Eko Adri Wahyudiono

Saya hanyalah seorang guru biasa. Jika bukan pengajar pastilah pendidik dalam tugasnya. Bisa jadi adalah keduanya. Namun, jika bukan keduanyapun, saya pastilah ...

Selengkapnya
Navigasi Web
Aina dan Mimpinya yang Terpinggirkan
Foto dokumen pribadi. Lokasi foto Museum Sby dan Ani

Aina dan Mimpinya yang Terpinggirkan

Aina menatap ke luar jendela kelas dengan penuh kerinduan saat guru mengoceh tentang persamaan. Pikirannya dipenuhi dengan pemandangan mimpi yang berwarna-warni, bukan rumus. Seni selalu datang secara alami kepada Aina, sejak pertama kali dia mencoret-coret dengan krayon. Seiring bertambahnya usia, lukisannya menjadi lebih hidup dan detail.

Di tahun terakhirnya di SMA Negeri 1 Magetan, Aina mengetahui dengan pasti bahwa ia ingin menekuni seni setelah lulus. Namun Kepala Sekolah Bapak Sumarto berpendapat bahwa bidang akademis harus menjadi prioritas utama. Dia terus-menerus mengingatkan siswa tentang pentingnya nilai ujian yang tinggi dan penerimaan universitas. Ide Aina untuk mengadakan pertunjukan atau kompetisi seni dengan cepat ditepis.

Bertekad untuk menjaga mimpinya tetap hidup, diam-diam Aina mengikuti Kompetisi Seni Remaja Regional. Selama berminggu-minggu, dia mengerjakan tugasnya tanpa kenal lelah sepulang sekolah. Di hari acara, Aina dengan gelisah menunggu keputusan juri. Yang membuatnya gembira, dia diumumkan sebagai pemenang dalam kategori lukisan. Prestasinya dimuat di surat kabar lokal keesokan harinya.

Marah dengan publisitas buruk tersebut, Bapak Sumarto memanggil Aina ke kantornya. Dia memarahinya karena mengabaikan studinya dan merusak reputasi sekolah. Beliau berpendapat bahwa sekolah favorit sebesar ini seharusnya materi eksata yang berprestasi, tapi mengapa justru materi seni yang abstrak bisa mendapat juara.

Aina sambil menangis memohon agar bakat dan cita-citanya dihormati. Terjadi perdebatan sengit antara gairah dan kepraktisan. Aina menyampaikan bahwa dia merasa bahagia dan nyaman dengan bakat serta talentanya. Mengapa orang lain berhak mengatur cita-cita yang dimilikinya, itu kalimat yang disampaikan pada pak Sumarto secara tegas.

Pada akhirnya, Bapak Sumarto menyadari bahwa ia tidak dapat lagi mengingkari keinginan dan kemampuan Aina di bidang seni. Dia pun setuju untuk memamerkan karya seni siswa dan mempertimbangkan kembali kurikulum sekolah. Sejak hari itu dan seterusnya, Aina berjalan menyusuri aula dengan perasaan bangga karena mimpinya yang terlupakan teringat kembali.

11-APA06-PAFM26-EAW7

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post