Menghadapi generasi instan
Memasuk fase era revolusi industri 4.0 hampir segala kebutuhan manusia bisa tersaji secara instan. Mulai makanan, sandang, dan papan (rumah). Dalam hal makanan, rata-rata sudah tersaji secara instan. Bubur instan, mi instan, bumbu instan, lauk-pauk instan bahkan antar makanan instan melaui aplikasi on line tanpa perlu meninggalkan rumah. Kita tidak perlu direpotkan dengan sejumlah langkah-langkah memasak yang bisa memakan waktu lebih lama. Dalam hal sandang, mesin-mesin konveksi peninggalan era industri 2.0 memungkinkan produksi masal tanpa harus susah mengolah kapas dan menenun. Bahkan kita tinggal pakai dengan menentukan ukurannya. Demikian juga rumah, semakin maraknya bisnis properti, pilihan untuk menentukan rumah hanya tinggal menentukan kemampuan digit angka harga rumah. Mereka tidak perlu seperti kakek nenek kita yang membangun rumah dengan tahapan yang panjang. Dengan sabar mereka mengumpulkan bahan-bahan satu per satu hingga rumah siap ditempati.
Terlepas dari dampak negatif produk instan terhadap kesehatan dan kerusakan lingkungan, yang perlu diperhatikan lagi adalah dampaknya terhadap pembentukan kepribadian generasi di masa yang akan datang. Semua kebutuhan anak tersaji dengan cepat dan full service. Anak-anak kita terbiasa untuk mendapatkan keinginannya secara instan. Termasuk keinginan instan menyelesaikan proses belajar. Jika dulu untuk mendapatkan sebuah informasi seorang siswa harus berburu inseklopedia, membuka kamus atau mendapatkan dari kliping koran, sekarang cukup menekan berbagai aplikasi pada segenggam smartphone.
Kebiasaan mendapatkan jawaban dengan cara cepat, membuat kemampuan berpikir analisanya berkurang. Bagi yang malas belajar, merekapun menempuh cara instan yang terkadang melanggar norma dan etika. Misalnya pada sejumlah kasus saat ulangan atau ujian yang dilakukan secara on line, mereka dengan canggih memanfaatkan aplikasi yang bisa membantu memberikan jawaban lengkap. Cara instan juga dipakai dalam budaya belajar yang lain, misalnya mengerjakan pekerjaan rumah. Jika PR yang diberikan berupa menjawab soal , siswa cukup menggunakan aplikasi semacam brainly. Tanpa perlu menganalisa rumus dan membaca teks mereka sudah mendapatkan jawabannya. Tapi untuk sejumlah anak yang malas, aplikasi inipun tidak banyak menolong, karena mereka punya kebiasaan ”lupa” atau sengaja melupakan.
Generasi instan memiliki ciri-ciri hidup serba pragmatis. Mereka kehilangan karakter budaya yang mengajarkan nilai-nilai perjuangan dan kesabaran. Tidak terasa sebenarnya ini adalah jenis ”perbudakan” gaya baru. Perbudakan oleh teknologi dan segala produknya terhadap hidup kita. Ketergantungan kita terhadap teknologi dan segala inovasinya sangat tinggi. Sehingga ada ketidaksiapan saat saat menghadapi situasi darurat yang sewaktu-waktu bisa terjadi. Misalnya situasi bencana alam, atau bahkan yang paling ringan saat terjadi pemadaman listrik. Mungkin jika ada pemadaman listrik selama satu minggu saja tidak bisa dibayangkan betapa paniknya kita. Hampir semua peralatan yang ada di rumah dan segala jenis kebutuhannya tergantung pada listrik. Mulai dari pengolahan makanan, air minum, strika, mesin cuci, komputer, internet, handphone, dan lain sebagainya tergantung dengan listrik. Begitu tidak merdekanya hidup kita tanpa listrik.
Sebagai sebuah produk peradaban, kita tetap menghargai segala bentuk teknologi yang memudahkan penyajian kebutuhan hidup sehari-hari. Hanya saja perlu juga diajarkan pada generasi kita terutama anak-anak, bahwa ada banyak tahap sebuah teknologi menjadi siap pakai. Ajaklah berpikir bagaimana sebuah handphone, bisa mengeluarkan suara, mengirim peasn, merekam gambar dan mengoperasikan berbagai aplikasi. Alat apa saja yang dipakai, siapakah yang mengatur sinyal, dan bagaimana sinyal bisa sampai pada penerima. Tugas ini bukan hanya menjadi tugas guru di sekolah, namun juga menjadi kewajiban orangtua untuk menjelaskan.
Penelusuran-penelusuran terhadap fasilitas yang dimiliki anak saat ini akan membantu mereka memahami bahwa kemudahan fasilitas itu memerlukan proses.Demikian pula ketika dihubungkan dengan nilai-nilai kehidupan. Untuk mencapai cita-cita, mengejar impian, dibutuhkan kerja keras dan tahap-tahap yang tidak instan. Ada situasi anak belajar makna sabar, pentingnya menjaga integritas dan kejujuran, tawakkal, syukur, sebagai pengawal proses kehidupan yang dia jalani.
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar