Seorang teman saya di Pascasarjana Unesa berkisah tentang masa lalunya. Ia dipaksa orang tuanya untuk masuk kelas IPA saat naik kelas 3 SMA. "Padahal, saya lemah di IPA," tuturnya.

Orang tuanya berharap, ia bisa masuk fakultas kedokteran. Teman saya ini manut. Tapi, ia akhirnya gagal masuk tes fakultas kedokteran. Orang tuanya kecewa berat. Ia tetap disuruh masuk fakultas kedokteran kampus swasta ternama.

Kali ini kawan saya menolak dengan alasan ingin jadi guru saja. Kini ia malah kerap mewakili daerahnya sebagai guru berprestasi.

***

Entah berapa banyak anak yang jadi korban ambisi orang tua mereka. Lihat saja, tak sedikit anak yang dipaksa ikut les ini itu. Sebagian orang tua mengabaikan minat si anak.

Memang wajar jika orang tua punya harapan besar terhadap anak. Mereka tentu tidak ingin madesu (masa depan suram) dialami si anak. Tapi, mengorbankan masa kanak-kanak putra-putri mereka juga bukan hal yang bijaksana. Berapa banyak anak Indonesia yang kehilangan masa bermain hanya karena dipaksa les ini les itu atau ikut lomba ini lomba itu demi memuaskan harapan orang tuanya. Kasihan.

Memerhatikan tumbuh kembang anak itu wajib. Membentuk akhlak mereka juga penting. Namun, memaksakan kehendak dan ambisi diri pada mereka sungguh bukan keputusan yang arif.

Maka, saya angkat topi pada adik laki-laki saya. Ia tak pernah memaksakan kehendaknya pada putrinya. Alasannya sederhana: anaknya laki-laki semua.

KA Gumarang Surabaya-Tegal, 7 Maret 2018