar melalui pondok pesantren, yang berjumlah 1.461 lembaga, 8.970 ustad dan 99.727 santri. Implikasi Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 sangat tidak adil bagi Kementerian Agama. Sebagai perbandingan, total alokasi anggaran Ditjen Pendis yang sebesar 46.398,9 T itu jauh lebih kecil dibanding dengan hanya 1 (satu) alokasi anggaran untuk tunjangan profesi guru pada sekolah (TK, SD, SMP, SMA, SMK) yang berada di pemda sebesar Rp 70.252,7 triliun. Sementara anggaran Ditjen Pendis yang sebesar Rp 46.398,9 triliun itu, di samping untuk tunjangan profesi guru pada seluruh madrasah, guru PAI pada sekolah, dosen pada perguruan tinggi keagamaan, BOS pada Madrasah, rehab, gaji, untuk pondok pesantren, madrasah diniyah takmiliyah, dan hal-hal lainnya di seluruh Indonesia, baik untuk tingkat pusat maupun untuk daerah. Terkait dengan pembayaran tunjangan GPAI ini, sebaiknya ada beberapa hal yang peru dilakukan. Pertama, dalam jangka pendek, Permendikbud Nomor 17 Tahun 2016 didesak untuk segera direvisi, terutama pengecualian untuk guru agama itu dihilangkan. Artinya, Pemerintah Daerah dapat memberikan tunjangan profesi dan tambahan penghasilan bagi PNSD yang mengajar pelajaran agama Islam. Agar tidak terjadi double accounting, GPAI yang diangkat oleh Kemendikbud dan Pemerintah Daerah dibenarkan untuk mendapatkan tunjangan profesi dan tambahan penghasilan dari Pemerintah Daerah sepanjang tidak mendapatkannya dari Kementerian Agama. Bahkan, menurut hemat penulis, ditetapkan saja bahwa pembiayaan tunjangan profesi dan tambahan penghasilan GPAI dibebankan kepada pihak yang mengangkatnya. Dengan cara ini, setiap instansi yang mengangkat bertanggung jawab dalam hal pembiayaannya. Namun demikian, untuk pembinaannya tetap menjadi kewenangan dan tanggung jawab Kementerian Agama. Untuk itu, komunikasi antara Kemenag dengan Kemendikbud dan Pemerintah Daerah perlu dibangun secara serius. Kedua, untuk jangka panjang, Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 segera dilakukan judical review atau revisi, terutama pada aspek rincian pembagian DAU (Dana Alokasi Umum). Selama undang-undang ini ada, hemat penulis, selama itu pula alokasi anggaran untuk pendidikan Islam sangat rendah, dan tidak ada adil dibanding dengan sekolah. Melakukan langkah jangka pendek dengan merevisi Permendikbud Nomor 17 Tahun 2016 dan langkah jangka panjang dengan judical review atau revisi Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 merupakan langkah nyata dalam menyelesaikan problema penganggaran untuk GPAI. Meski demikian, untuk melakukan keduanya, diperlukan sinergisitas, saling pengertian, keseriusan, dan kesabaran.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Wah, lihat peraturannya aja bikin kita pusing ya Pak, dan prosesnya rumit pula...ya sabarlah kita.. salam

08 Jul
Balas

Kita tunggu aj pelaksanaanya Pak, kalau rezeki gak akan kemana ,sabar ya

08 Jul
Balas

Waduh baru tau seperi itu seperti itu regulasinya pak. Semoga GPAI bisa diberikan solusi yg tepat dan adil ya pak. Tetap semangat pak

08 Jul
Balas



search

New Post