Eka Devi Mayasari

I'm an English teacher teaching in SD Islam Al Azhar 35 Surabaya, a mom of 1 and a freelance translator....

Selengkapnya
Navigasi Web
Sumini, bukan salah rantau

Sumini, bukan salah rantau

Udara di Surabaya siang itu cukup terik. Warung-warung penjual es degan di pinggir jalan raya tampak lebih penuh dibanding hari biasanya. Pemandangan fatamorgana tampak di jalan-jalan raya yang dipenuhi kendaraan yang berlomba-lomba mengantarkan tuan-tuannya menuju tujuan masing-masing. Hujan sama sekali belum turun meskipun dalam teori seharusnya bulan ini sudah memasuki musim hujan. Mungkin ini adalah hasil do’a-do’a para penjual es yang menginginkan musim hujan datang nanti-nanti saja. Mereka sebenarnya paham bahwa negara ini sudah sangat membutuhkan hujan. Dari berita yang mereka saksikan dari TV kecil yang mereka letakkan di warung-warung mereka, mereka dapat menyaksikan bagaimana puluhan orang di tempat lain di wilayah negara ini sudah tumbang terkena gangguan pernafasan karena kabut asap. Diantara mereka, yang banyak menyimak berita di TV, sebenarnya ada tawaran bantuan dari negara tetangga untuk memadamkan asap kebakaran hutan, namun ditolak oleh pemerintah. Sampai di situ mereka tidak paham mengapa. Ada juga diantara mereka yang berpikir apa mungkin kebakaran hutan bisa dipadamkan dengan hanya mengandalkan pasukan TNI dan dengan menggunakan selang yang biasanya hanya digunakan memadamkan kebakaran gedung. Namun pada akhirnya mereka berdo’a agar musim panas tidak cepat berlalu, bagaimanapun urusan perut tetap prioritas walaupun tidak selalu nomor satu.

Diantara berbagai kesibukan di tengah teriknya matahari siang itu, tampak sepasang suami istri yang usianya masih sekitar 30an tahun memarkir motor mereka di sebuah rumah sakit jiwa. RSJ tersebut adalah yang terbesar di kota Surabaya, dan di provinsi juga. Nama daerah rumah sakit tersebut, yaitu Menur, seringkali digunakan sebagai bahan olok-olok karena kebanyakan orang menganggap rumah sakit jiwa hanyalah tempat orang yang tidak waras. Dari tempat parkir pasangan tersebut berjalan sambil sesaat berbicara satu sama lain menuju ke sebuah bangunan di kompleks rumah sakit tersebut. Sang suami tampak lebih mengenal area itu, tanpa bertanya sana-sini ia langsung menuju tempat yang ia maksud. Mereka menuju ruangan yang cukup besar dengan beberapa meja panjang dan kursi tersusun rapi layaknya ruang makan. Tampak beberapa perawat yang masih terlihat muda-muda, sepertinya perawat magang, duduk-duduk santai sembari mengobrol, beberapa sibuk dengan HP mereka dan empat perawat lainnya sedang menemani 3 pasien yang sedang makan snack yang dibungkus menyerupai snack ulang tahun. Pasien yang mereka tunggu tampak sedikit kusut namun tidak tampak seperti orang gila yang ada di jalanan. Yang satu tatapannya kosong namun tetap makan, yang satunya tampak ngobrol dengan dua porawat lainnya dan satunya memperhatikan perawat-perawat lain yang sedang ngobrol.

“Permisi.” Sang suami mengetuk pintu yang terbuka. “Iya, pak.” Jawab seorang perawat. “Mas saya mau menjenguk kakak saya, bisa ya?” Tanya sang suami ramah. “Oh, iya bisa silakan menemui pengawas dulu ya Pak, di ruang itu.” Jawab sang perawat sambil menunjuk sebuah ruang kecil di dalam bangunan itu juga. Setelah mengucapkan terima kasih mereka bergegas memasuki ruangan kecil tersebut. Sang istri, yang tampaknya baru sekali itu datang ke sana, tampak terheran-heran dengan semua yang ia lihat. Ia tidak pernah berpikir bahwa ia akan pernah dalam hidupnya datang mengunjungi tempat yang sangat terkenal ini. Ia sering melewati rumah sakit ini, bahkan pernah menghadiri sebuah pertemuan di gedung yang juga ada di kompleks rumah sakit ini, namun ia tidak pernah menyangka bahwa ia datang ke sini karena ada orang yang ia kenal menjadi pasien di rumah sakit ini.

Pengawas ruangan menyambut mereka dengan ramah. Setelah menyampaikan maksud kedatangan mereka dan memberikan nama pasien yang mereka kunjungi, pengawas ruangan tersebut tampak antusias, “Kondisinya sudah mengalami kemajuan yang sangat baik Pak. Dia sudah bisa berbicara dengan tenang dan tidak lagi tertawa-tertawa sendiri. Dia selalu membantu petugas kebersihan mencuci piring, tampaknya ia gemar melakukan pekerjaan bersih-bersih. Setiap pagi ia rajin mengikuti olahraga namun tidak pernah mau tampil. Kalau ada kegiatan membuat kerajinan, ia biasanya menolak dan lebih melakukan bersih-bersih.” “Kira-kira kapan bisa dibawa pulang Bu?” Tanya sang suami. “Sumini sudah bisa pulang, tapi tetap kontrol sesuai nanti apa kata dokternya, tapi sekarang hari libur jadi baru besok bisa bertemu dengan dokternya dan sekaligus membayar administrasi. Sudah sekitar satu minggu ini Sumini menanyakan kapan bisa pulang, katanya ia rindu mencari uang. Kalau di sini tidak bisa dapat uang,” lanjut sang pengawas ruangn sambil tertawa. Pasangan suami istri tersebut mendengarkan dengan seksama.

Sebenarnya seudah sekitar seminggu lalu pasangan ini berniat menanyakan kepulangan kakak dari sang suami tersebut. Meskipun biayanya tidak semahal berobat fisik, tetap saja perkara biaya menjadi bahan pertimbangan mereka, apalagi kakak yang dirawat tersebut belum memiliki BPJS. Sebenarnya mereka saat ini tengah menguruskan BPJS untuk kakaknya tersebut, namun kondisi kakaknya yang semakin parah memaksa mereka bertindak lebih cepat membawanya ke rumah sakit jiwa. Masih teringat jelas hari itu saat kakaknya diantar ke rumah sakit dengan menggunakan sepeda motor oleh suaminya. Sempat terjadi penolakan dari sang kakak yang tetap bersikukuh mau mencari uang. Namun setelah dibujuk dan dijanjikan boleh bekerja jika bisa kembali normal, kakaknya menurut. Kondisi sang kakak sebenarnya tidak terlalu ekstrim, hanya saja ia semakin sering berada di luar rumah dan berbicara dan tertawa-tawa sendiri. Saat berada di luar rumah ia keluarkan semua barang-barang yang ia simpan di dalam kotak yang hanya ia sendiri yang tahu apa makna kotak tersebut.

Awalnya sang kakak tinggal bersama suaminya di perantauan. Sejak mereka baru menikah dan kini memiliki 2 anak yang sudah bersekolah di SD, mereka berdua gigih berjuang hingga bisa mengumpulkan banyak uang dan kehidupan perekonomian mereka menjadi jauh lebih baik dibandingkan saudara-saudaranya yang tinggal di desa dan hanya menggantungkan hidupnya dari menjadi buruh tani. Baru beberapa tahun belakangan, adik terakhir dalam keluarga sang kakak, mendapat pekerjaan di kota dan dapat hidup dengan lebih layak meskipun tidak sebaik sang kakak, Sumini. Ketika si adik akhirnya menikah dengan wanita yang ia kenal di tempat kerjanya, Sumini pulalah yang menanggung sebagian besar biaya pernikahan adik bungsunya tersebut. Sejak masih muda Sumini memang bertekad untuk memperbaiki kondisi perekonomian keluarganya. Ia menerima pinangan pemuda dari tetangga desanya, karena saat itu mereka memiliki cita-cita yang sama, yaitu memperbaiki taraf hidup mereka. Sampai tahun lalupun Sumini dan keluarganya merasa beruntung karena suami Sumini tidak pernah merasa keberatan dengan bantuan-bantuan yang diberikan oleh Sumini kepada keluarganya, termasuk memperbaiki rumah orang tua Sumini yang sudah nyaris ambruk hingga berdiri kokoh dengan tempok dan keramik. Pun Sumini juga tidak keberatan jika Suaminya membelikan barang-barang untuk adik-adiknya, sepeda motor, TV, kulkas, belum lagi pinjaman-pinjaman lain yang tidak terlalu mereka hitung.

Kehidupan mereka nyaris sempurna di tanah rantau. Dari modal beberapa juta rupiah hasil sumbangan dalam acara pernikahan mereka, mereka berhasil membuka warung kecil-kecilan di kota Kendari. Kota ini dipilih karena ada kenalan suami sang kakak yang cukup berhasil dengan berbisnis di kota itu. Dengan bantuan kenalannya itu pulalah, Sumini dan suaminya berhasil mengembangkan jualan mereka hingga merambah bisnis minyak dan elektronik. Saking sibuknya mengurusi bisnis, mereka berdua jarang pulang namun tetap rajin mengirim kabar. Anak-anak mereka hanya dua kali saja bertemu nenek mereka di tanah Jawa.

Sekitar satu tahun yang lalu dunia Sumini runtuh. Segala kehidupan indahnya hangus bagaikan rumah yang hangus dimakan si jago merah dalam sekejap. Dunia yang mereka bangun bertahun-tahun kini hanya menyisakan rumah orang tua Sumini yang ia perbaiki dan beberapa benda yang ada di lemari untuk pajangan. Suatu pagi tahun lalu, Priyo, adik Sumini menerima telepon dari Sumini. “Mas Lani kena gagal ginjal, kata dokternya sudah parah, bagaimana ini.” Lalu Sumini menangis sesenggukan. Priyo menanyakan beberapa pertanyaan mengenai kondisi kakak iparnya. Saat itu sebenarnya Priyo berpikir bahwa kondisi kakak iparnya memang sudah parah. Selama menikah saja sudah dua orang kenalan Priyo meninggal di usia muda karena gagal ginjal. Setelah berbicara dengan Sumini hari itu Priyo menyampaikan berita itu kepada istrinya. Mereka berpikir bahwa kondisinya memang tidak baik dan mereka harus menyiapkan kakak mereka dengan kondisi terburuk sekalipun.

Sejak hari itu hampir setiap hari Sumini menghubungi Priyo mengenai kondisi suaminya. Memang dari kesemua saudaranya, Priyo paling banyak memberi masukan karena ia mengetahui lebih banyak dibandingkan saudara-saudaranya. Sumini sudah mengusahakan berbagai pengobatan untuk suaminya. Bukan hanya pengobatan rumah sakit, Sumini juga mencarikan pengobatan alternatif. Terakhir, ia juga menyampaikan bahwa ia melakukan amalan-amalan dan do’a-do’a untuk kesembuhan suaminya. Keluarga Lain sendiri kurang begitu memperhatikan kondisinya. Hal inilah yang semakin menambah kesedihan Sumini. “Mereka hanya perhatian kalau ada maunya. Sekarang kakaknya seperti ini tidak mau tahu urusannya. Aku tidak pernah cerita ke masmu bagaimana perlakuan keluarganya sekarang.” Curahan Sumini suatu hari. “Aku sudah tidak bisa mencari uang Yo, waktuku hanya kuhabiskan untuk menguru masmu. Anak-anak juga sudah tidak terlalu keurus.”

Akhirnya diputuskan untuk membawa Lani ke Surabaya. Priyo berangkat untuk menjemput kakak iparnya dan kembali ke Surabaya bersama beserta Sumini dan anak-anaknya juga. Satu persatu toko Sumini tidak beroperasi karena ia sudah tidak bisa membagi waktu dan utamanya pikirannya. Hari itu kondisi Lani sudah cukup memburuk. Ia sudah harus melakukan cuci darah. Untuk beberapa hari Sumini dan keluarganya tinggal di rumah Priyo dan bolak balik ke rumah sakit. Beberapa hari kemudian tubuh Lani mengalami pembengkakan. Lani sendiri terlihat tegar namun tidak dengan Sumini dan anak-anaknya. Priyo dan istrinyalah yang menjadi tumpuan untuk mengurus keluarga Lani. Saat-saat itu Sumini masih memiliki tabungan yang cukup untuk menanggung biaya pengobatan dan cuci darah suaminya, namun mereka semua paham bahwa kondisi tersebut tidak akan bertahan lama. Usaha Sumini di Kendari sudah tidak tahu lagi nasibnya. Priyo sendiri tidak begitu paham dunia bisnis sehingga ia tidak bisa banyak membantu dalam hal tersebut.

Setelah beberapa kali melakukan cuci darah kondisi Lani semakin parah dan harapan untuk semakin menipis. Di sisi lain Sumini semakin terpuruk karena bisnisnya hancur dan dan keluarga suaminya tidak menunjukkan perhatian terhadap kondisi itu. Sesekali keluarga Lani datang menjenguk namun tidak memberikan perhatian yang diharapkan terutama dalam hal biaya. Lani sudah terlihat pasrah dengan kondisinya. Ia banyak berpesan kepada Sumini dan anak-anaknya. Yang paling membuat Priyo dan istrinya tidak tahan adalah saat anak-anak dan istri Lani bertangis-tangisan di depan Lani yang terbaring tidak berdaya di rumah sakit. Betapa kehidupan dapat berbalik 180 derajat dalam waktu sekejap. Maka dalam pembicaraan Priyo dan istrinya dalam malam-malam yang sunyi, beberapa kali istri Priyo berandai-andai bagaimana jika Lani tidak melakukan gaya hidup seperti yang ia lakukan dan menjadi pemicu sakit yang menjangkitnya.

Dari cerita yang ia dengar, Lani gemar minum jamu-jamu untuk menguatkan fisiknya agar kuat bekerja. Ia juga seringkali mengkonsumsi minuman ringan. Bagaimana jika saat itu ia tidak melakukan gaya hidup seperti itu? Apakah kondisinya akan menjadi berbeda? Apakah Sumini dan keluarganya akan tetap hidup bahagia jika Lani tidak menderita sakit seperti sekarang? Priyo lah yang menghentikan andai-andai istrinya dengan membawa pengetahuannya tentang takdir dan usaha. Menurunya kalau Tuhan sudah menakdirkan sesuatu maka akan selalu ada sesuatu yang menjadi penyebab, kalaupun bukan karena sakitnya Lani, jika keluarga Sumini sudah ditakdirkan mengalami musibah maka akan ada penyebab lain. Kalau sudah begitu istri Priyo akan terdiam dan memikirkan tentang takdir dan usaha.

Akhirnya, setelah sekitar satu bulan Lani dirawat di Surabaya, ia menghembuskan nafas terakhir. Tidak dapat digambarkan perasaan Sumini pada saat itu. Di satu sisi ia sudah tahu sejak suaminya sakit bahwa ia mungkin tidak akan hidup lama lagi, namun di sisi lain ia belum rela. Satu-satunya hal yang masih ia syukuri adalah suaminya meninggal saat tidur, bukan dengan kesakitan di rumah sakit. Sumini sangat tidak menyukai kondisi rumah sakit tempat suaminya dirawat. Sebagai rumah sakit umum terbesar di Jawa Timur, rumah sakit ini selalu penuh dengan pasien-pasien rujukan dari berbagai daerah di sekitarnya. Seringkali pasien harus ditempatkan di lorong-lorong rumah sakit karena kamar sudah tidak dapat menampung. Sumini tidak bisa membawa suaminya ke kelas yang lebih tinggi atau rumah sakit yang fasilitasnya lebih baik karena semakin terbatasnya keuangan Sumini, sementara ia juga masih harus membayar pinjaman rutinnya ke beberapa bank.

Sepeninggalan Lani, Sumini semakin stress. Dia sudah tidak lagi terlalu merawat dirinya sendiri dan bahkan anak-anaknya. Sehari-hari dia menghitung uang-uang yang telah habis selama suaminya sakit. Ia juga berkali-kali berniat menagih hutang saudara-saudara mendiang suaminya karena ia sakit hati tidak banyak dibantu saat suaminya sakit. Bahkan saat Sumini akhirnya pulang ke kampung halamannya dan tinggal bersama orangtuanya, tidak ada satupun saudara dari suaminya yang datang menjenguk, padahal mereka bertetangga desa. Sumini sendiri selama 2 kali mengunjungi mertuanya bersama dengan anak-anaknya namun tidak terlalu dianggap oleh mertuanya. Terakhir yang semakin membuat Sumini meradang adalah ia mendengar desas-desus bahwa keluarga suaminya menganggap Sumini kurang serius mengobatkan suaminya. Menurut mereka harta benda Sumini dan suaminya seharusnya cukup untuk membawa suaminya ke rumah sakit yang lebih baik, tapi mereka tidak mau menyampaikan itu ke Sumini karena takut dianggap terlalu ikut campur. Keluarga Sumini sebenarnya tidak terlalu ambil pusing dengan perlakuan keluarga mendiang suami Sumini. Bagi mereka yang terpenting sekarang adalah menguatkan Sumini dan anak-anaknya. Mereka hanya berusaha menenangkan Sumini agar tidak terlalu mikir.

Lama kelamaan Sumini semakin terlihat aneh. Dia jarang tidur malam dan menghabiskan waktunya untuk menghitung-hitung dan menulis-nulis dan berbicara sendiri. Setiap malam pula ibu Sumini mengingatkannya agar tidur. Siangnya Sumini semakin bergumam sendiri seolah-olah sedang membicarakan urusan bisnisnya dan berjualan. Priyo dan istrinya sempat sekali menjenguk Sumini dan berbicara banyak dengan Sumini. Sumini tak kalah banyak berbicara mengungkit-ungkit uang-uangnya yang banyak dipinjam saudara suaminya. Pernah suatu hari Sumini nekat menemui ibu mertuanya untuk menagih hutang adik iparnya. Namun mereka jawab bahwa kakaknya sudah menyatakan uang itu tidak perlu dikembalikan tanpa sepengetahuan Sumini.

Priyo akhirnya membawa Sumini ke Surabaya dan tinggal di rumah Priyo. Di rumah Priyo yang tidak terlalu besar. Untung istri Priyo tidak keberatan dan ikut mencarikan informasi untuk kesembuhan Sumini. Sumini ingin bekerja lagi namun tidak ingin kembali ke Kendari, sementara Priyo menganggap kondisi Sumini saat ini tidak memungkinkan dirinya bekerja. Sebelum akhirnya rawat inap, Sumini pernah diperiksakan ke rumah sakit jiwa namun ia hanya mendapat obat penenang. Memang obat itu membuat Sumini lebih banyak tidur dan tenang, namun tidak membantu Sumini untuk jangka waktu yang lama. Akhirnya, setelah membicarakan dengan dua saudaranya yang lain dan mencari info mengenai rumah sakit jiwa, Priyo dan istrinya membawa Sumini ke rumah sakit jiwa untuk menjalani rawat inap.

“Kenapa kok kamu jadi begini nduk..wes to uang itu tidak usah dipikir..ikhlas…” Ibu Sumini menangis saat ikut mengantarkan Sumini. Saat itu Sumini hanya senyum-senyum dan berkata,”heheh di sini ya sekarang. Nanti kalau sudah sembuh jualan lagi ya hehehe.” Dan sejak hari itu petugas rumah sakit menyarankan agar keluarga tidak terlalu khawatir terhadap Sumini dan agar keluarga tidak terlalu sering menjenguk agar Sumini tidak semakin memikirkan masalah yang ia bawa dari rumah. Anak-anak Sumini kini otomatis menjadi tanggungan Priyo dan dua kakaknya yang hanya bekerja serabutan. Priyo sangat merasa iba kepada kedua keponakannya tersebut karena mereka yang sebelumnya hidup berkecukupan dan apa-apa ada untuk mereka, kini bukan hanya harus terpisah dari kedua orang tuanya namun juga harus menjalani pola hidup baru yang jauh lebih sederhana. Untunglah Sumini dan Lani tidak terlalu memanjakan mereka, sehingga mereka masih bisa mengikuti kebiasaan baru di rumah neneknya dan makan seadanya, meskipun mereka sering menangis mencari ibunya.

Kini Sumini siap pulang kembali. Priyo dan keluarganya membuatkan tempat berjualan gorengan di depan rumah orangtua mereka di desa, namun mereka akan melihat dulu apakah Sumini benar-benar bisa memulai bekerja lagi. Beberapa saat kemudian seorang perawat ditugaskan oleh pengawas ruangan tersebut untuk memanggilkan Sumini yang sedang berada di ruangan lain. Saat melihat Priyo, Sumini langsung menangis dan menubruk adiknya itu. “Aku mau pulang… aku kangen anak-anak…” ucapnya di sela-sela tangisnya. Tak terasa istri Priyo juga ikut menangis melihat pemandangan yang mengharukan itu. “Silakan mas ngobrol-ngobrol dulu sama kakaknya, bisa duduk di kursi ruang sebelah.” Ujar pengawas memecah keharuan. Priyo lalu menuntun Sumini ke arah ruangan yang dimaksud. Istri Priyo bisa melihat suaminya juga sedang menahan air mata agar tidak jatuh, ini adalah pemandangan yang hampir tidak pernah ia saksikan sebelumnya.

“Kata pengawasnya sudah bisa pulang mbak tapi harus menunggu dokternya masuk. Sekarang dokternya nggak ada soalnya hari libur. Jadi besok mbak Sum kujemput.” Priyo akhirnya membuka percakapan.”Lho nggak sekarang? Sekarang ngaak bisa?” Sumini terlihat kecewa. “Ngaak bisa mbak pengawasnya ngaak berani kan harus mengurus administrasi dan ijin dari dokternya.” Jawab Priyo menenangkan. “Tinggal beberapa jam aja kok mbak.” Timpal istri Priyo yang dari tadi tercengang. Sumini terdiam sejenak, lalu berkata dengan lirih, “Ya sudah. Tolong aku teleponkan anak-anak.” Priyo lalu dengan cepat menghubungi ibunya. Sumini lalu berbicara dengan ibunya, lalu dengan anaknya yang tertua. Dengan menangis ia meminta maaf kepada anaknya, “Maaf ya Nak Ibu nggak ngurusi kamu. Kamu lagi apa sekarang?” Istri Priyo tak kuasa menahan tangisnya. Dia lalu keluar melihat-lihat ruangan lain untuk mengalihkan pikirannya.

Sekitar 30 menit kemudian Priyo dan istrinya berpamitan. Sumini sudah tampak lebih tegas sekarang dan mewanti-wanti, “besok jangan siang-siang ya.” “Ya mbak, nanti malam tidur yang tenang biar besok seger saat ketemu anak-anak.” Jawab Priyo memastikan. Setelah mengantarkan kembali kakaknya kepada pengawas ruangan, Priyo dan istrinya bergegas meninggalkan tempat itu. Masing-masing terdiam, sementara istri Priyo perlahan mengusap perutnya dan membatin, semoga kamu mengalami kehidupan yang lebih baik kelak nak.

sumber gambar:

http://4.bp.blogspot.com/-QES2P8EluH8/Tx_eO-Qk9WI/AAAAAAAAADw/FynSMvnpeXA/s320/ibu.jpg

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post