Apa salah kami Pa Menteri? Tapi tidak begini caranya.
(Pragmatisme Sekolah 5 Hari)
Saya terpaksa menulis judul ini pada sela-sela perenungan akan kebijakan kemendikbud yang mengeluarkan Permendikbud nomor 23 tahun 2017. Sebelumnya pada beberapa bulan silam ketika kebijakan full day school atau belakangan disebut sekolah lima hari mengemuka di publik, saya justru menulis judul yang mendukung hadirnya full day scholl pada salah satu harian lokal. Oleh karena itu bukan bermaksud berpolitik dengan jejak pikiran yang terlalu cenderung cepat berubah, tetapi saya mengilhami dan mencoba menggali perjalanan saya di medan pendidikan yang pernah saya tempati, sebut saja Nusa Tenggara Timur, sebuah tempat yang banyak mengubah haluan pikiran saya akan paradigma pendidikan. Anggaplah tulisan ini adalah kajian antara pragmatsime dan idealisme terhadap dunia pendidikan utamanya keputusan Pa Muhajir Efendi untuk menyelesaikan persoalan kekurangan jumlah jam guru professional dengan memberlakukan 40 jam seminggu.
Sebuah keputusan dilematis yang pernah ter-iyakan oleh pikiran saya, mengapa? Ada alasan sederhana tetapi bukan tentang jumlah jam yang harus dipenuhi sebagai guru tersertifikasi namun karena alasan kepekaan terhadap anak didik. Saya beranggapan kalau sekolah 8 jam seminggu artinya kita memiliki waktu yang cukup untuk berinteraksi dengan anak didik. Ini sama halnya dalam sebuah keluarga. Antara anak dan orang tua, begitupulah antara guru dan anak didik. Dengan waktu yang cukup banyak, maka akan ada ikatan batin, dan ikatan batin itu penting. Barangkali alasan ini cukup keluar dari pandangan para pakar. Bagi pribadi saya sebagai guru, hubungan personal dan emosional itu penting. Sebab guru hanya manusia biasa yang punya titik lemah, ia bisa marah, membentak, berteriak, bahkan mungkin sampai mencubit anak didiknya, bahkan kalau sepakat ia juga bisa lebih keras dari itu.
Saya ingat betul ketika masih kecil sering dipukuli dengan ikat pinggang oleh orang tua ketika melakukan kesalahan. Ketika dewasa saya sadar bahwa pukulan ikat pinggang itu menjadi reminder atau semacam alarm pengingat bahwa andai kata tidak ada tindakan seperti itu, maka ada kemungkinan saya tidak berprofesi sebagai seorang pendidik dan menjadi orang terdidik hingga sekarang ini. Pertanyaannya apakah saya menaruh dendam pada orang tua saya? Semua tahu jawabannya, pastilah tidak. Alasannya pun pembaca tahu, semata karena ikatan batin. Alasan sederhana inilah yang membuat pribadi saya sangat setuju dengan sekolah 8 jam sehari. Ketika hubungan personal dan emosional sudah tercipta antara guru dan anak didik, maka teriakan, bentakan, sekuat apapun akan bermakna didikkan dan kasih sayang, bahkan kalau sampai melepas tangan itu pertanda ada sesuatu yang amat tidak patut dilakukan.Contoh berkelahi, meneguk minum keras, merokok, dan melecehkan temannya. Atas dasar alasan itulah saya angkat pendapat dan mendukung sekolah hari.
Belakangan saya sulit menerka kemana arah kebijakan Kemendikbud. Entah menyejahterakan gurukah, melindungi gurukah, atau justru mengobrak-abrik sistem sehingga guru semakin dipusingkan dengan persoalan administrasi mulai dari perangkap pembelajaran, dapodik, sim pkb, ukg, hingga daftar hadir online. Apa yang terjadi Pa Menteri? Maafkan kami jika selalu salah? Tetapi bukan begini caranya. Bahkan belakangan muncul stigma bahwa guru sudah kaya secara financial. Andai kata itu benar, maka sejak anggapan itu muncul saya akan mulai menghitung jumlah kekayaan saya. Ini adalah stigma yang dibangun karena persoalan tunjangan profesi belum bisa mencapai tujuan pendidikan nasional. Ini menurut saya terjadi karena anggaran pendidikan 20% dari APBN dianggap sia-sia dikeluarkan jika sebagiannya hanya sekedar membayar tunjangan profesi.
Sekolah lima hari jika alasannya hanya untuk mencukupi jam guru yang tersertifikasi maka itulah yang amat sangat sesat, yang sejak semula salah ditebak. Saya berpikir sekolah lima hari dihadirkan agar ada jalinan batin dan cinta kasih antara guru dan anak didik. Andai begitu saya sangat bersyukur. Tetapi belakangan saya melihat kebijakan ini lebih kepada ujian profesionalisme. Guru dianggap tidak professional jika mengajar kurang dari 24 jam bahkan mungkin kurang dari lima hari. Ujung-ujungnya yang menentukan tunjangannya keluar bukan itu semua, melainkan tuntutan administrasi hingga persoalan data dapodik yang harus disinkronisasi setiap saat.
Barangkali kita mulai bertanya, lalu dengan apakah guru dianggap professional? Menurut saya bukan dengan jumlah jam mengajar dari 24 hingga 40. Itu kesesatan, negara-negara maju seperti Finlandia melakukan seleksi guru dengan sangat ketat, dan banyak orang tahu tentang hal itu. Di Indonesia yang bisa mengitung dengan cepat sekalipun bukan sarjana matematika dijadikan guru Matematika. Yang bisa bahasa Inggris sekalipun lulusan SMA atau SMK dijadikan guru bahasa Inggris, yang pintar bicara di depan banyak orang boleh jadi guru apa saja. Lulusan perguruan tinggi bukan kependidikan yang penting punya sertifikat pendidik boleh jadi guru. Guru sepertinya menjadi alternatif terakhir ketika semua impian sudah tidak terwujud. Inilah yang keliruh, jadi guru terlalu mudah sehingga mudah diombang-ambingkan sistem. Tunjangan profesinya ditahan diam saja, tunjangannya tidak cair diam saja, kalau bicara dianggap bukan guru karena tidak sopan dan tidak patut dicontoh anak didik.
Maka pada sudut terakhir tulisan ini saya ingin menegaskan sekolah lima hari tidak pantas jika tujuannya hanya untuk ujian profesionalisme. Profesionalisme jangan pula diukur hanya dengan basa-basi administrasi. Lebih baik buat kompetisi seperti yang dilakukan sejak zaman Anies hingga sekarang ini terus menerus agar guru punya jiwa fighting and survive. Pelatihan-pelatihan guru harus punya tindak lanjut. Jangan guru dilatih terus lalu tidak pernah jadi pelatih. Sistem perkrutan untuk guru-guru yang masuk PNS harus diperketat, kalau IPDN, STAN, POLRI, TNI boleh, kenapa guru tidak serapih itu. Guru-guru honor baiknya diberlakukan sistem pembayaran kontrak atau diupah sesuai dengan upah minum regional. Selama ini yang penting datang ke sekolah melamar langsung jadi guru, ini sesat dan masih banyak terjadi.
Terakhir tuntutan administrasi seperti RPP dan segala macam dihilangkan, saya sarankan RPP diganti dengan laporan akhir kegiatan pada tiap semester atau triwulan yang didalamnya memuat semua kegiatan guru mulai dari penggunaan metode, alat peraga dan dilengkap foto-foto. Itu lebih menarik dibaca ketimbang RPP yang di kopi paste. Selebihnya kami serahkan kepada Tuhan Yang Empunya segala-galanya.
Kalau kita hendak ke laut sebaiknya kita menumpang sampan…
Kalau kita ke hendak bersatu baiknya kita menunggang harapan…..
Sekian dan Terimakasih.
Ulu Siau 20 Oktober 2017
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
Memang Demikian yg dirasakan Guru. Namun apa daya sistem yg mengikat.
benarlah PA Sistem dibuat oleh manusia, maka bisa juga diubah oleh manusia