Ketika anak menjadi korban broken home
Anak bermasalah dikarenakan menjadi korban perceraian atau broken home trennya semakin tahun semakin banyak. Bahkan hampir di semua sekolah yang penulis pernah mengabdi, brokenhome terjadi di semua jenis strata ekonomi dan pendidikan orangtua siswa . Berdasarkan data dari Dirjen Badan Peradilan Agama Mahkamah Agung pada periode 2014-2016 perceraian di Indonesia tennya memang meningkat. Dar 344.237 perceraian pada 2014, naik menjadi 365.633 perceraian di 2016. Rata-rata angka perceraian naik 3 persen per tahun (republika.co.id, ahad 21/1).
Terlepas dari apa motif perceraian pasangan suami istri, salah satu yang merasakan dampak langsung adalah anak hasil pernikahan mereka. Terkadang anak-anak ini masih di bawah umur untuk memahami mengapa orangtuanya harus berpisah. Goncangan dan trauma psikologis bisa dialami anak korban brokenhome. Apalagi anak-anak yang menyaksikan perpisahan orangtuanya karena ada unsur kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).
Sekolah sebagai “rumah kedua” bagi anak korban perceraian, sering secara tidak langsung menjadi pihak ketiga yang dilibatkan dalam penanganan keberlangsungan masa depan anak . Bahkan konflik yang belum tuntas terkadang dibawa ke sekolah. Salah satunya dalam masalah hak asuh anak. Berikut beberapa dampak perebutan hak asuh anak yang terjadi di sekolah.
1. Orangtua yang tidak mendapatkan hak asuh akan berusaha bisa menemui anak di sekolah. Si Ibu/ayah biasanya telah ditolak jika menemui anak-anaknya di rumah. Salah satu pasangan memproteksi agar anak jangan sampai bertemu ayah/ibunya. Orangtua yang dalam posisi “kalah” akan memohon welas asih sekolah agar bisa diberi kesempatan bertemu anaknya di sela-sela waktu istirahat. Suasana mengharu biru sering penulis temui di hampir setiap momen pertemuan mereka. Terkadang mereka memohon perpanjangan waktu untuk bisa saling melepas rindu. Ada pula yang tidak sampai 5 menit berlalu karena si anak ada ketakutan bakal ketahuan bertemu dengan ayah/Ibunya. Sejmulah anak bahkan ada yang menolak apapun pemberian orangtuanya. Penolakan tersebut didasari rasa kebencian yang didoktrin salah satu orangtua yang memiliki hak asuh dari rumah.
2. Hadirnya para “pahlawan” yang ingin jadi penyelamat anak. Ini umum terjadi pada kasus perceraian dengan posisi si anak masih memiliki kakek atau nenek. Merekalah yang hadir untuk memenuhi undangan sekolah, mengambil raport, antar jemput dan menyelesaikan masalah –masalah anak di sekolah. Para single parent sangat tertolong jika masih ada para pahlawan ini. Tak jarang para kakek nenek ini akan menyampaikan keluh kesahnya kepada guru. Apalagi jika mereka tidak mampu mengatasi “kenakalan” sang cucu sekaligus ketidakmampuan anaknya menjadi orangtua yang baik.
Pada sebuah kasus bahkan ada sepasang kakek nenek yang rela menempuh perjalanan sejauh 5 jam perjalanan demi menemui cucunya di sekolah. Dia merasa harus memberikan uluran tangan pada sang cucu yang telah ditelantarkan ayahnya dan si Ibu yang masih merangkak membangun ekonomi bersama keluarga barunya.
3. Dampak ke tiga adalah masalah pembiayaan sekolah. Tidak menjadi masalah yang berat jika salah satu pihak berkomitmen menanggung kebutuhan hidup sehari-hari dan biaya sekolah anak. Namun ada juga perpisahan yang terjadi yang disertai dari lari dari tanggung jawab menafkahi anak. Biasanya ini terjadi pada kasus anak yang tinggal dengan ibunya. Kondisi semakin memprihatinkan saat si Ibu juga tidak memiliki sandaran sumber penghasilan. Tak semua anak bisa menerima kondisi tersebut. Mereka bisa terlibat dalam berbagai macam masalah. Pada sejumlah sekolah yang berbayar terkadang pilihan akhir adalah pindah sekolah atau bahkan memutuskan berhenti sekolah.
4. Dampak ke empat bagi sekolah, Orangtua menjadikan sekolah sebagai “wasit”. Berharap sekolah bisa menjadi pembela salah satu pihak yang bercerai sebagai bagaian dari “pemenang” yang berhak mendidik anak. Suatu hari penulis didatangi ibu-ibu walimurid yang meminta rekomendasi guru BK, agar diberi keterangan bahwa anaknya bermasalah di sekolah sejak diasuh Bapaknya. Ibu tersebut akan menjadikan surat rekomendasi tersebut untuk dibawa ke pengadilan sebagai alat legitimasi mengambil hak asuh kembali.
5. Dampak selanjutnya bagi sekolah, anak menjadikan kegiatan-kegiatan sekolah sebagai alat untuk mendapatkan keuntungan. Misalnya pada satu kegiatan yang membutuhkan biaya, dia akan mendatangi kedua pihak orangtua untuk mendapatkan uang yang lebih. Situasi konflik anatar orangtua dimanfaat si anak untuk membuat situasi semakin runyam. Misalnya akan menyampaikan ke Ibu, bahwa ayahnya pelit, tidak mau memberi uang. Padahal pada saat yang sama dia sudah mendapatkan uang dari pihak ayah. Kejadian berikutnya biasanya Ibu akan mengadu ke sekolah karena banyaknya tarikan di sekolah. Sementara si Ibu merasa lepas tangan karena hak asuh anak ada pada bapaknya.
Sekolah dan rumah perlu saling bekerjasama untuk mengatasi segala permasalahn yang ditimbukan karena perpisahan orangtua. Berikut langkah-langkah yang bisa dilakukan sekolah :
1. Guru Bmbingan dan konseling bisa mengadakan konseling kelompok khusus anak-anak korban perceraian. Datangkanlah para alumni yang berhasil dan sukses dengan masalah yang sama. Para alumni yang sukses ini diharapkan bisa menjadi role model bagi mereka dalam menatap masa depan yang lebih baik.
2. Adakan konseling individual yang bertujuan untuk menanmkan rasa cinta pada orantua apapun kondisinya. Ingatkan kembali jasa orangtua yang tidak bisa dibalas anak. Tanamkan nilai-nilai bahwa hubungan darah antara anak dan orangtua tidak bisa berkahir. Anak tetap memiliki kewajiban berbakti kepada orangtuanya. Mereka juga harus berbakti dengan orangtua baru dari pasangan ayah/ibunya
3. Sekolah harus bisa bijaksana saat menghadi orangtua yag berkonflik di sekolah. Saat menyangkut ranah hukum, serahkan semua pada orangtua. Karena terkadang maskud baik sekolah belum tentu bisa diterima oleh salah satu pihak.
4. Bagi anak-anak dengan kondisi darurat trauma psikologis akibat perceraian, sekolah perlu menggandeng para tenaga ahli konseling traumatik. Dalam sejumlah kasus bahkan sekolah perlu mengambil keputusan terkait kelanjutan sekolah. Misalnya bagi anak yang terdampak serius pada masalah akademik, bisa ada rekomendasi si anak sekolah di sekolah inklusi yang menangani masalah lambat belajar.
Penanganan anak bermasalah akibat brokenhome juga harus bersinergi dengan para orangtua mereka. Orangtua diharapakan bisa melakukan langkah-langkah berikut saat di rumah :
1. Sampaikan pada anak bahwa perpisahan orangtua bukan alasan anaknya tidak berprestasi. Yakinkan anak, khususnya anak di bawah umur bahwa orangtuanya tidak berubah. Jangan sampai memaksakan anak menghapus memori tentang siapa ibu/ayahnya. Bahkan ketika nantinya akan hadir pengganti mereka sebagai ayah/ibu tiri. Buat komitmen dengan mantan pasangan untuk membuat jadwal rutin pertemuan dengan anak.
2. Latih anak berani mengungkapan isi hatinya pada orangtua , guru dan teman. Karena pada sejumlah kasus anak-anak pasca perpisahan orangtuanya menjadi lebih tertutup terhadap lingkungan di sekitarnya. Namun sebaliknya mereka sangat ekstrovert di media sosial
3. Tak semua orangtua juga kuat menghadapi perpisahan. Berkonsultasilah atau lakukan konseling pada tenaga ahli. Konselor, psikolog, psikiater atau pembimbing spiritual. Jangan terlalu menunjukkan rasa sedih yang mendalam agar anak tetap optimis menghadapi hari-hari masa adaptasi pasca perceraian orangtuanya.
Sekali lagi menjadi anak korban brokenhome adalah takdir namun tetap menjadi anak yanag baik dan berprestasi adalah pilihan.
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
Trimakasih pencerahannya Bu Eka
Begitulah yang seeing kita lihat di sekolah kita. Mg kita tidak meninggalkan anak -anak dalam keadaan demikian.
Bagus b.Eka ,matuef nuhun
Bagus b.Eka ,matuef nuhun
Menjadi Orangtua pelukis masa depan anak