Hanya beberapa jam saja hujan turun. Namun mungkin karena sangat lebat dan banyak resapan air yang beralih fungsi menjadi lahan pemukiman, banjir pun tak dapat dihindari. Pun juga Zee yang tinggal di Sawah Dadap Sumedang. Rumah mungilnya tergenang banjir dari kemarin. Senin pagi, Zee berjuang keras menembus air yang tingginya sepinggang orang dewasa. SMP Negeri tempat dia menuntut ilmu, yang letaknya di atas bukit, sekira tiga kilometer saja dari sana. Pasti sudah banyak siswa dan guru yang bersiap upacara, pikirnya. Zee tak kehabisan akal, meskipun hampir kehabisan nafas dan tenaga, diterjangnya air bah berwarna kecoklatan itu. Dia ingin segera tiba di sekolah, bergembira belajar bersama teman dan guru kesayangannya. Hari ini pelajaran Miss Reka, guru sekaligus motivatornya dalam menulis. Dia tak peduli lagi dengan yang ia sedang alami. Aku tak boleh bolos, tekadnya. 

Di seberang sana terlihat Om Toyo, sang paman, kebingungan. Pasti dia baru pulang dari hajatan di desa sebelah. Takut kudanya terlepas, Om Toyo memegang kendali kuda renggongnya dengan kuat. Zee menghampirinya dan menceritakan keadaan rumah dan kandang kuda yang tak mungkin didiami. Om Toyo terlihat lelah, kudanya pun harus istrirahat. Ide gila Zee muncul begitu saja. Imajinasi dan keinginan pergi ke sekolah begitu dahsyatnya. Diambilnya kendali kuda, sambil meminta izin sang paman untuk membiarkannya membawa kuda ke sekolahnya dan menyimpannya di tempat aman di sekolahnya. Sang paman tak punya pilihan lain, dia menyetujui keinginan Zee dan mengikutinya dari belakang. Hari itu, Senin pagi yang hebat, Zee berasa terbang ke  sekolah dengan kuda renggong tercantik di jagat raya. Sambil menunggangi kudanya Zee membisikkan janji untuknya, besok kubelikan kau sepatu baru biar tak malu ikut sekolah denganku...