CINTA SANTRI BIASA
Ponorogo, Maret 2021.
Matahari telah setengah bertengger mengitari peraduan. Sholat dhuha pagi ini usai ditunaikan dengan khusyuknya bersama Abah Kyai sebagai imam sholat. Para santri berbondong-bondong kembali menuju jeruji emasnya. Dan sebagian santri berhenti melihat papan pengumuman di depan asrama. Terpasang dua kertas membawa kabar yang berbeda, kertas berwarna merah dengan ragam tulisan itu memberikan informasi tentang pendaftaran calon peserta Duta Santri Kreatif sudah dibuka. Disampingnya, tercantum daftar nama santri yang mendapat ta’zir lengkap dengan pelanggaran yang dilakukan juga hukumannya.
Hukuman untukku memang tidak ada henti-hentinya, baru kemarin mendapat hukuman membersihkan kamar mandi, sekarang disuruh membersihkan aula Nabawi yang seluas lapangan itu gara-gara absen saat ngaji pagi. Saat berjalan melewati rumah ndalem, langkahku terhenti kala mendengar suara memanggil namaku. Kubalikkan tubuh mungil ini, dan mendapati Gus Azriel berjalan dengan gagahnya mendekatiku.
“Assalamu’alaikum” ujarnya memberi salam.
“Wa, wa’alaikumussalam Gus.” balasku gugup. Kenapa tiap kali bertemu denganya, otak dan hatiku tak mampu berpadu. Selalu ada rasa bahagia, juga merana. Ingin sekali ku ungkapkan jika aku mencintainya, namun akalku menyadarkan bahwa aku hanyalah santri biasa.
“Saya cuma mau kasih ini.” sambil menyodorkan jus buah padaku. “em, ini buat, buat kemarin. Karena kamu, Araliya, udah bersihin kamar mandi di rumah.” sambungnya.
“Tapi, kemarin kan karna saya dita’zir Gus.” jawabku merasa heran. “Tapi saya ikhlas memberi ini ke kamu, diterima ya.” jawabnya lagi.
Lalu ku ambil jus itu dan berterimakasih padanya. Lagi-lagi, Gus Azriel membalas dengan senyum manisnya.
***
Suara jeritan si penghuni malam senyap terdengar, dan lantunan kalamullah pun mulai dibunyikan dengan merdunya. Empat rakaat sholat tahajjud dan tiga rakaat witir usai ditunaikan, dan disambung wirid ba’da sholat. Amalan ini sudah menjadi rutinitas kami para santri dikala fajar kidzib menyapa.
Usai sholat shubuh, santri putri mulai sima’an qur’an yang sebelumnya dibuka dengan pembacaan tahlil singkat. Biasanya imam tahlil digilir bergantian, dan malangnya aku pagi ini jadwal giliran diajukan. Ustadzah memanggilku sebagai imam tahlil, namun aku menolak karena belum siap.
“Maaf ustadzah, saya belum ada persiapan sama sekali, kalau ditukar dengan kloter sesudah saya bagaimana ustadzah?” ujarku memohon.
“Ara, kita disini sama-sama belajar, kalau kamu menolak terus untuk jadi imam, kapan bisanya? saya tidak mau dengar alasan apapun, sudah segera dimulai tahlilnya.!” tutur ustadzah.
“Maaf ustadzah, biar saya saja yang menggantikan Ara, nanti dijadwal gilir saya, biar gantian Ara yang bertugas.” timpal Salsa ditengah perbincanganku dengan ustadzah.
“Ya sudah terserah. Kalau gitu kamu segera memimpin tahlilnya.” pinta ustadzah. “Baik Ustadzah.” jawab Salsa lalu berjalan meninggalkanku.
Pada detik ini aku merasa sangat malu, aku merasa begitu bodohnya sampai tak tahu harus berbuat apa. Sepanjang sima’an aku hanya meneteskan air mata, padanganku buram, ingatanku padam. Akalku menanyakan apakah pantas diri ini bergelar santri?, bagaimana kelak aku mengabdi pada masyarakat, sedang di Pesantren saja aku belum bisa menyerap ilmu dengan baik, bahkan belum mampu memimpin tahlil. Bagaimana bisa aku memimpikan Gus Azriel menjadi imamku?, sedangkan diri ini jauh dari kata sekufu dengannya. Angan-anganku memang terlampau tinggi, hingga saat sayap ini patah, tumpukan batu runcing siap menusuk jiwaku tanpa pamrih.
Pertanyaan itu terus bergulir di otakku, merangsang rasa kepedihan yang mendalam. Terbesit dalam benak kecilku untuk merubah semua ini, belajar untuk lebih bersungguh-sungguh dalam menuntut ilmu. Aku tak boleh melupakan impianku untuk menjadi duta santri kreatif.
Seraya mengusap derai air mata yang sudah membanjiri mukena putihku, kembali akalku mencoba meyakinkan diri sendiri, aku pasti bisa, aku harus mampu untuk berubah menjadi lebih baik, demi diriku, demi keluarga, demi impianku, dan demi orang yang aku cintai, Gus Azriel.
“Ara, dipanggil Bu Nyai suruh ke ndalem sekarang.” tegur Nindi yang mencolek pundakku.
Bersambung...
Kebahagiaan dan kesedihan memanglah satu paket lengkap. Jadi janganlah merasa berlebihan terhadap kedua rasa itu. Tetap saksikan terus kelanjutan cerita Araliya yaa...
#Masih belajar jadi penulis, bagi pembaca yang berkenan memberikan kritik dan sarannya bisa tulis di kolom komentar ya. Nuhun Sanget.
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar